Warning


SELAMAT DATANG CALON SANTRI BARU ANGKATAN KEDUA
PESANTREN MBS CILACAP

Senin, 19 Maret 2012

STRATEGI DAKWAH KULTURAL MUHAMMADIYAH


STRATEGI DAKWAH KULTURAL MUHAMMADIYAH
Oleh: Tarqum Aziz


Islam adalah agama dakwah yaitu agama yang mengajak dan memerintahkan umatnya untuk selalu menyebarkan dan menyiarkan ajaran Islam kepada seluruh umat manusia. Oleh karena itu, dakwah, baik sebagai konsep maupun sebagai aktivitas, telah memasuki seluruh wilayah dan ruang lingkup kehidupan manusia. Seluruh aspek kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dari sudut pandang dakwah.
Dakwah, baik sebagai gagasan maupun sebagai kegiatan, sangat terkait dengan ajaran amar ma’ruf nahi munkar (menyuruh untuk mengerjakan kebaikan dan kebajikan dan melarang atau mencegah untuk melakukan keburukan atau kemungkaran). Kebaikan dan keburukan selalu ada dalam kehidupan kita dan tampil sebagai suatu keadaan atau kekuatan yang berlawanan.
Dakwah merupakan salah satu tugas dan kewajiban yang harus dilakukan oleh umat Islam, sebagaimana perintah Allah dalam surat Ali Imran ayat 104 yang berbunyi:
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyuruh kepada kebajikan dan mengajak kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Ayat ini mengandung makna agar setiap muslim berusaha menyatukan diri dalam gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar untuk membebaskan diri dari kebodohan, kesengsaraan dan kemelaratan. Atas dasar seruan ayat tersebut, K.H. Ahmad Dahlan tergerak hatinya untuk mendirikan sebuah persyarikatan Muhammadiyah dengan tugas khidmat melaksanakan misi dakwah amar makruf nahi munkar di tengah-tengah masyarakat luas.
Muhammadiyah adalah organisasi yang lahir sebagai alternatif berbagai persoalan yang dihadapi umat Islam Indonesia sekitar akhir abad 19 dan awal abad 20. Muhammadiyah merupakan konsekwensi logis munculnya pertanyaan-pertanyaan sederhana seorang muslim kepada diri dan masyarakatnya tentang bagaimana memahami dan mengamalkan kebenaran Islam yang telah diimani sehingga pesan global Islam yaitu rahmatan lil alamin atau kesejahteraan bagi seluruh kehidupan dapat mewujud dalam kehidupan objektif umat manusia.
Sejak kehadirannya di tengah-tengah panggung sejarah, Muhammadiyah telah memberikan kontribusi yang nyata bagi kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia. Peran dan partisipasi Muhammadiyah disebut dengan amal usaha Muhammadiyah memang merupakan hal yang fundamental bagi gerakan tersebut apalagi jika ditinjau dari latar belakang kehadirannya. Partisipasi itu dijalankan dengan berbagai cara dan bentuk, sejak gerakan itu lahir dan berlangsung hingga kini, memang diakui oleh banyak pihak.
Dakwah Rasulullah Muhammad menggunakan strategi; pendekatan personal, pendekatan pendidikan, pendekatan penawaran, pendekatan missi, pendekatan korespondensi, dan pendekatan diskusi. Strategi dakwah Rasulullah tersebut ternyata telah menunjukkan keberhasilan, salah satu indikasinya adalah dalam masa tugas kerasulan yang kurang dari dua puluh tiga tahun, orang yang masuk Islam tidak kurang dari 114.000 orang. Sekurang-kurangnya ada dua faktor yang sangat menentukan dalam dakwah beliau; pertama, adanya konsistensi Nabi dengan kode etika dakwah, yang antara lain; tidak memisahkan antara ucapan dan perbuatan, tidak mencerca sesembahan lawan, tidak melakukan kompromi dalam hal agama, dan tidak meminta imbalan. Kedua, adanya keteladanan yang beliau berikan pada para sahabat (Ali Mustafa Yaqub, 2000: 94-95). Demikian juga dalam strategi dakwah, ada dua macam strategi; bi-alqaul (bi-al-ihsan) dan bi-al-af’al, (termasuk bi al-khitabah atau bi-al-a’mal).
Penjabaran dari kedua kegiatan itu melahirkan empat ragam kegiatan dakwah, yakni; pertama, tabligh dan ta’lim; kedua, irsyad; ketiga, tathwir, dan keempat tadbir. Tabligh dan ta’lim dilakukan dalam pencerdasan dan pencerahan masyarakat melalui kegiatan pokok; sosialisasi, internalisasi, dan eksternalisasi nilai ajaran Islam, dengan menggunakan sarana mimbar, media massa cetak dan audia visual. Irsyad, dilakukan dalam rangka pemecahan masalah psikologis, melalui kegiatan pokok; bimbingan penyuluhan pribadi dan bimbingan penyuluhan keluarga, baik secara prefentif maupun kuratif. Tadbir (manajemen pembangunan masyarakat), dilakukan dalam rangka perekayasaan dan pemberdayaan masyarakat dalam kehidupan yang lebih baik, peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan pranata sosial keagamaan, serta menumbuhkan serta mengembangkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Tathwir (pengembangan masyarakat), dilakukan dalam rangka meningkatkan sosial budaya masyarakat, yang dilakukan dengan kegiatan pokok; pentransformasian dan pelembagaan nilai-nilai ajaran Islam dalam realitas kehidupan umat, yang menyangkut kemanusiaan, seni budaya, dan kehidupan bermasyarakat. Dengan kata lain, tathwir berkaitan dengan kegiatan dakwah melalui strategi sosial budaya, atau dakwah kultural (Asep Muhyiddin, 2002: 34-35).
Atas dasar ini dapat difahami, kalau apa yang semula merupakan gagasan dan pokok-pokok pikiran pribadi K.H. Ahmad Dahlan itu kemudian diintegrasikan menjadi gagasan dan pokok-pokok pikiran Muhammadiyah. Tidak dapat disangkal, Muhammadiyah sebagai ormas ke-Islaman, telah banyak memberi sumbangan nyata kepada umat. Tugas dakwah yang dilakukan Muhammadiyah, mulai dari lembaga pendidikan, rumah sakit, panti asuhan, dan lain-lain, yang dapat dirasakan betul manfaatnya oleh masyarakat. Terutama dalam bidang pendidikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, Muhammadiyah mempunyai andil yang cukup besar. Komitmen Muhammadiyah kepada kaum lemah, anak yatim dan fakir miskin juga tidak pernah luntur, ini bisa dilihat dengan adanya rumah sakit dan panti asuhan yang dikelola oleh Muhammadiyah.
Peran Muhammadiyah yang didirikan K.H Ahmad Dahlan dalam dakwah Islam menggunakan strategi yang berpusat pada pembaharuan (tajdid) serta menjaga kemurnian Islam (purifikasi). Dalam rangka kegiatan pembaharuan dan pemurnian itu, selain dengan pemasyarakatan tajdid (dengan menggerakkan telaah ulang atas sistim mazhab dan taklid buta), Muhammadiyah juga mengadakan gerakan pemberantasan TBC (takhyul, bid’ah, dan churafat). Untuk itu, dakwah Muhammadiyah banyak diarahkan untuk memberantas segala hal yang berbau TBC (Weinata Sairin, 2005: 48-50).
Ada dua prinsip dasar yang menjadi acuan dakwah yang dikembangkan pendiri Muhammadiyah, K.H Ahmad Dahlan; pertama, adalah pembebasan, yakni membebaskan manusia dari belenggu kebodohan, dan yang kedua, adalah penghargaan atas harkat dan martabat kemanusiaan. Dalam upaya untuk membebaskan masyarakat dari kolonialisme asing yang membodohkan, K.H Ahmad Dahlan melakukan lompatan kultural dengan mengadopsi aspek-aspek positif dari budaya asing, seperti mendirikan lembaga pendidikan, panti asuhan, dan balai pengobatan. Sementara itu, untuk membebaskan manusia dari belenggu budaya dan kepercayaan, K.H Ahmad Dahlan mengembangkan pendidikan yang berbasis pada pengembangan akal dan rasionalitas. Sebagai implikasi dari lompatan dakwah yang berbasis pengembangan akal dan rasionalitas itulah K.H Ahmad Dahlan sering dipersepsikan anti budaya lokal (Abdurrahim Ghazali, 2003: 9-11). Dengan dikenalkan dakwah kultural di lingkungan Muhammadiyah mengindikasikan adanya aktualisasi penyikapan atas segala budaya lokal di lingkungan persyarikatan Muhammadiyah. Organisasi ini semakin menyadari tentang pentingnya budaya local sebagai media dakwah, walaupun mungkin sekarang masih dalam proses memilih, dan memilah dengan ’hati-hati’ berbagai macam budaya lokal agar tidak bertabrakan dengan doktrin-doktrin yang sudah mapan di Muhammadiyah.
A. Strategi Dakwah Kultural Muhammadiyah
Dakwah kultural adalah; upaya menanamkan nilai-nilai Islam dalam seluruh dimensi kehidupan dengan memperhatikan potensi dan kecenderungan manusia sebagai makhluk budaya secara luas, dalam rangka mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Ciri-ciri dakwah cultural adalah dinamis, kreatif dan inovatif (Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2004: 26).
Muhammadiyah yang didirikan KH Ahmad Dahlan, strategi dakwahnya berpusat pada pembaharuan (tajdid) serta menjaga kemurnian Islam (purifikasi). Dalam rangka kegiatan pembaharuan dan pemurnian itu, selain dengan pemasyarakatan tajdid (dengan menggerakkan telaah ulang atas sistim mazhab dan taklid buta), Muhammadiyah juga mengadakan gerakan pemberantasan TBC (takhyul, bid’ah, dan churafat). Untuk itu, dakwah Muhammadiyah banyak diarahkan untuk memberantas segala hal yang berbau TBC.
Dengan datangnya ‘pembaharuan’ dan ‘purifikasi’ yang dibawa Muhammadiyah sudah barang tentu berbenturan dengan faham keagamaan yang sudah lama berkembang di masyarakat yang notabene dalam ‘beberapa amaliah’ sudah mendapatkan pembenaran dari ulama tradisionil. Oleh karena itu, dalam sidang Tanwir Muhammadiyah di Denpasar, Bali, tahun 2002, memberikan PR besar bagi warga Muhamamdiyah untuk menerobos wacana baru, yaitu “dakwah kultural”. Wacana ini memang sangat kontraversial di kalangan Muhammadiyah. Namun melalui pengkajian secara intensif oleh beberapa tokoh di kalangan Muhamamdiyah, akhirnya dicapai kata sepakat untuk mengagendakan dakwah kultural ke depan. Pada sidang tanwir Muhammadiyah di Makassar, tahun 2003, telah direkomendasikan dakwah kultural sebagai pendekatan sekaligus metode dalam berdakwah di Muhammadiyah (Mu’arif, 2005: 164-165).
Tegasnya gerakan dakwah kultural ini cenderung mempertanyakan kebenaran statement yang mengatakan bahwa gerakan dakwah dipandang belum sungguh-sungguh memperjuangkan Islam, ketika belum secara terus-menerus memperjuangkan negara berdasarkan syariat Islam. Dakwah kultural mempertanyakan validitas tesis tersebut, apakah benar dakwah umat yang berada di luar kekuasaaan, adalah dakwah yang tidak lengkap, dan sempurna.
Sebagai ormas Islam, Muhammadiyah sangat kental dengan predikat ‘pemurnian’, sehingga kesannya angker, sebab banyak dari warga pedesaan khususnya, merasa segala aktifitas berkesenian dilarang. Muhammadiyah dianggap anti kesenian. Padahal tidak semua kesenian bertentangan dengan ajaran Islam. Menurut Ahmadun Y Herfanda (budayawan dan wartawan), melihat fenomena kebudayaan sekarang ini, Muhammadiyah sebaiknya memiliki strategi yang jitu untuk mengakomodir berbagai budaya yang berkembang dalam masyarakat, sekaligus menyaring seni dan budaya yang sesuai dengan kepribadian dalam Muhammadiyah (Suara Muhammadiyah, 2006: 6-9). Hal itu juga sesuai dengan gagasan ‘dakwah kultural’. Kalau selama ini dakwah Muhamamdiyah terkonsentrasi pada kalangan abangan dan masyarakat perkotaan semata, maka dengan adanya perubahan dan gerak zaman yang begitu cepat, perlu adanya rumusan yang jelas menyangkut segmen pedesaan untuk menjadi sasaran dakwah Muhammadiyah ke depan (Din Syamsuddin, 2005: v).
Untuk mengatasi problematika umat tersebut, maka aktivitas dakwah Muhammadiyah harus difokuskan pada beberapa hal. Pertama, pengentasan kemiskinan. Kedua, persiapan suplai elit muslim ke berbagai jalur kepemimpinan bangsa sesuai dengan skillnya masing-masing. Ketiga, mapping sosial umat sebagai langkah pengembangan dakwah. Keempat, pengintegrasian wawasan etika, estetika, logika, dan budaya dalam berbagai planning dakwah, Kelima, pendirian pusat-pusat studi dan informasi umat secara profesional yang berorientasi pada dinamisasi iptek. Keenam, menjadikan masjid sebagai pusat aktivitas ekonomi, kesehatan, dan syia’ar Islam. Ketujuh, menjadikan Islam sebagai pelopor yang profetis, humanis, dan transformatif (Usman Jasad, 2004: 38-39). Dengan bahasa lain, dakwah Islam tidak boleh dijadikan obyek dan alat legitimasi bagi pembangunan yang semata-mata bersifat ekonomis-pragmatis (Muhammad Azhar, 2003: 12-13). Langkah-langkah tersebutlah yang akan membawa Islam menjadi sebuah gerakan dakwah yang progresif dan inklusif.
Efektifitas dakwah mempunyai dua strategi yang saling mempengaruhi keberhasilannya. Pertama, peningkatan kualitas keberagamaan dengan berbagai cakupannya seperti di atas, dan kedua, mampu mendorong perubahan sosial. Ini berarti memerlukan pendekatan partisipatif di samping pendekatan kebutuhan. Dakwah bukan lagi menggunakan pendekatan yang hanya direncanakan sepihak oleh pelaku dakwah dan bukan pula hanya pendekatan tradisional, mengutamakan besarnya massa.
Suasana seperti itulah yang membuat dai dan mad’u terlibat diskusi secara dialogis tentang dakwah Islam itu sendiri. Dengan demikian pola pikir antar keduanya dapat disatukan dan dimodifikasikan untuk menjadi pola pikir dan aksi secara konsisten. Pandangan seperti ini sejalan dengan statemen Benedict dalam Theories of Man and Culture (Elvin Hatch, 1973: 29), di mana ia menyatakan:
All thought a culture is the chance accumulation of so many disparate elements for tuitously assembled from all direction by diffusion, the constituent elements a remodified to form a more or less consistent pattern of thought and action. “Semua pikiran adalah suatu kultur akumulasi yang memberi kesempatan sangat banyak bagi unsur-unsur yang berlainan untuk dirakit dari semua arah difusi, unsur-unsur yang konstituen dapat dimodifikasi kembali untuk membentuk suatu contoh pola aksi dan pikiran konsisten yang lebih besar”.
Pada dasarnya semua manusia yang sudah baligh, laki-laki maupun perempuan diperintahkan oleh Allah untuk saling menopang demi terlaksana dan tegaknya amar ma’ruf dan nahi munkar. Penegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar akan menjadi parameter kualitas khaira ummah. Menurut Ibnu Katsir Umat yang terbaik adalah umat yang terbaik bagi manusia dari sisi kemanfaatan mereka (Aunur Rahim Faqih, 2006: 52). Dengan kata lain, kebaikan umat itu hanya ada pada implementasi dakwah yang berwujud amar ma’ruf dan nahi munkar secara konsisten dan berkesinambungan.
Imam Abdullah an-Nasafi (2001: 194) dalam kitabnya Tafsir an-Nasafi menjelaskan mengenai amar ma’ruf dan nahi munkar sebagai berikut:
اَلْمَعْرُوْفُ مَااسْتَحْسَنَ الشَّرْعُ وَالْعَقْلُ وَالْمُنْكَرُ مَااسْتَقْجَهُ الشَّرْعُ وَالْعَقْلُ، أَوِالْمَعْرُوْفُ مَاوَافَقَ الْكِتَابَ وَالسُّنَةَ. وَالْمُنْكَرُمَاخَالَفَهُمَا، أَوِالْمَعْرُوْفُ الطَّاعَةُ وَالْمُنْكَرُالْمَعَاصِيْ
Al-Ma’ruf adalah apa yang dinyatakan baik oleh syara’ dan akal, sedangkan al-munkar adalah apa yang dinyatakan buruk oleh syara’ dan akal. Bisa juga, al-ma’ruf ialah sesuatu yang bersesuain dengan al-kitab dan as-sunnah, sedangkan al-munkar adalah yang berseberangan dengan keduanya. Atau bisa juga al-ma’ruf adalah ketaatan kepada Allah, sementara al-munkar adalah kemaksiatan kepada-Nya”.
Menurut Zakiyudin Baidawy (www. Islamlib.com), tokoh muda Muhammadiyah, berbeda dari dua model dakwah Muhammadiyah sebelumnya yang anti- TBC, dakwah kultural Muhammadiyah adalah dakwah pro-TBC. Yakni: 1) dakwah yang memanfaatkan dan membangkitkan kemampuan imajinatif (takhayyul) individu dan masyarakat agar kehidupan semakin estetik (indah), holistik, simbolik (dalam arti beradab), dan cerdas; 2) dakwah yang mendorong, memotivasi, dan mengkondisikan individu dan masyarakat untuk mencipta (kreatif) dan menemukan (inovatif) berbagai hal baru (bid’ah) baik dalam ide (pemikiran, wacana, teori dalam Muhammadiyah, dan masyarakat), aktivitas (praksis, gerakan Muhammadiyah), dan bentuk kebudayaan (amal-amal usaha Muhammadiyah); 3) serta dakwah yang mengeksplorasi seluruh kemampuan untuk meredefinisi “mitos” (baca: cita-cita sosial, meminjam istilah Mohammed Arkoun), mereproduksi, bahkan memproduksi mitos baru (khurafat) untuk mambangun citra keberagamaan, keberislaman, dan keber-muhammadiyah-an dalam rangka menuju masyarakat utama.
Untuk itu, dakwah kultural tidak hanya difokuskan pada penyikapan atas budaya lokal, tapi perlu diarahkan pada dakwah pengembangan masyarakat dengan harus memperhatikan beberapa prinsip dasar, yaitu; pertama, orientasi pada kesejahteraan lahir dan batin masyarakat luas. Dakwah tidak hanya sekedar merumuskan keinginan sebagian masyarakat saja, tapi direncanakan sebagai usaha membenahi kehidupan sosial bersama masyarakat, agar penindasan, ketidakadilan, dan kesewenang-wenangan tidak lagi hidup di tengah-tengah mereka. Skala makro yang menjadi sasaran dakwah bukan berarti meninggalkan skala mikro kepentingan individu anggota masyarakat. Kedua, dakwah pengembangan masyarakat pada dasarnya adalah upaya melakukan rekayasa sosial untuk mendapatkan perubahan tatanan kehidupan sosial yang lebih baik.
Untuk itu, landasan berpikir pada dai dalam melihat problem yang dihadapi masyarakat adalah sebuah permasalahan sosial, yang mestinya pemecahannya dilaksanakan dalam skala kehidupan sosial (Abdul Halim, 2005: 15-16). Dengan dikenalkan dakwah kultural di lingkungan Muhammadiyah mengindikasikan adanya ’aktualisasi’ penyikapan atas budaya lokal di lingkungan Muhammadiyah.Organisasi ini semakin menyadari tentang pentingnya budaya lokal sebagai media dakwah, walaupun mungkin sekarang masih dalam proses memilih, dan memilah dengan ’hati-hati’ berbagai macam budaya lokal agar tidak bertabrakan dengan doktrin-doktrin yang sudah mapan di Muhammadiyah.
B. Penutup
Munculnya kesenjangan sosial dan keterbelakangan umat Islam dalam penguasaan ekonomi dan tekhnologi membutuhkan gerakan dakwah yang bersifat aplikatif bukan teoritis. Dakwah sebagai agen penyebaran dan pembangunan umat dituntut harus dapat merespon, menjawab atau memberikan solusi atas munculnya persoalan umat.
Dakwah sebagai konsep dan gerakan yang menekankan prinsip bi al-hikmah wa al-mau'idzatul al-khasanah dapat memasuki wilayah spektrum kegiatan manusia yang sangat luas sehingga fungsi penyelenggaraan dakwah harus mampu mentransformasikan ide-ide atau konsep agama ke dalam dataran praksis. Dakwah yang menekankan adanya perubahan dan perbaikan kehidupan masyarakat inilah yang selama ini dikenal dengan dakwah bil hal.
Era informasi sekarang ini merupakan tantangan sekaligus peluang bagi syi’ar Islam yang harus mampu untuk melakukan dakwah melalui tulisan di media cetak, melalui rubrik, kolom opini yang umumnya terdapat dalam surat kabar harian tabloid mingguan, majalah atau buletin internal masjid. Penyampaian pesan dakwah keagamaan adalah kewajiban setiap manusia untuk menuju ke arah kebenaran yang dalam penyampaian kebenaran tersebut sangat beragam metode dan caranya, baik melalui lisan, tauladan yang baik dan dengan melalui tulisan di media massa, baik cetak maupun elektronik.
Muhammadiyah sebagai organisasi Islam modern dituntut untuk dapat melaksanakan dakwah, baik lisan maupun tulisan ataupun perbuatan, secara individu, kelompok atau berbentuk organisasi atau lembaga. Secara umum adalah setiap muslimin atau muslimat yang mukallaf (dewasa) dimana bagi mereka kewajiban dakwah adalah sesuatu yang melekat tidak terpisahkan dari misinya sebagai penganut Islam, sesuai dengan perintah: “sampaikan walaupun satu ayat”. Sedangkan secara khusus orang yang menjadi dai yaitu orang-orang yang mengambil spesialisasi khusus (mutakhasis) dalam bidang agama Islam yang dikenal dengan panggilan ulama.
Proses dakwah sangat memerlukan pendekatan atau strategi sebagai salah satu unsur yang akan mensosialisasikan ajaran-ajaran agama. Tanpa strategi bagaimanapun baiknya ajaran agama pasti tidak mungkin bisa tersebar. Begitu pentingnya unsur strategi dalam dakwah, maka diperlukan orang-orang yang bisa mengemban tugas mulia itu. Oleh karena itu untuk mendukung proses dakwah agar dapat berjalan dengan baik, maka Muhammadiyah membekali para dainya dengan kemampuan-kemampuan atau kompetensi-kompetensi yang menunjang demi suksesnya kegiatan dakwah yang dilakukannya. Memang hal ini tidak mudah, memerlukan da'i-da'i berkualitas, sebagai personifikasi sikap dan perilaku dalam kehidupan Islami, yang mampu mengaktualisasikan dirinya di tengah-tengah pluralitas masyarakat. Allah telah mengisyaratkan dalam surat Ali Imran ayat 110. Bahwa para da'i harus menjadi khaira ummah yang punya kemampuan menampilkan dirinya di tengah dan untuk masyarakat (ukhrijat li al-naas). Ini berarti pelaku dakwah, termasuk Muhammadiyah harus memiliki kemampuan menjawab sekaligus menerapkan jawaban atas pertanyaan apa, siapa di mana dan kapan ia berada. Kemampuan ini bisa menumbuhkan kesadaran akan potensi dirinya, posisinya, situasi dan kondisi yang sedang dan akan dihadapinya. Hal inilah yang mendorong Muhammadiyah menerapkan strategi dakwahnya dengan dakwah kultural.
Inti dakwah kultural yang dikembangkan Muhammadiyah adalah menekankan keragaman substansional, dakwah nilai-nilai Islam yang substansial berupa; kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, kerjasama, dan semangat melawan penindasan kemanusiaan. Dalam konteks keindonesiaan dakwah pemberdayaan umat seperti ini lebih diperlukan mengingat sebagian besar masyarakat Islam Indonesia lemah di berbagai bidang. Untuk itu forum pertemuan kedua organisasi itu perlu sering dilakukan, baik dalam bentuk diskusi, seminar maupun lainnya dengan topik pembicaraaan tentang upaya memberdayakan umat secara bersama-sama.
* Tarqum Aziz S.H.I. adalah ketua PC IRM Purwokerto (1998-2000)/Anggota PCPM Gandrungmangu Cilacap, tinggal di Kamulyan Rt 09/II Bantarsari Cilacap bersama isteri dan dua putrinya.


DAFTAR PUSTAKA
Abdullah ibn Ahmad ibn Mahmud An-Nasafi. 2001. Tafsir an-Nasafi Madarik at-Tanzil wa Haqa’iq at-Ta’wil. Juz I. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Abdul Halim. 2005. “Paradigma Dakwah Pengembangan Masyarakat”, dalam Moh. Ali Aziz, Dkk (ed.), Dakwah Pemberdayaan Masyarakat Paradigma Aksi dan Metodologis, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
Abdul Rosyad Shaleh. 1987. Manajemen Dakwah Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Abdurrahim Ghazali. 2003. “Dari Dogmatis ke Kultural Refleksi Kritis Dakwah Muhammadiyah”. dalam Muslim Abdurrahman (ed.). Muhammadiyah Sebagai Tenda Kultural. Jakarta: Ma’arif Institute dan Ideo Press.
Ali Mustafa Yaqub. 2000. Sejarah dan Metode Dakwah Nabi., Jakarta: Pustaka Firdaus.
Asep Muhyiddin. 2002. Metode Pengembangan Dakwah. Bandung: Pustaka Setia.
Aunur Rahim Faqih. 2006. Esensi, Urgensi & Problem Dakwah. Yogyakarta: LPPAI UII.
Din Syamsuddin. 2005. “Menjadikan Dakwah Sebagai Strategi Transformasi Sosial”. (Kata Pengantar) dalam Imam Muchlas. Landasan dakwah Kultural. Yogyakarta: Pustaka Suara Muhammadiyah.
Elvin Hatch. 1973. Theories of Man and Culture. New York: Columbia University Press.
Faisal Ismail. 2001. “Dakwah di Tengah Persoalan Budaya dan Politik”. Kata Pengantar. Hamdan Daulay. Dakwah dalam Percaturan Politik. Yogyakarta: LESFI.
Hamdan Hambali. 2008. Ideologi dan Strtaegi Muhammadiyah. Yogyakarta: Pustaka Suara Muhammadiyah.
Mu’arif. 2005. “Dakwah Kultural: Mencermati Kearifan Dakwah Muhammadiyah” dalam Imron Nasri (ed.). Pluralisme dan Liberalisme Pergolakan Pemikiran Anak Muda Muhammadiyah. Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri.
Muhammad Azhar, Beberapa Catatan tentang Problematika Dakwah”, Suara Aisyiyah, No. 02, Th. Ke-80, Februari 2003.
Mustafa Kemal Pasha. 2005. Muhammadiyah Sebagai Gerakan Dakwah Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah. 2004. Dakwah Kultural Muhammadiyah., Yogyakarta: Pustaka Suara Muhammadiyah.
Suara Muhammadiyah”, No. 3 th. Ke 91, 1-15 Februari 2006.
Usman Jasad, “Problematika Dakwah dan Alternatif Pemecahannya”, Muhammadiyah, No. 09. Th. Ke-89, 1-15 Mei 2004.
Weinata Sairin. 2005. Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Zakiyudin Baydhawy. “Kritik atas Paham Keagamaan Muhammadiyah Dakwah Klutural vs Imperialisme Islam Murni”, www. Islamlib.com, 17-10-2010.

URGENSI GURU PAI DALAM PEMBELAJARAN SISWA


URGENSI GURU PAI DALAM PEMBELAJARAN SISWA
Oleh: Wenny Nurul ‘Aini*
A. Latar Belakang Masalah
Pembentukan karakter yang baik bagi generasi penerus harus dimulai ketika seseorang masih kecil. Pentingnya pengembangan karakter bangsa sebagai dasar untuk menciptakan generasi yang unggul dan memiliki bargaining position di masa depan.
Pendidikan adalah proses secara sadar dalam membentuk anak didik untuk mencapai perkembangannya menuju kedewasaan jasmani maupun rohani, dan proses ini merupakan usaha pendidik membimbing anak didik dalam arti khusus misalnya memberikan dorongan atau motivasi dan mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi siswa. Oleh karena itu, motivasi merupakan salah satu faktor penunjang dalam menentukan intensitas usaha untuk belajar dan juga dapat dipandang sebagai suatu usaha yang membawa anak didik ke arah pengalaman belajar sehingga dapat menimbulkan tenaga dan aktivitas siswa serta memusatkan perhatian siswa pada suatu waktu tertentu untuk mencapai suatu tujuan. Motivasi bukan saja menggerakkan tingkah laku tetapi juga dapat mengarahkan dan memperkuat tingkah laku.
Siswa yang mempunyai motivasi dalam pembelajarannya akan menunjukkan minat, semangat dan ketekunan yang tinggi dalam belajarnya, tanpa banyak bergantung kepada guru. Motivasi belajar adalah faktor psikis yang bersifat non intelektual. Peranannya yang khas yaitu dalam hal menumbuhkan gairah dalam belajar, merasa senang dan mempunyai semangat untuk belajar sehingga proses belajar mengajar dapat berhasil secara optimal (Sardiman, 1996: 123). Oleh karena itu, pengembangan pembelajaran pendidikan agama Islam di sekolah perlu diupayakan bagaimana agar dapat mempengaruhi dan menimbulkan motivasi melalui penataan metode pembelajaran yang dapat mendorong tumbuhnya motivasi yang dapat mendorong tumbuhnya motivasi belajar dalam diri siswa. Hal ini dikarenakan pada dasarnya motivasi berfungsi mendorong manusia untuk berbuat sebagai penggerak, menentukan arah perbuatan dan menyeleksi perbuatan (Nasution, 1986: 79-80).
Memperhatikan fungsi motivasi yang sangat besar faedahnya bagi siswa dalam proses pembelajaran, maka jelas fungsi guru agama sebagai motivator sangat dibutuhkan, terlebih jika dikaitkan dengan proses pembelajaran yang terjadi di sekolah umum, dimana waktu yang digunakan adalah sangat terbatas yaitu 3 X 45 menit dalam seminggu. Hal ini menjadi kendala dan problem dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar pendidikan agama Islam. Problem lain yang terjadi bahwa siswa cenderung kurang berminat terhadap mata pelajaran pendidikan agama Islam, disamping proses pembelajaran yang kelihatan kurang maksimal diminati siswa, sehingga hasilnya tidak sesuai dengan tujuan yang dirumuskan.
Sesuai dengan tuntutan zaman untuk membina perkembangan jasmani dan rohaninya kearah kedewasaan, pendidikan agama diharapkan memiliki arah yang jelas dan dan mendapat perhatian khusus demi terlaksananya pendidikan agama yang berhasil dan berdaya guna. Oleh karena itu menurut Azizy (2003: vii), maka pendidikan agama harus diarahkan sebagai landasan untuk mendalami disiplin ilmu umum dan penanaman nilai-nilai yang bersumber dari agama yang diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua arah pendidikan tersebut dimaksudkan agar pendidikan agama bukan hanya mengajarkan do’a dan tata cara ibadah kepada Tuhan saja, tapi juga berperan aktif dalam memberi motivasi anak didik untuk lebih baik dan lebih maju serta mampu membangun kehidupan yang lebih santun dengan landasan etika sosial yang benar. Dengan demikian seharusnya pendidikan agama mampu menjadi pilar utama sebagai bagian dari pendidikan secara umum untuk membangun etika sosial bangsa kita.
Undang-undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pasal 39 ayat 2 pada bab XI tentang pendidik dan tenaga kependidikan dikemukakan bahwa:
Pendidik merupakan tenaga professional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran. Melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi (UU Sisdiknas, 2003: 21).
Pengertian pendidik menurut UU Sisdiknas dapat dipahami bahwa tugas seorang pendidik tidak hanya sekedar mengajar tapi juga memperhatikan hasil yang dicapai oleh siswa dan juga membimbing siswa untuk bisa mengembangkan kecerdasan kognitif, afektif, dan psikomotoriknya secara optimal.
Guru adalah unsur manusiawi dalam pendidikan. Guru adalah figur manusia sumber yang menempati posisi dan memegang peranan penting dalam pendidikan. Oleh karena itu, figur guru mesti terlibat dalam agenda pembicaraan, terutama yang menyangkut soal pendidikan formal di sekolah. Hal itu tidak dapat disangkal, karena lembaga pendidikan formal adalah dunia kehidupan guru.
Di sekolah, guru hadir untuk mengabdikan diri kepada umat manusia dalam hal ini anak didik. Negara menuntut generasinya yang memerlukan pembinaan dan bimbingan dari guru. Sementara itu, anak didik merupakan harapan dan milik yang berharga bagi orang tua, di tangan gurulah anak-anak tumbuh menemukan jalan hidupnya. Pendidikan yang diberikan untuk anak merupakan pondasi untuk masa depannya. Oleh karena itu, kehadiran guru sangat berarti sekali bagi anak didik.
Menjadi guru berdasarkan tuntutan pekerjaan adalah perbuatan yang mudah tetapi menjadi guru berdasarkan panggilan jiwa/tuntutan hati nurani adalah tidak mudah, karena kepadanya lebih banyak dituntut suatu pengabdian kepada anak didik dari pada tuntutan pekerjaan. Guru yang mendasarkan pengabdiannya karena panggilan jiwa merasakan jiwanya lebih dekat dengan anak didiknya. Kemuliaan guru tercermin pada pengabdiannya kepada anak didik dalam interaksi edukatif di sekolah dan di luar sekolah.
Melihat kenyataan yang ada dimasa sekarang banyak guru yang mendasarkan pengabdiannya karena tuntutan pekerjaan sehingga guru dalam mengajar anak didiknya hanya sekedar menunaikan kewajibannya karena telah menerima gaji, padahal anak didik bukanlah seorang pendengar yang hanya diceramahi anak langsung paham, anak didik adalah anak-anak yang memerlukan bimbingan, perhatian, kasih sayang, untuk mengembangkan kecerdasan kognitif, afektif, dan psikomotorik yang dimilikinya.
B. Peranan guru dalam pembelajaran siswa
Masalah pendidikan adalah masalah hidup dan kehidupan manusia, di mana ia akan selalu memerlukan pendidikan agar ia mampu mempertahankan hidup atau dapat mencapai kehidupannya agar lebih baik. Menurut Zuhairini (1995: 92), pendidikan dalam sejarah manusia, sebenarnya sudah dimulai sejak adanya makhluk yang bernama manusia. Hal ini berarti bahwa pendidikan itu berkembang dan berproses bersama-sama dengan proses perkembangan dan kehidupan manusia.
Usaha untuk menciptakan suatu sistem pendidikan yang dapat memindahkan nilai-nilai kebudayaan yang dikehendaki tersebut belum sepenuhnya dapat mencapai hasil yang maksimal serta memuaskan. Dengan kata lain, sistem pendidikan yang benar-benar mapan dapat diterima secara universal, bentuk nilai-nilai falsafi, serta serasi dengan fitrah manusia dan tatanan masyarakat masih belum ditemui (Zalaludin, 1994: 13). Hal itu terlihat dari kenyataan hasil yang telah dicapai oleh pendidikan model Barat yang lebih menonjolkan aspek rasional manusia. Pendidikan yang awalnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemashlahatan manusia, telah menghasilkan kemajuan dibidang ilmu pengetahuan. Namun pendidikan model ini belum sepenuhnya mampu menyentuh kebutuhan hakiki dari manusia secara sempurna yaitu kebutuhan nilai-nilai kemanusiaan, baik dari aspek jasmani dan rohani.
As-Syaibani (1979: 10). bahkan menyatakan bahwa penentuan sikap dan tanggapan tentang manusia sangat penting dan vital, tanpa sikap dan tanggapan yang jelas, pendidikan akan meraba-raba Apabila pemahaman tentang manusia tidak jelas, maka berakibat tidak baik pada proses pendidikan itu sendiri. Hal ini selaras dengan statemen yang menyatakan bahwa pendidikan adalah proses yang komprehensif sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Tarbiyatu wa al-Ta’lim yang berbunyi :
فَالتَّرْ بِيَةُ بِاْلمَعْنَ اْلعَامِ هِىَ كُلُّ مُؤَ ثِّرٍ فىِ تَكْوِيْنِ الشَخْصِ الجَسْمَانِىِّ وَاْلجَسْمَانىِ وَاْلخُلُقِىَّ مِنْ حَيْنَ وِلاَدَتِهِ إِلىَ مَوْتِهِ, وَتَشْمِلُ جَمِيْعُ الْعَوَامِلِ سَوَاءٌ أَكَانَتْ مَقْصُوْدَةٌ كَالتَرْ بِيَةِ وَاْلمَتْرِلِيَّةِ وَاْلمَدْرَسِيَّةِ, اَمْ غَيْرُمَقْصُوْدَةٌ كَالتَرْبِيَةِ الَّتِى تَجِيْئُ عَرْضًاوَمَنْ تَأ ثِيْرِ البِيْئَةِ الطَبِيْعِيَّةَ وَاْلاِجْتِمَاعِيَّةِ وَغَيْرِذَلِكَ
Pendidikan secara umum adalah setiap pengaruh dalam menjadikan seseorang secara badaniyah, akliyah (akhlak), semenjak lahir sampai pendidikan di rumah dan di sekolah, ataupun tidak seperti tujuan pendidikan yang datang karena pengaruh tabiat (sifat) serta pengaruh masyarakat dan lain sebagainya (Muhammad Qasim Bakr, t.t: 7).
Guru adalah merupakan salah satu komponen manusiawi dalam proses belajar mengajar yang ikut berperan dalam usaha pembentukan sumber daya manusia yang potensial di bidang pembangunan. Oleh karena itu, guru harus berperan aktif dalam menempatkan kedudukannya sebagai tenaga profesional, sesuai dengan tuntutan masyarakat yang semakin berkembang. Guru dalam pandangan masyarakat adalah orang yang melaksanakan pendidikan di tempat-tempat tertentu, tidak mesti di lembaga pendidikan formal, tetapi bisa juga di masjid, di surau/mushola, di rumah dan sebagainya.
Menurut Zuhairini, guru agama Islam merupakan pendidik yang mempunyai tanggung jawab dalam membentuk kepribadian Islam anak didik, serta bertanggung jawab terhadap Allah Swt (Zuhairini, 1983: 84). Oleh karena itu, ia mempunyai tugas untuk mengajarkan ilmu pengetahuan Islam, menanamkan keimanan dalam jiwa anak, mendidik anak agar taat menjalankan agama dan berbudi pekerti yang mulia.
Statemen tersebut sejalan dengan ungkapan Syaikh Az-Zarnujiy ( 1978: 16) dalam kitabnya yang berjudul Ta'limul Muta'alim:
وَاَمَّااخْتِيَارُاْلاُسْتَاذِ, فَيَنْبَغِى اَنْ يَخْتَارَ اْلاَعْلَمَ وَاْلاَوْرَعَ وَاْلاَسَنَّ, كَمَااخْتَارَاَبُوْحَنِيْفَةَ حِيْنَئِذٍحَمَّادَبْنَ اَبِى سُلَيْمَانَ بَعْدَ التَّأَمّ‍ُلِ وَالتَّفَكُّرِ.
Dalam memilih guru, hendaklah mengambil yang lebih 'alim, waro' dan juga lebih tua usianya. Sebagaimana Abu Hanifah setelah lebih dahulu memikir dan mempertimbangkan lebih lanjut, maka menentukan pilihannya kepada Tuan Hammad Bin Abu Sulaiman.
Berdasarkan ketentuan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa syarat seorang guru agama yang profesional adalah mencakup tentang syarat yang berhubungan dirinya sendiri, syarat-syarat yang berhubungan dengan pelajaran, syarat-syarat yang berhubungan ketika guru berada ditengah-tengah muridnya, sehat jasmani dan rohani, syarat paedagogis yang meliputi; kedewasaan, pengetahuan, ketrampilan, keahlian serta berijasah serta yang lebih 'alim, waro' dan lebih tua usianya.
Tugas berat seorang guru inilah yang menjadikannya niat karena Allah semata, mencintai siswa sebagaimana ia mencintai diri sendiri, memotivasi siswa untuk menuntut ilmu seluas mungkin, menyampaikan pelajaran dengan bahasa yang mudah dipahami oleh siswa, melakukan evaluasi terhadap kegiatan belajar mengajar yang dilakukannya, bersikap adil terhadap semua siswa, membantu memenuhi kemaslahatan murid baik dengan kedudukan ataupun hartanya dan memantau perkembangan murid, baik intelektual maupun akhlaknya (2004: 89-94). Hal ini sejalan dengan gagasan AR Sahad (1987: 14) yang menyatakan:
Teacher are responsible for guiding, moulding and improving the career of the community. They are like torch-light in darkness. As the earth derives tight and energy from the sun, similiarly the pupils receive knowledge and guidence from their teacher. The teacher are like the moon and the students are just like the star so the seekers of knowledge and the learned teacher accupy on exceptionally prominent place in society (Pendidik bertanggung jawab penuh untuk menuntun, mencetak (karir) dan meningkatkan karier (jenjang karier) dari suatu masyarakat. Pendidik diibaratkan sebagai suatu lampu yang menyala di tengah kegelapan, sedangkan murid adalah individu yang menerima ilmu pengetahuan dan bimbingan dari pendidik mereka. Dengan demikian dalam dunia pendidikan dan pencarian ilmu, pendidik menempati posisi yang tertinggi dalam kehidupan masyarakat).
Melihat kenyataan ini, maka seorang guru menurut Syaiful Bahri Djamarah (2000: 43-48) hendaknya dapat menjadi seorang korektor, inspirator, informator, organisator, motivator, inisiator, fasilitator, pembimbing, demonstrator, pengelola kelas, mediator, supervisor, dan evaluator. Jadi apapun yang diucapkan dan dilakukan oleh seorang guru akan mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap peran guru tersebut. Inilah yang barangkali menurut Usman (2002: 7) menyebabkan masyarakat menempatkan guru pada tempat yang lebih terhormat dilingkungannya karena keluasan ilmu pengetahuannya. Oleh karena itu, guru Pendidikan Agama Islam, dituntut rasa pengabdian dan tanggung jawab yang tinggi terhadap pertumbuhan dan perkembangan moral bangsa dan negara serta agama sesuai dengan hak-hak yang diperoleh guru agama, baik dalam lingkungan sekolah maupun masyarakat, akan memberikan kewenangan bagi guru pendidikan agama Islam sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya.
C. Kesimpulan
Pendidik atau guru agama ideal dalam pendidikan Islam adalah setiap orang dewasa yang karena kewajiban agamanya bertanggung jawab atas pendidikan dirinya dan orang lain. Sedangkan menyerahkan tanggung jawab dalam amanat pendidikan adalah agama, dan wewenang pendidik dilegitimasi oleh agama, sementara yang menerima tanggung jawab dan amanat adalah setiap orang dewasa untuk membimbing dan membina anak didik, baik secara individual maupun klasikal, baik di sekolah maupun diluar sekolah. Oleh karena itu, guru harus dapat menjadi pengajar, pendidik, pemimpin, model, dan konsultan bagi siswa.
Untuk mencapai kriteria tersebut, maka seorang guru semestinya dapat bersikap adil, percaya dan suka terhadap murid, sabar dan rela berkorban, berpengetahuan luas, menghormati guru lain dan ilmu yang bukan pegangannya, konsekuen, perkataan sesuai dengan perbuatan, tidak mengharapkan upah dan pujian, tetapi mengharapkan ridho Allah, memperhatikan fase perkembangan murid agar ilmu yang disampaikan sesuai, sederhana, dan terhadap murid yang bertingkah laku buruk, guru hendaknya menegur dengan cara yang baik.
Peran seorang guru sebagai pendidik amatlah penting sekali terutama bagi murid pada tingkat satuan pendidikan. Hal inilah yang menjadikan ia harus berperan sebagai caregiver (pembimbing), uswatun hasanah (contoh), mentor (penasehat), korektor, inspirator, informator, organisator, motivator, inisiator.
* Wenny Nurul ‘Aini, S. Pd. I adalah alumni Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) Jurusan Tarbiyah STAIN Purwokerto tahun 2004, sekarang mengabdi sebagai guru PAI SMP Islam Al-Irsyad Gandrungmangu, Cilacap.

DAFTAR PUSTAKA
As-Syaibani, At-Toumi. 1979. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Azizy, Qodri A. 2002. Pendidikan (Agama) untuk Membangun Etika Sosial. Semarang: Aneka Ilmu.
Az-Zarnujiy, Syaikh. t.t.'limul Muta'alim. Semarang: Toha Putra.
Djamarah, Syaiful Bahri. 2000. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif. Jakarta: Rineka Cipta.
Hussen, Syed. 1994. Menyongsong Keruntuhan Pendidikan Islam. Bandung: Gema Risalah.
Muhammad Qasim Bakr. t.t. al-Tarbiyatu wa al-Ta’lim. Surabaya: Maktabah al-Hidayah.
Nasution, S. 1986. Didaktik Asas-Asas Mengajar. Bandung: Jemmars.
Ramayulis. 2004. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
Sahad A.R. 1987. The Rights of Allah and Human Rights. India: Syah Offset Printer.
Sardiman. AM. 1996. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Usman, Moh. Uzer. 2002. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Zalaluddin. 1994. Filsafat Pendidikan Islam, Konsep dan Perkembangan Pemikirannya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Zuhairini. 1983. Metodik Khusus Pendidikan Agama. Surabaya: Usaha Nasional.
_______. 1995. Filsafat Pendidikan Islam. Surabaya: Usaha Nasional.