MANAJEMEN
PEMBIAYAAN BERBASIS MADRASAH
Oleh: SUTARMO, S.Ag.,
M.Pd
(Guru
SMK Muhammadiyah 1 Paguyangan Brebes)
A. Mukadimah
Pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia.
Pendidikan mempengaruhi secara penuh pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. Dalam
meningkatkan kualitas manusia Indonesia, pemerintah tidak merupakan satu sistem
yang lepas dengan pihak swasta dan masyarakat. Hubungan yang tidak terpisahkan
dalam peranannya untuk meningkatkan pemerataan dan mutu pendidikan (Fattah,
2000: 77). Sementara itu, pendidikan nasional kita dihadapi kepada masalah
antara lain peningkatan kualitas, pemerataaan kesempatan, keterbatasan anggaran
yang tersedia dan belum terpenuhi sumber daya dari masyarakat secara
profesional sesuai dengan prinsip pendidikan sebagai tanggung jawab bersama
antara pemerintah, masyarakat dan orang tua.
Desentralisasi merupakan kecenderungan
yang sangat dominan di antara berbagai fenomena global. Adapun tuntutan dan
kebutuhan desentralisasi pendidikan muncul dan berkembang sebagai bagian dari
agenda besar-global tentang demokratisasi dan desentralisasi pemerintahan dalam
rangka mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governace). Sebagai salah satu isu strategis dengan
desentralisasi pendidikan diusahakan pemerintah mampu memberikan pelayanan
pendidikan kepada masyarakat di bidang pendidikan lebih baik.
Penerapan desentralisasi pendidikan di
Indonesia diperkuat dengan adanya Undang-undang No. 22 tahun 1999 yang
menekankan bahwa wewenang paling besar untuk sektor pendidikan sejak pendidikan
pra-sekolah sampai pendidikan menengah atas adalah urusan pemerintah kabupaten
atau kota. Undang-undang tersebut diperkuat
lagi dengan munculnya UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional mengenai kewajiban bagi orangtua untuk memberikan pendidikan dasar
bagi anaknya (pasal 7 ayat 2). Selanjut, kewajiban bagi masyarakat memberikan
dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan (pasal 9). Demikian juga,
tentang pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama pemerintah,
pemerinbtah daerah, dan masyarakat (pasal 46,ayat 1). Dalam konteks inilah
pendidikan di daerah benar-benar memberikan dasar yang cukup bagi daerah untuk
lebih diberdayakan dalam arti lebih fungsional, memiliki fleksibelitas yang
tinggi dan tidak hanya sekedar menjadi retorika (Soeyanto, 2001). Oleh karena
itu, komitmen bupati atau walikota sebagai kepala pemerintahan kabupaten/kota
terhadap bidang pendidikan akan memberi warna dan corak pendidikan di
daerahnya. Membuat grand design pendidikan di daerah tidak mudah. Kendala utamanya
adalah terbatasnya sumber daya manusia yang dimiliki daerah, dan juga
terbatasnya sumber daya finansial. Di samping itu, rendahnya prioritas
pemerintah daerah terhadap pendidikan akan menyulitkan daerah untuk bersaing
dengan daerah lainnya.
Pembiayaan pendidikan merupakan komponen masukan
instrumental (instrument input) yang
sangat penting dalam menyiapkan SDM melalui penyelenggaraan pendidikan di
sekolah/madrasah. Hampir tidak ada upaya pendidikan yang dapat mengabaikan
peranan biaya, sehingga tanpa biaya, proses pendidikan tidak akan berjalan.
Pembiayaan pendidikan dipahami secara makro,
berorientasi pada peran pendidikan dalam pembangunan ekonomi, sebagai investasi
(konsep human capital) terkait fakta
bahwa pada dasarnya manusia akan menanamkan investasi dalam dirinya melalui
pendidikan, pelatihan dan aktivitas lain yang akan meningkatkan pendapatan
mereka di masa depan melalui peningkatan life
time learnings (Sagala,
2009: 135-136). Sedang secara mikro
berorientasi kepada kemampuan Institusi madrasah untuk dapat mencari/memperoleh
dan mengalokasikan pembiayaan pendidikan secara efisien, efektif dan produktif.
Hal ini didukung oleh kemampuan institusi madrasah melaksanakan tugas dan
tanggung jawabnya, yang sangat tergantung dari otonomi dan profesionalisasi
institusi tersebut.
Keuangan
dan pembiayaan merupakan salah satu sumber daya yang secara langsung menunjang efektifitas dan
efisiensi pengelolaan pendidikan. Hal tersebut lebih terasa lagi dalam
implementasi MBS, yang menuntut kemampuan sekolah untuk merencanakan, melaksanakan
dan mengevaluasi serta mempertanggung jawabkan pengelolaan dana secara
transparan kepada masyarakat dan pemerintah. Hal ini penting terutama dalam
rangka MBS, yang memberikan kewenangan
kepada sekolah untuk mencari dan memanfaatkan berbagai sumber dana sesuai
dengan keperluan masing-masing sekolah karena pada umumnya dunia pendidikan
selalu di hadapkan pada keterbatasan dana (Mulyasa, 2011: 48).
Pergeseran pendekatan dalam
penyelenggaraan sistem pemerintahan di Indonesia telah berimbas pada pengelolaan
sistem pendidikan, yakni dari semula yang lebih bersifat sentralistik bergeser
ke arah pengelolaan yang lebih bersifat desentralistik (Suryosubroto, 2004). Untuk itu diperlukan strategi pengelolaan pendidikan yang
tepat. Dikatakan bahwa, “Strategi pengelolaan pendidikan ini diperlukan
mengingat sebagian besar daerah mengalami keterbatasan sumber daya, sementara
itu tuntutan akan kualitas pendidikan selalu meningkat terus sejalan dengan
kemajuan perkembangan kehidupan masyarakat dan tuntutan dunia kerja” (Suryosubroto, 2004). Strategi
pengelolaan pendidikan yang mengedepankan kerjasama antara berbagai pihak di antaranya
orang tua (masyarakat ), sekolah (lembaga pendidikan), dan institusi sosial
lain seperti dunia usaha atau dunia industri, lebih dikenal dengan
istilah the collaborative school management yang pada perkembangan
selanjutnya menjadi model pengelolaan sekolah yang dinamakan school based
management atau Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)” (Suryosubroto, 2004). School Based
Management (SBM) atau Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan bentuk
alternatif pengelolaan sekolah dalam program desentralisasi bidang pendidikan,
yang ditandai adanya otonomi luas di tingkat sekolah, partisipasi masyarakat
yang tinggi, dan dalam kerangka kebijakan pendidikan nasional (Suryosubroto, 2004).
Pemberian otonomi pendidikan yang luas
pada sekolah merupakan kepedulian pemerintah terhadap gejala-gejala yang muncul
di masyarakat serta upaya peningkatan mutu pendidikan secara umum. Pemberian
otonomi menuntut pendekatan manajemen yang lebih kondusif di sekolah agar dapat
mengakomodasikan seluruh keinginan sekaligus memberdayakan berbagai komponen
masyarakat secara efektif, guna mendukung kemajuan dan sistem yang ada di
sekolah. Dalam kerangka inilah. MBS tampil sebagai alternatif paradigma baru
manajemen pendidikan.
Penyelenggaraan pendidikan di Madrasah ini juga
tak luput dari variasi permasalahan pembiayaan pendidikan, seperti madrasah
lain pada umumnya. Permasalahan ini berkisar pada modal dasar, penyediaan,
sumber-sumber, alokasi, efisiensi, efektifitas, serta tingkat keproduktifkan
pembiayaan yang digunakan. Masalah ini menghambat proses pencapaian efektifitas
madrasah. Cheng (dalam Raihani, 2011: 8) menyatakan: sekolah dikatakan
efektif jika mempunyai kapastias untuk memaksimalkan pencapaian tujuan-tujuan
dan fungsi-fungsi sekolah. Meskipun tidak sepenuhnya masalah keuangan
akan berpengaruh secara langsung terhadap kualitas sekolah, terutama berkaitan
dengan sarana dan prasarana pembelajaran. Dalam kaitan ini, meskipun tuntutan
reformasi adalah pendidikan yang murah dan berkualitas, namun pendidikan yang
berkualitas senantiasa memerlukan dana yang cukup banyak.
Sejalan dengan kebijakan otonomi
daerah, yang menyerahkan masalah
pendidikan ke daerah dan sekolah masing-masing, maka masalah
keuangan pun menjadi kewenangan yang
diberikan secara langsung dalam pengelolaannya kepada sekolah. Dalam hal ini,
kepala sekolah memiliki tanggung jawab keuangan sekolah. maka perlu dilakukan
berbagai upaya untuk meningkatkan keuangan sekolah tersebut. Untuk menjadi
kepala sekolah yang profesional dituntut kemampuan mengelola keuangan sekolah
(Mulyasa, 2003: 193).
Besar kecilnya biaya pendidikan
terutama pada tingkat satuan pendidikan berhubugan dengan berbagai indikator
mutu pendidikan seperti angka partisipasi, angka putus sekolah, tinggal kelas
dan prestasi belajar siswa. (Ditjen PUOD,1993, Triaswati dkk, 2005, Supriadi,
2003: 7). Oleh sebab itu dalam konteks pembiayaan pendidikan sangat penting.
Pemahaman dimaksud menentang dari hal-hal yang sifatnya mikro (satuan
pendidikan) hingga yang makro (nasional) antara lain meliputi sumber-sumber
pembiayaan pendidikan, sistem dan mekanisme pengalokasiannya, efektivitas dan
efisiensi dalam penggunaannya dan akuntabilitas hasilnya yang diukur dari
perubahan-perubahan kuantitatif dan kualitatif
yang terjadi pada semua tataran, khususnya di tingkat sekolah.
Berkaitan dengan biaya pendidikan, Ace
Suryadi (dalam Hasbullah, 2006: 27) terdapat agenda kebijakan yang perlu
mendapat perhatian serius, yaitu:
1.
Besarnya anggaran pendidikan yang di alokasikan (revenue).
2.
Aspek keadilan
dalam alokasi anggaran.
3.
Aspek efisiensi dalam pendayagunaan anggaran, dan
4.
Anggaran pendidikan dan desentralisasi
penggelolaan
Madrasah merupakan lembaga kependidikan
Islam yang menjadi cermin sebagai umat Islam. Fungsi dan tugasnya adalah
merealisasikan cita-cita umat islam yang menginginkan anak-anaknya dididik
menjadi manusia yang beriman dan berilmu pengetahuan. Lembaga pendidikan dalam
bentuk madrasah sudah ada sejak agama Islam berkembang di Indonesia. Madrasah
sudah tumbuh dan berkembang di bawah dalam arti masyarakat (umum) yang didasari
oleh rasa tanggung jawab untuk menyampaikan ajaran islam kepada generasi
penerus penyempurnaan dan peningkatan mutu pendidikan madrasah sejalan dengan
laju perkembangan dan aspirasi madrasah (Arifin, 2003: 159-160).
Madrasah pada umumnya swasta, berasal dari lingkungan masyarakat
yang belum beruntung . Strategi pemberdayaan madrasah tingkat dasar juga di
maksudkan sebagian bagian dari progam penuntasan wajar, yakni untuk memberikan
tempat bagi anak-anak usia pendidikan dasar untuk dapat bersekolah.
Program-program dalam upaya memberdayakan madrasah tersebut terutama berupa
fisik, pelatihan, biaya operasional, beasiswa dan lain-lain.
Dari strategi pembangunan madrasah di
atas, secara fisik barang kali keberhasilannya lebih ditentukan kepada peran
birokrat atau aparat pemerintah, namun keberhasilan pendidikan secara
berkualitas akan lebih banyak tergantung pada peran guru-guru dan penyelenggara
madrasah itu sendiri, karena bagaimanapun bagusnya sekolah, canggihnya
peralatan penunjang pembelajaran yang tersedia, jika guru atau tenaga
pengajarnya tidak mampu, maka resiko kegagalan pun akan sangat tinggi (Sheleh,
2004: 43).
Untuk meningkatkan kualitas madrasah
agar semua proses dan kegiatan penyelenggaraan pendidikan untuk memenuhi
harapan para stakeholdernya
membutuhkan pengelolaan biaya yang profesional baik dalam penggalian sumber
dana maupun pendistribusian dananya. Untuk itu madrasah hendaknya memenuhi
standar pembiayaan minimal.
Pembiayaan yang terdiri atas biaya
investasi, biaya operasi dan biaya personal. Biaya investasi meliputi biaya
penyediaan sarana dan prasarana, pengembangan SDM dan modal kerja tetap. Adapun
biaya personal mencakup biaya-biaya pendidikan yang harus dikeluarkan oleh
peserta didik untuk bisa mengikuti kegiatan pembelajaran secara teratur dan
berkelajutan biaya operasi madrasah mencakup:
1.
Gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala
tunjangan yang melekat pada gaji
2.
Bahan atau peralatan pendidikan habis pakai.
3. Biaya
operasi pendidikan tak langsung berupa daya, air, jasa, telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur,
transportasi, komunikasi, pajak, asurasi dan lain-lain.
Manajemen
keuangan sekolah atau madrasah
merupakan bagian dari kegiatan pembiayaan pendidikan, yang secara keseluruhan
menuntut kemampuan sekolah atau madrasah untuk merencanakan, melaksanakan dan
mengevaluasi serta mempertanggung jawabkannya secara transparan. Dalam penyelenggaraan
pendidikan di sekolah, manajemen keuangan merupakan potensi yang tak
terpisahkan dalam kajian manajemen pendidikan.
Dalam
rangka pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi pendidikan, manajemen
keuangan sekolah perlu dilakukan untuk menunjang penyediaan sarana dan
prasarana, dalam rangka mengefektifkan kegiatan belajar mengajar dan
meningkatkan prestasi belajar peserta didik (Mulyasa, 2003: 194).
Yudi
Hartono (dalam Yusuf, 2006: 122), kebanyakan madrasah terutama swasta mengalami
kesulitan dalam sarana dan prasarana, keterbatasan jumlah tenaga
kependidikan dan kemampuan yang kurang
memadai dalam memberikan imbalan kepada tenaga kependidikannya. Banyak tenaga
pendidikan yang menjalankan tugas tidak sesuai dengan bidang keahlian dan
pengalamannya di dunia pendidikan akibat lebih jauh mutu pendidikan madrasah
makin tertinggal. Dalam kondisi demikian, kesiapan dan kelayakan madrasah dalam
meningkatkan mutu pendidikan melalui manajemen berbasis madrasah tampaknya
patut dipertanyakan. Salah satu yang menjadi indikasi ialah masalah pembiayaan
di madrasah.
MBS merupakan suatu konsep yang
menawarkan otonomi pada sekolah untuk menentukan kebijakan sekolah dalam rangka
meningkatkan mutu sekolah, efisiensi dan pemerataan pendidikan agar dapat
mengakomodasi keinginan masyarakat setempat serta menjalin kerjasama yang erat
antara sekolah, masyarakat, dan pemerintah. Dengan kata lain, Manajemen
berbasis sekolah merupakan konsep yang
menawarkan kerjasama yang erat antara sekolah, masyarakat dan pemerintah dengan tanggung jawabnya masing-masing. Hal ini didasarkan kepada suatu keinginan pemberian kemandirian kepada sekolah
untuk terlibat secara aktif dan dinamis
dalam rangka proses
peningkatan kualitas pendidikan melalui pengelolaan sumber daya
sekolah yang ada. Dengan demikian, maka sekolah secara mandiri memiliki tanggung
jawab
terhadap pengembangan sumber daya yang
dimilikinya sesuai dengan kebutuhan
belajar peserta didik.
B. Manajemen Pembiayaan Berbasis Madrasah
Manajemen berasal dari bahasa latin
yaitu dari kata asal kata manus yang
berarti tangan dan agere yang berarti
melakukan. Kata-kata itu digabungkan menjadi kata kerja managere yang artinya
menangani. Managere diterjemahkan ke
dalam bahasa Inggris dalam bentuk kata kerja to manage, dengan kata benda management,
dan manager untuk orang melakukan manajemen. Akhirnya, management diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia menjadi manajemen atau pengelolaan (Usman, 2008: 4).
Marry Parker Follet mengemukakan
definisi manajemen sebagai berikut: “the art of getting things done through
people” artinya manajemen sebagai seni untuk melaksanakan pekerjaan melalui
orang-orang (Usman, 2008: 3). Sedangkan pengertian Henry L. Sisk (1969: 10)
pada buku Principles of Management
mengemukakan definisi manajemen sebagai berikut: “Management is the
coordination of all resources through the processes of planning, organizing,
directing, and controlling in order to attain stated objectives”. Manajemen
berupa mengkoordinasikan semua sumber daya melalui proses perencanaan,
pengorganisasian, penggerakan, dan kontrol guna mencapai tujuan secara
obyektif.
Sergiovanni, Barlingome, Coonbs dan
Thurton mendefinisikan manajemen sebagai “process of working with and through
others to accomplish organizational goals efficiently”. Yaitu proses kerja
dengan dan melalui (memberdayakan) orang lain untuk mencapai tujuan organisasi
secara efisien. Oleh karena itu, definisinya merupakan proses terdiri atas
kegiatan-kegiatan dalam upaya mencapai tujuan kerjasama (administrasi) secara
efisien pengertian tersebut sesuai dengan pendapat Gorton yang menegaskan bahwa
manajemen merupakan metode yang digunakan administrator untuk melakukan
tugas-tugas tertentu atau mencapai tujuan tertentu (Bafadal, 2006: 39).
Manajemen adalah suatu proses sosial
yang berkenaan dengan keseluruhan usaha manusia dengan bantuan manusia lain
serta sumber-sumber lainnya, menggunakan metode yang efisien dan efektif untuk
mencapai tujuan yang ditentukan sebelumnya. Manajemen adalah suatu istilah yang
sulit didefinisikan dan pekerjaan manajer sulit untuk didefinisikan secara
tepat (persis) ada sejumlah teori yang dimajukan bersama dengan sangat banyak
deskripsi berdasarkan observasi karena sulitnya maka batas-batas manajemen
pendidikan tidak jelas (Hamalik, 2006: 16-17). Sedangkan beberapa pakar
manajemen diberikan batasan mengenai pengertian manajemen:
1.
Menurut Robert Kresther, manajemen
adalah proses kerja dengan melalui orang lain untuk mencapai tujuan.
2.
George Terry menggemukakan bahwa kemampuan
menyuruh orang lain lain bekerja guna mencapai tujuan.
3.
James A.F. Stonner, manajemen adalah proses
perencanaan, penggorganisasian, kepemimpinan, dan pengendalian semua sumber daya
organisasi untuk mencapai tujuan yang ditetapkan.
4.
Sondang P. Siagin mengemukakan bahwa
manajemen adalah kemampuan atau ketrampilan seseorang untuk memperoleh sesuatu
hasil dalam rangka pencapaian tujuan melalui kegiatan orang lain.
5.
Ricard M. Hodgetts dan Steven Ultman,
manajemen adalah suatu proses untuk menyelesaikan sesuatu melalui orang lain.
6.
Donnelly, manajemen adalah proses
koordinasi upaya terhadap tujuan kelompok.
7.
J.L. Massie, manajemen adalah proses
satu kelompok kooperatif menggerakkan tindakan untuk tujuan umum.
Dalam definisi di atas mengandung
unsur-unsur: 1). Kemampuan mempengaruhi, 2).
Orang, bawahan, 3). Melakukan
pekerjaan, 4). Tujuan organisasi, 5).
Kerja sama antara bawahan dengan pimpinan, 6).
Terbatasnya sumber daya (Atmodiwiryo, 2006: 5-6).
Istilah keuangan atau pembiayaan yang
berasal dari kata finance dikaitkan dengan usaha memperoleh atau mengumpulkan modal
untuk membiayai aktifitas yang akan dilakukan. Namun akhir-akhir ini pengertian
keuangan atau permodalan itu diperluas, dalam arti bukan hanya sebagai usaha
pengumpulan modal, melainkan mencakup dimensi penggunaan modal tersebut.
Perluasan pengertian itu sebagai akibat kesadaran bahwa modal merupakan faktor
produksi yang langka sehingga perlu dipakai sebaik mungkin (Siagian, 2003: 130).
Pembiayaan pendidikan sebagaimana
disebutkan dalam Standar Nasional Pendidikan: PP RI No.19 Tahun 2005 terdiri
atas 3 bagian besar yaitu:
a.
Biaya investasi meliputi biaya penyediaan sarana dan
prasarana, pengembangan sumber daya manusia dan modal kerja tetap.
b.
Biaya operasional meliputi biaya pendidikan yang harus
dikeluarkan oleh peserta didik untuk bias mengikuti proses pembelajaran secara
teratur dan berkelanjutan.
c.
Biaya personal yang meliputi:
1)
Gaji pendidik dan tenaga kependidikan serta segala
tunjangan yang melekat pada gaji.
2)
Bahan atau peralatan pendidikan habis pakai
3)
Biaya operasional pendidikan tak langsung berupa
daya, air, jasa telekomunikasi, pemeliharaan sarana dan prasarana, uang lembur,
transportasi, konsumsi, dan lain sebagainya.
Sekolah seharusnya memiliki dana yang
cukup untuk penyelenggaraan pendidikan. Sekolah menggunakan dana yang tersedia
untuk terlaksananya proses belajar mengajar yang bermutu. Sekolah harus
menyediakan dana pendidikan secara terus menerus sesuai dengan kebutuhan
sekolah. Untuk itu, sekolah berkewajiban menghimpun, mengelola, dan
mengalokasikan dana untuk mencapai tujuan sekolah. Dalam menghimpun dana
sekolah memperhatikan semua potensi sumber dana yang seperti subsidi
pemerintah, sumbangan masyarakat dan orang-tua peserta didik, hibah, dan
sumbangan lainnya. Pengelolaan dana pendidikan di sekolah harus dilakukan
secara transparan, efisien, dan akuntabel sesuai dengan prinsip keadilan dan
pemerataan yaitu tidak diskriminatif terhadap anggaran biaya yang diperlukan
untuk masing-masing kegiatan sekolah (Redaksi Sinar Grafika, 205: 35-36).
Keuangan dan pembiayaan merupakan
salah satu sumber daya yang secara langsung menunjang keefektifitasan dan
efisiensi pengelolaan pendidikan. Hal tersebut lebih terasa lagi dalam
implementasi MBM yang menuntut kemampuan sekolah untuk merencanakan,
melaksanakan, dan mengevaluasi serta mempertanggungjawabkan pengelolaan dana
secara transparan kepada masyarakat dan pemerintah.
Dalam penyelenggaraan pendidikan,
keuangan dan pembiayaan merupakan potensi yang sangat menentukan dan merupakan
bagian yang tak terpisahkan dalam kajian manajemen pendidikan. Komponen
keuangan dan pembiayaan pada suatu sekolah merupakan komponen produksi
konsumtif yang menentukan terlaksananya kegiatan-kegiatan proses belajar
mengajar di sekolah bersama komponen-komponen lain. Dengan kata lain setiap
kegiatan yang dilakukan sekolah memerlukan biaya, baik disadari maupun tidak
disadari. Komponen keuangan dan pembiayaan ini perlu dikelola sebaik-baiknya
agar dana-dana yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal untuk menunjang
tercapainya tujuan pendidikan. Hal ini penting, terutama dalam rangka MBM yang
memberikan kewenangan kepada sekolah untuk mencari dan memanfaatkan berbagai
sumber dana sesuai dengan masing-masing sekolah karena pada umumnya dunia
pendidikan selalu dihadapkan pada masalah keterbatasan dana dimanfaatkan secara
optimal untuk menunjang tercapainya tujuan pendidikan. Hal ini penting,
terutama dalam rangka MBM yang memberikan kewenangan kepada sekolah untuk
mencari dan memanfaatkan berbagai sumber dana sesuai dengan masing-masing
sekolah karena pada umumnya dunia pendidikan selalu dihadapkan pada masalah
keterbatasan dana (Redaksi Sinar Grafika, 2005: 171-172).
Masalah keuangan/Pembiayaan merupakan
masalah yang cukup mendasar di sekolah karena seluruh komponen pendidikan di
sekolah erat kaitannya dengan komponen keuangan sekolah. Meskipun tidak
sepenuhnya masalah keuangan berpengaruh secara langsung terhadap kualitas
sekolah, terutama berkaitan dengan sarana, prasarana dan sumber belajar. Banyak
sekolah-sekolah yang tidak dapat melakukan kegiatan belajar mengajar secara
optimal, hanya karena masalah keuangan, baik untuk menggaji guru maupun untuk
mengadakan sarana dan prasarana pembelajaran. Dalam kaitan ini, meskipun
tuntutan reformasi adalah pendidikan yang murah dan berkualitas senantiasa
memerlukan dana yang cukup banyak.
Sejalan dengan kebijakan otonomi
daerah, yang menyerahkan masalah pendidikan ke daerah dan sekolah
masing-masing, maka masalah keuangan pun menjadi kewenangan diberikan secara
langsung dalam pengelolaannya kepada sekolah. Dalam hal ini, kepala sekolah
memiliki tanggung jawab penuh terhadap perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan
pertanggungjawaban keuangan sekolah. Agar keuangan sekolah dapat menunjang
kegiatan ke daerah dan sekolah masing-masing, maka masalah keuangan pun menjadi
kewenangan diberikan secara langsung dalam pengelolaannya kepada sekolah. Dalam
hal ini, kepala sekolah memiliki tanggung jawab penuh terhadap perencanaan,
pelaksanaan, evaluasi dan pertanggungjawaban keuangan sekolah. Agar keuangan
sekolah dapat menunjang kegiatan pendidikan dan proses belajar mengajar di
sekolah, maka perlu dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan keuangan
sekolah tersebut.
Manajemen keuangan sekolah merupakan
bagian dari kegiatan pembiayaan pendidikan, yang secara keseluruhan menuntut
kemampuan sekolah untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi serta
mempertanggungjawabkannya secara efektif dan transparan. Dalam penyelenggaraan
pendidikan di sekolah, manajemen keuangan merupakan bagian yang tak terpisahkan
dalam kajian manajemen pendidikan (Mulyasa, 2004: 193-194). Jadi, manajemen
pembiayaan yaitu pengelolaan semua bentuk keuangan baik usaha memperoleh atau
mengumpulkan modal untuk membiayai aktifitas atau kegiatan yang secara langsung
maupun tidak langsung untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan, baik yang
dikeluarkan oleh sekolah maupun siswa.
Manajemen pembiayaan pendidikan
berbasis sekolah merupakan bagian dari kegiatan pembiayaan pendidikan yang
secara keseluruhan menuntut kemampuan madrasah untuk merencanakan,
melaksanakan, dan mengevaluasi, serta mempertanggungjawabkannya secara efektif
dan transpran. Dalam penyelenggaraan pendidikan di madrasah, manajemen
pembiayaan merupakan potensi yang sangat menentukan dan merupakan bagian yang takterpisahkan
dalam kajian manajemen pendidikan.
Dalam rangka pelaksanaan otonomi
daerah dan desentralisasi pendidikan, manajemen pembiayaan pendidikan berbasis
madrasah perlu dilakukan untuk menunjang penyediaan sarana dan prasarana dalam
rangka mengefektifkan kegiatan pembelajaran, dan meningkatkan prestasi belajar
peserta didik. Untuk mengetahui apa saja yang menjadi kegiatan manajemen
pembiayaan pendidikan berbasis madrasah/sekolah tersebut, dan mengapa prosedur
tersebut dilakukan, maka perlu adanya pengkajian khusus.
a) Jenis Pembiayaan
Kemampuan pembiayaan merupakan salah satu faktor kunci keberhasilan praktek-praktek
penyelenggaraan sekolah, baik yang dikelola secara konvensional maupun berbasis
MBM. Pemikiran paling optimis mengenai posisi biaya dikaitkan dengan mutu
pendidikan menggariskan bahwa biaya merupakan fungsi mutu. Kata lainnya,
hubungan antara pertambahan biaya pendidikan dengan peningkatan mutu pendidikan
bersifat linier. Pendapat semacam ini tentu masih harus dibuktikan kebenarannya
secara empiris. Bukan tidak mungkin dan memang hampir dipastikan masih banyak
faktor dominan lain yang dapat mempengaruhi mutu kinerja sekolah, seperti
kompetensi guru, lingkungan belajar, tingkat social ekonomi orang tua, dan
lain-lain. Biaya pendidikan dapat dibedakan menjadi dua kategori, yaitu biaya
langsung dan biaya tidak langsung.
Biaya langsung yaitu segala pengeluaran yang secara langsung menunjang
penyelenggaraan pendidikan. Biaya langsung yang dimaksud pada hal ini yaitu
dimensi pengeluaran pendidikan meliputi biaya rutin dan biaya pembangunan.
Sedangkan biaya tidak langsung yaitu pengeluaran yang secara tidak langsung
menunjang proses pendidikan, tetapi memungkinkan proses pendidikan tersebut
terjadi, misalnya biaya untuk hidup siswa, transportasi, jajan dan kesehatan
(Mulyasa, 2005: 48).
b) Sumber Pembiayaan Madrasah
Pada tingkat sekolah (satuan pendidikan), biaya pendidikan diperoleh dari
subsidi pemerintah pusat, pemerintah daerah, iuran siswa, dan sumbangan
masyarakat. Sejauh tercatat dalam rencana anggaran pendapatan dan belanja
sekolah (RAPBS), sebagian besar biaya
pendidikan di tingkat sekolah berasal dari pemerintah pusat, sedangkan sekolah
swasta berasal dari para siswa atau yayasan (Supriadi. 2003:5-6).
Dalam dimensi sumber-sumber pembiayaan sekolah dapat dibagi dalam 4
kategori besar, yaitu:
1) Hasil penerimaan umum pemerintah, merupakan
sumber yang terpenting dalam pembiayaan
pendidikan. Termasuk di dalamnya adalah semua penerimaan pemerintah di semua
tingkat pemerintahan, baik pajak, bantuan luar negeri maupun pinjaman
pemerintah. Besarnya ditentukan oleh aparat pemerintah ditingkat pusat atau
daerah yang pertimbangannya berdasarkan prioritas tertentu.
2) Penerimaan khusus untuk pendidikan seperti
bantuan atau pinjaman luar negeri yang diperuntukkan untuk pendidikan, seperti
UNICEF, Unesco, pajak khusus yang hasilnya seluruhnya atau sebagian diberikan
untuk pendidikan.
3) Uang sekolah atau iuran lainnya yaitu
pembayaran orang tua murid secara langsung kepada sekolah berdasarkan
pertimbangan tertentu.
Untuk sekolah swasta, pemerintah juga memberikan bantuan, dapat dalam
bentuk (a) penempatan guru negeri yang dipekerjakan, (b) bantuan khusus untuk
pembangunan gedung dan peralatan serta
(c) uang rutin untuk kebutuhan rutin, bantuan ini mungkin berbentuk sumbangan,
bantuan atau subsidi. Sumbangan dapat diberikan secara incidental guna menutup
sebagian kecil kebutuhan rutin sedang bantuan dapat diberikan berdasarkan
jumlah murid, serta subsidi diberikan untuk menutup semua pengeluaran rutin
sekolah (Siagian, 2003:33). Jadi pendapatan madrasah selain bersumber
berasal dari orang tua siswa juga bersumber dari pemerintah, bantuan luar
negeri dan sumbangan sukarela.
c) Ruang
Lingkup Manajemen Pembiayaan Madrasah
Manajemen pembiayaan
pendidikan berbasis madrasah merupakan bagian dari kegiatan pembiayaan
pendidikan yang secara keseluruhan menuntut kemampuan madrasah untuk
merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi serta mempertanggungjawabkannya
secara efektif dan transparan. Dalam penyelenggaraan pendidikan di madrasah,
manajemen pembiayaan merupakan potensi yang sangat menentukan dan merupakan
bagian yang tak terpisahkan dalam kajian manajemen pendidikan.
Dari berbagai hasil kajian konseptual dapat dideskripsikan menjadi bahwa
manajemen pembiayaan pendidikan berbasis madrasah mencakup tiga kegiatan pokok
yaitu perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan pertanggungjawaban.
1)
Perencanaan Pembiayaan Pendidikan Berbasis Madrasah
Pada sebuah organisasi atau lembaga
apapun bentuk dan namanya, sebelum melangkah untuk mencapai tujuan, maka
terlebih dahulu ada perencanaan. Perencanaan pada sebuah lembaga sangat
esensial, karena pada kenyataannya, perencanaan memegang peranan yang lebih
penting dibandingkan dengan fungsi-fungsi lain. Tanpa ada perencanaan, maka
akan sulit mencapai tujuan.
Seorang perencana pendidikan dituntut
untuk memiliki kemampuan dan wawasan yang luas agar dapat menyusun sebuah
rancangan yang dapat dijadikan pegangan pada pelaksanaan proses pendidikan
selanjutnya.
Ada empat langkah atau tahap dasar
perencanaan, yaitu (Handoko, 2003: 163):
Pertama,
tahapan menetapkan tujuan atau serangkaian tujuan. Perencanaan dimulai dengan
keputusan-keputusan. Tanpa rumusan tujan yang jelas, sebuah lembaga akan
menggunakan sumber daya-sumber daya yang secara tidak efektif.
Kedua,
merumuskan keadaan saat ini, pemahaman akan kondisi sekarang dari tujuan yang
hendak dicapai sangat penting, karena tujuan dan rencana menyangkut waktu yang
akan datang.
Ketiga,
mengidentifikasikan segala kemudahan, kekuatan, kelemahan serta hambatan perlu
diidentifikasikan untuk mengukur kemampuan dalam mencapai tujuan, oleh karena
itu perlu dipahami faktor-faktor lingkungan internal dan eksternal yang dapat
membantu mencapai tujuan, atau mungkin menimbulkan masalah.
Keempat,
mengembangkan rencana atau serangkaian kegiatan untuk mencapai tujuan tahap
akhir dalam proses perencanaan meliputi pengembangan berbagai alternatif
kegiatan untuk mencapai tujuan.
Perencanaan pembiayaan pendidikan
berbasis madrasah sedikitnya mencakup dua kegiatan, yakni penyusunan anggaran
dan pengembangan rencana anggaran belanja madrasah (RAPBM).
2)
Penyusunan anggaran pembiayaan pendidikan berbasis
madrasah atau anggaran belanja madrasah (ABM)
Anggaran (budget) merupakan rencana operasional yang dinyatakan ecara
kuantitatif pada bentuk satuan uang yang digunakan sebagai pedoman pelaksanaan
kegiatan-kegiatan lembaga pada kurun waktu tertentu. Penyusunan anggaran
merupakan visualisasi atau gambaran terhadap kegiatan-kegiatan yang akan
dilaksanakan oleh lembaga pendidikan yang dapat diketahui pula penentuan satuan
biaya untuk tiap-tiap kegiatannya (Fattah. 2009: 43).
Anggaran berfungsi sebagai alat untuk
perencanaan dan pengendalian juga merupakan alat bantu bagi manajemen untuk
mengarahkan lembaga pada pelaksanaan kegiatan-kegiatannya. Selain itu pula
anggaran mempunyai manfaat atau berfungsi yang dapat digolongkan menjadi tiga
jenis, yaitu:
a)
Sebagai alat penafsir yaitu untuk memperkirakan
besarnya pendapatan dan pengeluaran, sehingga dapat dilihat kebutuhan dana yang
diperlukan untuk merealisasikan kegiatan pendidikan di lembaga.
b)
Sebagai alat kewenangan yaitu dapat memberikan
kewenangan untuk pengeluaran dana, sehingga melalui anggaran dapat diketahui
besarnya uang atau dana yang boleh dikeluarkan untuk membiayai kegiatan berdasarkan
perencanaan anggran sebelumnya.
c)
Sebagai alat efisiensi yaitu dapat diketahuinya
realisasi sebuah kegiatan yang kemudian dapat dibandingkan dengan perencanaan,
sehingga dapat dianalisis ada tidaknya pemborosan atau bahkan adanya
penghematan anggaran.
Hal yang paling penting pada
penyusunan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah atau Madrasah
(RAPBS/M) yaitu bagaimana memanfaatkan dana secara efisien dan efisien serta
mengalokasikan dana secara tepat sesuai kebutuhan. Melalui RAPBS/M ini dapat
diketahui satuan biaya pendidikan (Supriadi. 2003: 4) yang diperlukan oleh
lembaga pendidikan.
Format-format penyusunan Rencana
Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah atau Madrasah (RAPBS/M) yang meliputi:
(1) sumber pendapatan terdiri dari Uang Yang Harus Dipertanggungjawabkan
(UYHD), Dana Pembangunan Pendidikan (DPP), Operasi Perawatan Fasilitas (OPF)
dan lain-lain. (2) pengeluaran untuk kegiatan untuk kegiatan belajar mengajar,
pengadaan dan pemeliharaan sarana prasarana, bahan-bahan dan alat pelajaran,
honorarium dan kesejahteraan.
Perencanaan pembiayaan pendidikan
berbasis madrasah dapat dikembangkan secara efektif jika didukung oleh beberapa
sumber esensial seperti:
a)
Sumber daya manusia yang kompeten dan mempunyai wawasan
luas tentang dinamika sosial masyarakat
b)
Tersedianya informasi yang akurat dan tepat waktu untuk
menunjang pembuatan keputusan
c)
Menggunakan manajemen dan teknologi yang tepat dalam
perencanaan
d)
Tersedianya dana yang memadai untuk menunjang
pelaksanaan.
Morphet (1975) mengidentifikasi
beberapa hal yang perlu diperhatikan berkaiatan dengan perencanaan pembiayaan
pendidikan berbasis madrasah/sekolah atau anggaran belanja madrasah/sekolah,
sebagai berikut:
1)
Anggaran belanja madrasah harus dapat mengganti
beberapa peraturan dan prosedur yang tidak efektif sesuai dengan perkembangan
kebutuhan pendidikan.
2)
Merevisi peraturan dan input lain yang relevan, dengan
merancang pengembangan system secara efektif.
3)
Memonitor dan menilai keluaran pendidikan secara terus
menerus dan berkesinambungan sebagai bahan perencanaan tahap berikutnya.
Berdasarkan hal tersebut dapat
dikemukakan bahwa perencanaan pembiayaan pendidikkan berbasis madrasah dapat
dikembangkan secara efektif jika didukung oleh beberapa sumber yang esensial,
seperti:sumber daya manusia yang kompeten dan mempuanyai wawasan yang luas
tentang dinamika sosial masyarakat, tersedia informasi yang akurat dan tepat
untuk menunjang pembuatan keputusan, menggunakan manajemen dan teknologi yang
tepat dalam perencanaan, dan tersedianya dana yang memadai untuk menunjang
pelaksanaan kegiatan.
3)
Pengembangan Rencana Anggaran Belanja madrasah (RAPBM)
Proses pengembangan RAPBM pada
umumnya menempuh langkah-langkah dengan prosedur sebagai berikut (Depag 2003:
116-119):
a)Pada Tingkat Kelompok Kerja
Kelompok kerja yang dibentuk oleh
madrasah, yang terdiri dari para wakil kepala madrasah/sekolah memiliki tugas
antara lain melakukan identifikasi kebutuhan-kebutuhan biaya yang harus
dikeluarkan, selanjutnya diklasifikasikan dan dilakukan perhitungan sesuai
dengan kebutuhan.
Dari hasil analisis kebutuhan biaya
yang dilakukan seleksi alokasi yang diperkirakan sangat mendesak dan tidak bisa
dikurangi, sedangkan yang dipandang tidak mengganggu kelancaran kegiatan
pendidikan khususnya proses pembelajaran, maka dapat dilakukan pengurangan
biaya sesuai dengan dana yang tersedia.
b)
Pada Tingkat Kerja Sama dengan Komite
Kerjasama antara komite madrasah
dengan kelompok kerja yang telah terbentuk perlu dilakukan untuk mengadakan
rapat pengurus dan rapat anggota dalam rangka mengembangkan kegiatan yang
dilakukan sehubungan dengan RAPBM.
c)Sosialisasi dan Legalitas
Setelah RAPBM dibicarakan dengan
komite madrasah selanjutnya disosialisasikan kepada berbagai pihak. Pada tahap
sosialisasi dan legalitas ini kelompok kerja melakukan konsultasi dan laporan
pada pihak pengawas, serta mengajukan usulan RAPBM kepada Kanwil Kemenag untuk
mendapat pertimbangan dan pengesahan.
Dari hasil analisis kebutuhan biaya
yang dilakukan oleh kelompok kerja selanjutnya dilakukan seleksi alokasi yang
diperkirakan mendesak dan tidak bisa dikurangi, sedangkan yang dipandang tidak
mengganggu kelancaran kegiatan pendidikan, khususnya proses pembelajaran maka
dapat dilakukan pengurangan biaya sesuai dengan dana yang tersedia.
4)
Pelaksanaan dan Pengalokasian Pembiayaan Pendidikan
Berbasis madrasah
Pelaksanaan dan pengalokasian
pembiayaan pendidikan berbasis madrasah pada garis besarnya dapat dikelompokkan
kedalam dua kegiatan, yaitu penerimaan dan pengeluaran.
a)
Penerimaan
Penerimaan pembiayaan pendidikan
madrasah dari sumber-sumber dana perlu dibukukan berdasarkan prosedur
pengelolaan yang selaras dengan ketetapan yang disepakati, baik berupa konsep
teoritis maupun peraturan pemerintah. Secara konsep banyak pendekatan yang
dapat digunakan dalam pengelolaan penerimaan keuangan, namun secara peraturan
termasuk dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah ada beberapa karakteristik
yang identik.
Prosedur pembukuan penerimaan
pembiayaan pendidikan berbasis madrasah dilingkungan departemen agama,
nampaknya menganut pola paduan antara pengaturan pemerintah pusat dengan dan
madrasah. Dalam hal ini ada beberapa anggaran yang telah ditetapkan oleh
pemerintah yang intinya pihak madrasah tidak boleh menyimpang dari petunjuk
penggunaan atau pengeluarannya dan madrasah hanya sebagai pelaksana pengguna
dalam tingkat mikro kelembagaan. Dengan demikian, pola manajemen pembiayaan
pendidikan berbasis madrasah terbatas pada pengelolaan dana tingkat
operasional. Salah satu kebijakan pembiayaan pendidikan berbasis madrasah
adalah adanya pencarian tambahan dana dari masyarakat, selanjutnya cara
pengelolaannya dipadukan sesuai tatanan yang lazim sesuai dengan peraturan yang
berlaku. Namun demikian, sesuai dengan amanat otonomi daerah dan desentralisai
pendidikan dengan pengembangan konsep manajemen berbasis madrasah, maka
madrasah memiliki kewenangan dan kekuasaan yang cukup lebar dalam kaitannya
dengan manajemen pembiayaan untuk mencapai efektifitas pencapaian tujuan
madrasah.
Pada umumnya disetiap madrasah telah
ditetapkan bendahara sesuai dengan peran dan fungsinya, dan sebagai atasan
langsungnya adalah kepala madrasah. Uang yang dibukukan merupakan aliran masuk
dan keluar setelah mendapat perintah dari atasan langsung. Sedangkan uang yang
diterima dari masyarakat, ditunjuk bendahara lain dengan sepengatahuan dan
kesepakatan komite madrasah ditunjuk dari anggota sesuai dengan persetujuan
musyawarah. Berkaitan dengan aliran keuangan yang berasal dari masyarakat,
madrasah dalam hal ini pengguna harus mendapat persetujuan komite madrasah.
b)
Pengeluaran
Pengeluaran madrasah berhubungan dengan pembayaran keuangan sekolah
untuk pembelian sumber atau input dari proses sekolah seperti tenaga
administrasi, guru, bahan-bahan, perlengkapan dan fasilitas. Ongkos menggambarkan
seluruh sumber yang digunakan dalam proses sekolah, apakah digambarkan dalam
anggaran biaya sekolah atau tidak. Ongkos dari sumber madrasah menyumbangkan
atau tidak terlihat secara akurat.
Dana yang diperoleh dari berbagai
sumber perlu digunakan secara efektif dan efisien, artinya setiap perolehan
dana dalam pengeluarannya harus didasarkan pada kebutuhan-kebutuhan yang telah
disesuaikan dengan perencanaan pembiayaan pendidikan di madrasah. Pengeluaran
madrasah berhubungan dengan pembayaran keuangan madrasah untuk pembelian
beberapa sumber atau input dari proses madrasah seperti pendidik, tenaga
kependidikan, perlengkapan dan fasilitas.
Dalam manajemen pembiayaan pendidikan
berbasis madrasah, pengeluaran keuangan harus dibukukan sesuai dengan polayang
tetapkan oleh peraturan. Beberapa hal yang harus dijadikan patokan bendahara
dalam pertanggung-jawaban pembukuan, meliputi format buku kas harian, buku
tabelaris dan format laporan daya serap penggunaan anggaran serta beban pajak.
Aliaran pengeluaran keuangan harus dicatat sesuai dengan waktu serta
peruntukkannya.
Untuk mengefektifkan pembuatan
perencanaan pembiayaan pendidikan berbasis madrasah, maka yang sangat
bertanggung jawab sebagai pelaksana adalah kepala madrasah. Kepala madrasah
harus mampu mengembangkan sejumlah dimensi perbuatan administratif. Kemampuan
untuk menerjemahkan program pendidikan kedalam ekuivalensi keuangan merupakan
hal penting dalam penyusunan anggaran belanja. Perencanaan pembiayaan
pendidikan berbasis madrasah harus dapat membuka jalan bagi pengembangan dan
penjelasan konsep-konsep tentang tujuan pendidikan yang diinginkan dan
merancang cara-cara pencapaiannya.
Dalam manajemen pembiayaan pendidikan
berbasis madrasah penyusunan anggaran belanja madrasah dilaksanakan oleh kepala
madrasah dibantu para wakilnya yang tetapkan oleh kebijakan madrasah, serta
komite madrasah dibawah pengawasan pemerintah.
5)
Evaluasi dan Pertanggungjawaban
Langkah terakhir adalah evaluasi
bagaimana anggaran dapat melayani dengan baik untuk meningkatkan efektifitas
sekolah. Evaluasi sering menunjukkan kemungkinan adanya perbedaan di dalam:
tujuan, prioritas, dan kemungkinan berbagai sumber daya yang tersedia (Wahyosumidjo, 2008:321).
Evaluasi dan pertanggungjawaban
terhadap apa yang telah dicapai harus dilakukan sesuai dengan tujuan yang telah
ditetapkan. Pertanggungjawaban merupakan pembuktian dan penentuan bahwa apa
yang dimaksud sesuai dengan yang dilaksanakan, sedangkan apa yang dilaksanakan
sesuai dengan tugas. Proses ini menyangkut pertanggungjawaban penerimaan,
penyimpanan, dan pembayaran atau penyerahan dana kepada piha-pihak yang berhak.
Evaluasi dan pertanggungjawaban
pembiayaan pendidikan berbasis madrasah dapat diidentifikasi kedalam tiga hal, yaitu
pengendalian penggunaan alokasi dana, bentuk pertanggungjawaban dana pendidikan
tingkat madarasah, dan keterlibatan pengawasan pihak eksternal madrasah.
a)
Evaluasi
Dalam evaluasi pembiayaan pendidikan,
pengawasan merupakan salah satu proses yang harus dilakukan dalam manajemen
pembiayaan pendidikan berbasis madrasah. Pelaksanaan pengawasan dapat dilakukan
berdasarkan kebutuhan dan kewenangan, karena kebutuhan merupakan bagian dari
pengawasan yang melekat. Dalam manajemen pembiyaan pendidikan berbasis
madrasah, kepala madrasah perlu mengadakan pengendalian pengeluaran keuangan
selaras dengan anggaran belanja tang telah ditetapkan. Artinya kepala madrasah
sebagai pimpinan bertanggungjawab terhadap masalah internal manajemen
pembiayaan sebagai atasan langsung.
Pengawasan pembiayaan pendidikan
berbasis madrasah harus dilakukan melalui aliran masuk dan keluar uang yang
dibutuhkan oleh bendahara. Hal itu dilakukan mulai dari proses keputusan
pengeluaran pos anggaran, pembelanjaan, perhitungan dan penyimpanan barang oleh
petugas yang ditunjuk. Secara administrasi pembukuan setiap pengeluaran dan
pemasukan setiap bulan ditandatangani sebagai berita acara. Kepala madrasah
sebagai atasan langsung pertanggungjawab penuh atas pengendalian, sedangkan
pengawasan dari pihak berwenang melalui pemeriksaan yang diaksanakan oleh
instansi vertical, seperti petugas dari Kementerian Agama dan Bawasda.
Prosedur pengendalian penggunaan
alokasi anggaran sifatnya sangat normatif administratif. Artinya penenuhan
pengendalian masih terbatas pada angka kuantitatif yang terdokumentasi. Dengan
demikian aspek-aspek realistis penggunaan sulit diukur secara obyektif.
Persoalan tersebut sering terjadi disetiap madrasah/sekolah, hal tersebut
dikarenakan belum berjalannya fungsi administrasi keuangan diamana aliran uang
dan barang teridentifikasi sesuai dengan peran dan fungsinya.
b)
Pertanggungjawaban
Pertanggungjawaban penerimaan dan
penggunaan pembiayaan pendidikan berbasis madrasah/sekolah dilaksanakan dalam
bentuk laporan bulanan dan triwulan kepada:
1)
Kepala Kanwil Kementerian Agama, up. Kepala Bidang
Mapenda Islam/Bagais/TOS
2)
Kantor Kementerian Agama setempat.
3)
Kepala Badan Administrasi Keuangan Daerah (BAKD)
Khusus untuk keuangan komite
madrasah, bentuk pertanggungjawaban terbatas pada tingkat pengurus dan secara
tidak langsung kepada orang tua peserta didik.
4)
Keterlibatan Pengawasan Pihak Eksternal madrasah
Sesuai dengan tugas, fungsi dan
kewenangannya, pengawas keuangan pihak eksternal madrasah dilaksanakan oleh
petugas Bawasda dan Kementerian Agama baik dana yang bersumber dari pemerintah
maupun dana dari masyarakat (orang tua peserta didik). Pengawasan manajemen
pembiayaan pendidikan yang dilakukan oleh Bawasda dan Kementerian Agama
tersebut dilakukan secara rutin satu tahun sekali melalui pemeriksaan pembukuan
keuangan madrasah.
Jadi dalam kegiatan manajemen
pembiayaan yang meliputi perencanaan,
pelaksanaan, serta evaluasi dan pertanggung jawaban perlu dikelola secara
efektif dan efisien mungkin agar proses pelaksanaan berjalan sesuai tujuan yang
telah ditetapkan. Untuk itu perlu adanya keterpaduan antara penerimaan keuangan
dan pengeluaran keuangan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rohman Sheleh. 2004. Madarasah dan Pendidikan Anak Bangsa.
Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Ahmadi Syarif. 2005. Pengenalan
Kurikulum Sekolah dan Madrasah, Bandung: Citra Umbara.
Choirul Fuad Yusuf dkk.
2006. Potret Madrasah Dalam Media Massa.
(Jakarta: Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat
Departemen Agama RI.
Dedi Supriadi. 2003. Satuan Biaya Pendidikan Dasar dan Mengenah. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Departemen Agama. 2003. Manajemen
Berbasis Sekolah Strategi Peningkatan Mutu Pendidikan Pada Madrasah.
Jakarta: Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam Direktorat Madrasah Dengan
Pendidikan Agama Di Sekolah Umum.
E. Mulyasa. 2003. Menjadi Kepala Sekolah Professional Dalam
Konteks Menyukseskan MBS dan KBK. Bandung: Remaja Rosdakarya.
_________. 2011. Manajemen Berbasis Sekolah. Bandung:
Remaja Rosdakarya
Harbangan
Siagian. 2003. Administrasi Pendidikan.
Semarang: Satya Wacana.
Hasbullah.
2006. Otonomi Pendidikan: Kebijakan
Otonomi-otonomi Implikasinya Terhadap
Penyelenggaraan Pendidikan. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Henry L. Sisk.1969. Principles of Management. Brighton
England: South-Western Publishing Company.
Husaini Usman. 2008. Manajemen: Teori Praktik dan Riset
Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
Ibrahim Bafadal. 2006. Manajemen Peningkatan Mutu Sekolah Dasar:
dari Sentralisasi Menuju Desentralisasi.
Jakarta: Bumi Aksara.
Idochi
Anwar. 2004. Administrasi Pendidikan dan
Manajemen Biaya Pendidikan.
Bandung: Alfabeta
M.
Asrori Ardiansyah, “Manajemen Pembiayaan Pendidikan Berbasis Madrasah”. http://www.majalahpendidikan.com/2011/04/manajemen-pembiayaan-pendidikan.html.
Donwload pada tanggal 1 Februari 2014.
Muzayyin Arifin. 2003. Kapita Selekta Pendidikan Islam.
Jakarta: Bumi Aksara.
Nanang Fattah. 2009. Ekonomi & Pembiayaan Sekolah. Bandung:
Remaja Rosdakarya
Oemar Hamalik. 2006. Manajemen Pengembangan Kurikulum.
Bandung: Remaja Rosdakarya.
Raihani. 2011. Kepemimpinan Sekolah Transformatif. Yogyakarta: LKiS.
Redaksi Sinar Grafika.
2005. Standar Nasional Pendidikan: PP RI
No.19 Tahun 2005. Jakarta: Sinar Grafika.
Soebagio Atmodiwiryo. 2000.
Manajemen Pendidikan Indonesia. Jakarta:
Ardadizya Jaya.
Suryosubroto. 2004. Manajemen Pendidikan di Sekolah.
Jakarta: Rineka Cipta.
Syaiful Sagala. 2009. Administrasi
Pendidikan Kontemporer. Bandung: Alfabeta.
T. Hani Handoko. 2003. Manajemen.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Udin Syaefudin Sa’ud, Abin Syamsuddin Makmun. 2005. Perencanaan Pendidikan Suatu Pendekatan Komprehensif. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Wahyosumidjo.
2008. Kepemimpinan Kepala Sekolah.
Jakarta: Rajawali Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar