Warning


SELAMAT DATANG CALON SANTRI BARU ANGKATAN KEDUA
PESANTREN MBS CILACAP

Selasa, 13 Desember 2011

Lazis Muhammadiyah Piranti Pemberdayaan Kader & Ajang Dakwah Islam

Lazis Muhammadiyah Piranti Pemberdayaan Kader & Ajang Dakwah Islam
Wenny Nurul ‘Aini & Tarqum Aziz*

A.    Latar Belakang Masalah
Islam adalah agama yang diturunkan Allah SWT untuk mengatur hidup dan kehidupan manusia. Islam adalah agama yang mempunyai ruang lingkup yang amat luas mencakup segenap aspek, baik aspek keagamaan maupun aspek keduniaan. Aspek-aspek tersebut dalam dunia fiqih terkenal dengan ibadah dan muamalah. Dengan kata lain, Islam adalah konsep yang memadukan antara keduanya.
Islam adalah suatu sistem aturan ilahi yang bulat dan utuh, antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya mempunyai relasi yang erat dan akrab. Oleh karena itu dalam aktualisasi dan implementasinya tidak boleh dipisah-pisahkan. Islam harus diterapkan dan diamalkan secara bulat dan utuh. Hal ini dikarenakan tujuan Islam untuk membangun kebahagiaan dunia dan akhirat tidak akan terwujud manakala dicampuradukkan dengan sistem lainnya.
Salah satu aktivitas yang diwajibkan bagi setiap muslim untuk mensosialisasikan ajaran Islam adalah dakwah. Aktivitas dakwah bukanlah suatu beban yang memberatkan setiap muslim, kewajiban ini justru akan dapat meringankan beban-beban yang harus dipikul dan akan mengembalikan izzah Islam dimata umat manusia. Dengan kata lain dakwah merupakan proses transformasi ajaran-ajaran Islam terhadap umat ijabah maupun umat dakwah. Tanpa dakwah, aktivitas amar ma’ruf nahi munkar tidak akan berjalan.
Islam merupakan satu-satunya konsep hidup yang bernilai suci dan universal, dimensinya mencakup segala aspek hidup dan kehidupan. Universalisasi inilah yang menjadikan Islam memberi kebebasan kepada setiap individu muslim untuk memilih proses yang sesuai dengan bakat, skill, kemampuan, atau keahliannya yang dapat memberikan suatu penghasilan secara sah dan halal. Penghasilan yang bersih yang telah mencapai nishab wajib dizakati sesuai ketentuan syari’at Islam.
Zakat yang merupakan simbol dari fiscal policy dalam Islam merupakan sarana pertumbuhan ekonomi sekaligus mekanisme yang bersifat built in untuk tujuan pemerataan penghasilan dan kekayaan (Sayyid Qutb, 2001: 187). Dengan demikian, melalui lembaga zakat akan terjadi konsep keadilan mengenai distribusi yang adil sehingga yang kuat mengangkat yang lemah. Zakat adalah tanggungjawab setiap individu sebagai jaminan sosial dalam masyarakat Muslim (Esposito, 2005: 20). Dengan kata lain, zakat merupakan bentuk peribadatan dan terima kasih Muslim kepada Allah untuk membantu kebutuhan masyarakat yang kurang mampu sebagai purifikasi atau penyucian.
Menurut Masjfuk Zuhdi (1997: 226) bahwa tujuan utama diwajibkan zakat atas umat Islam adalah untuk memecahkan problem kemiskinan, memeratakan pendapatan, dan meningkatkan kesejahteraan umat dan negara. Ali Yafie (1997: 119) bahkan mengkonstantir bahwa zakat berpotensi ikut membentuk proses keadilan sosial dalam bentuk pengentasan kemiskinan manakala digali secara sungguh-sungguh, dikembangkan, dan ditata dengan sebaik-baiknya.
Kohesif dengan hal di atas, maka kepedulian sosial yang diberikan kepada LAZIS Muhammadiyah sudah sepantasnya diarahkan pada tiga hal pokok. Pertama, lahirnya individu-individu bersih sebagai modal dasar bagi terciptanya masyarakat yang berkualitas. Kedua, tegaknya keadilan sosial yang berdimensi kader. Ketiga, meratanya kemaslahatan pada setiap segi kehidupan, kepedulian terhadap gerak dan laju perjuangan para aktivis AMM. Dari sinilah pembinaan dan kajian hukum-hukum Islam, terutama zakat sangat signifikan eksistensinya. Pembinaan kesadaran zakat yang intensif akan membantu terciptanya suatu bangsa yang utuh bersatu, sehingga kesenjangan sosial yang saat ini menganga tidak akan tercipta. Oleh karena itu sudah barang tentu, dakwah tidak hanya dilakukan secara individu tetapi juga dapat dilakukan secara kolektif.
Keadaan dan kecenderungan manusia secara individual maupun kolektif menjadi pertimbangan dasar bagi dakwah Islam sebagai proses yang paling mempengaruhi antar individu dengan kelompok dan antar kelompok yang melibatkan aspek-aspek dinamika pemahaman dan kesadaran (PP Muhammadiyah, 2004: 5). Sayyid Quthub (1987: 98) bahkan mengklaim bahwa jama’ah diperlukan sebagai inti dinamik dalam proses peng-Islaman dan mendorong interaksi para anggota masyarakat dalam mencari suatu kepastian hukum akan nilai-nilai Islam.

B.     Urgensi LAZIS Muhammadiyah dalam Dakwah Islam
Zakat secara bahasa atau etimologi berasal dari kata zakā  yang berarti tumbuh, berkah, bersih, dan baik (Ibrahim Anis, 1972: 396). Menurut kamus Lisān al-Arāb, arti dasar dari zakat ditinjau dari sudut bahasa adalah suci, tumbuh, berkah, dan teruji (Ibn Mundzir, t.t: 90-91), semuanya digunakan di dalam al-Qur’an dan Hadis. Sedangkan dalam kitab Kifāyatul Akhyār, disebutkan bahwa zakat menurut bahasa artinya tumbuh, berkah, dan banyak kebaikan (Taqiyyuddīn al-Husaini, t.t: 172). Dengan menunaikan kewajiban membayar zakat mengandung maksud membangun kembali sebuah kesadaran umat akan kewajibannya selaku seorang muslim. Para pemberi zakat (muzakki) juga berharap ketika menunaikan zakat mereka dikarunia Allah sebuah keberkahan, jiwa suci, dan hartanya semakin tumbuh dan berkembang.
Harapan tersebut selaras dengan firman Allah dalam surat at-Taubah ayat 103 yang berbunyi:
خُذْ مِنْ أَمْوَا لِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ، إِنَّ صَلَوا تَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ، وَاللهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui (Q.S. 9: 103)..

Yanggo (2005: 224) bahkan mengatakan bahwa ayat di atas memiliki sembilan nilai signifikan, yaitu:
1.  Zakat mensucikan jiwa dari sifat kikir dan bakhil.
2.  Zakat mendidik gemar dan suka berinfak dan bershodaqah.
3.  Zakat menjadikan sesorang bersikap dan berakhlak dengan akhlak Allah.
4.  Zakat mengobati hati dari cinta dunia.
5.  Zakat adalah sarana manifestasi rasa syukur atas nikmat Allah.
6.  Zakat mengembangkan kekayaan batin.
7.  Zakat mensucikan harta.
8.  Zakat menarik simpati dan menumbuhkan rasa cinta
9.  Zakat mendorong untuk bekerja keras, kreatif, dan proaktif dalam usaha serta efisien dalam waktu.

Zakat adalah piranti untuk membersihkan harta dan mensucikan diri orang kaya dari sifat bakhil, dengki dan dendam. Zakat juga dapat mengembangkan dan menjauhkan harta yang telah diambil zakatnya dari bahaya. Dengan demikian, hati dan harta orang yang membayar zakat tersebut menjadi suci dan bersih serta berkembang secara maknawi. Sedangkan secara terminologi (istilah) syari’at, zakat itu maksudnya mengeluarkan sebagian harta, diberikan kepada yang berhak menerimanya, supaya harta yang tinggal menjadi bersih dari orang-orang yang memperoleh harta menjadi suci jiwa dan tingkah lakunya (Fahruddin H.S., 1992: 618). Sedangkan Hammuddah Abdalati (1980: 95) menyatakan: The tehnical meaning of the word designates the annual amount in kind or coint which a Muslim with means must distribut among the rightfull beneficiaries (Pengertian zakat secara tehnis adalah kewajiban seorang muslim menditribusikan secara benar dan bermanfaat, sejumlah uang atau barang).
Yūsuf Qardhāwī sebagaimana dikutip oleh Didin Hafiduddin (2003: 179) bahkan mengkonstatir bahwa zakat adalah ibadah māliyah ijtimā’iyyah yang memiliki posisi sangat penting, strategis, baik dari sisi ajaran maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat. Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang lima, yaitu rukun Islam yang ke-3 sehingga ia adalah salah satu unsur pokok bagi tegaknya syari’at Islam. Menurut Ali Yafie (1994: 231) bahwa eksistensi zakat dianggap sebagai malūm min ad-dīn bi adh-dharūrah atau diketahui secara otomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dari ke-Islaman seseorang.
Kesediaan berzakat dipandang sebagai indikator utama ketundukkan seseorang terhadap ajaran Islam sebagaimana terilustrasikan pada surat at-Taubah ayat 11.
فَإِنْ تَبُواْ وَأَقَامُواالصَّلوةَ وَأَتَوُاازَّكَوةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِى الدِّيْنِ، وَنُفَصِّلُ اْلأَيتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُوْنَ          
Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, Maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. dan kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang Mengetahui (Q.S. 9: 11).

Indikator lainnya adalah menjadikan seseorang berkeinginan untuk selalu membersihkan diri dan jiwanya dari berbagai sifat buruk seperti bakhil, egois, dan tamak sekaligus berkeinginan untuk selalu membersihkan, mensucikan, dan mengembangkan harta yang dimilikinya (Q.S. Ar-Rūm ayat 39).

وَمَآ اَتَيْتُمْ مِّنْ رِّبًالِّيَبُوَاْ فِيْ أَمْوَالِ النَّاسِ فَلاَ يَرْ بُواْ عِنْدَ اللهِ، وَمَآ اتَيْتُمْ مِّنْ زَكوةٍ تُرِيْدُوْنَ وَجْهَ اللهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ امُضْعِفُوْنَ                   
Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya) (Q.S. 30: 39).

Muhammad Sayyid Tanthāwī (1997: 30) bahkan mengkonstatir bahwa menunaikan zakat dapat mensucikan jiwa mereka dari penyakit kikir, rakus, dan tamak serta membersihkan hati mereka dari kekerasan, dan sebagai pengembangan harta. Dengan membayar zakat justeru harta akan tumbuh dan berkembang serta melipatkan pahala di hari depan kelak.

 Membayar zakat menurut, Syafi’i Ma’arif (2002: 8) merupakan manifestasi pengamalan Islam yang mampu mengangkat derajat seseorang dan masyarakat sekitarnya. Umat Islam yang bersedia membayar zakat jumlahnya besar. Namun demikian, masih banyak yang belum sadar zakat. Hal ini menurutnya disebabkan masih ada asumsi pada sebagian masyarakat yang menilai pengelolanya kurang amanah. Faktor inilah yang menyebabkan lahirnya lembaga zakat, seperti LAZIS, BAZIS dan lain sebagainya.
Sehubungan zakat merupakan manifestasi dari kegotongroyongan antara si kaya dan fakir miskin, maka pemberdayaan yang ada dalam tubuh LAZIS Muhammadiyah harus dapat menjadi proteksi bagi masyarakat dari bencana kemasyarakatan, yaitu kemiskinan, kelemahan baik fisik maupun mental. Oleh karena itu, seyogyanyalah LAZIS Muhamamdiyah dapat dijadikan sarana distribusi kekayaan di dalam ajaran Islam yang merupakan kewajiban kolektif perekonomian umat Islam. Hal ini dikarenakan zakat merupakan komitmen seorang muslim dalam bidang sosial ekonomi yang tidak terhindarkan untuk memenuhi kebutuhan pokok bagi semua orang. Fenomena inilah yang sebenarnya memerankan LAZIS Muhammadiyah sebagai pelipur lara bagi orang miskin yang amat membutuhkan uluran tangan.
Zakat dalam ajaran Islam memiliki dua makna, teologis-individual dan sosial. Pertama, menyucikan harta dan jiwa. Penyucian harta dan jiwa bermakna teologis-individual bagi seseorang yang menunaikan zakat untuk mereka yang berhak. Jika makna ini dipedomani, ibadah zakat hanya berdampak individual, yakni hubungan vertikal antara seorang hamba dengan Tuhannya. Makna pertama lebih berdimensi individual, menyucikan harta dan jiwa untuk mendapat keberkahan. Kedua, memiliki dimensi sosial, ikut mengentaskan kemiskinan, kefakiran, dan ketidakadilan ekonomi demi keadilan sosial. Karena dengan membayar zakat terjadi sirkulasi kekayaan di masyarakat, yang tidak hanya dinikmati oleh orang kaya, tetapi juga orang miskin.
Konteks itulah yang akan menyebabkan LAZIS Muhammadiyah dapat menjadi institusi strategis bagi pembebasan orang miskin yang dimiskinkan penguasa dan pemodal. Inilah yang harus dilihat, penunaian zakat bukan hanya dilakukan secara karikatif sebagai ekspresi keagamaan instan. Islam dengan ajaran zakatnya mengajak adanya perubahan dalam sistem dan perputaran kekayaan yang ada di masyarakat. Inilah tantangan persyarikatan Muhamamdiyah agar LAZIS yang dikelolanya dapat menjadi institusi strategis bagi penciptaan sistem ekonomi yang adil dan bertanggung jawab, bukan sekadar pemberian untuk sekedar menghibur atau pelipur lara. Dengan demikian, LAZIS Muhammadiyah melalui pentasharufan zakatnya bisa berfungsi lebih luas, bukan sekadar menyucikan harta, jiwa, atau menghibur orang miskin, tetapi mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat berbasis keadilan.
Keadilan sosial ekonomi menekankan adanya keseimbangan dalam ekonomi dan terbebasnya dari berbagai bentuk kepincangan sosial yang berpangkal dari kepincangan ekonomi. Oleh karena itu, penggunaan harta harus mempertimbangkan aspek-aspek keadilan sosial dan tidak menimbulkan kerugian bagi sesamanya. Penunaian zakat adalah contoh konkrit atas rasa keadilan sosial. Hal ini dikarenakan pembayaran zakat berupa pemberian sejumlah harta benda yang sangat dicintai secara cuma-cuma yang berhak menerimanya.
 Zakat dalam konteks kesejahteraan sosial mengharuskan keseimbangan antara konsumsi, produksi, dan distribusi di dalam sistem ekonomi. Kesejahteraan sosial dalam Islam merupakan pemurnian dan realitas ajaran agama. Ia adalah hak yang suci yang harus dilaksanakan oleh seluruh masyarakat muslim. Menurut Abdurrahman Qadir (1998: 161), pengaruh sosial dari zakat akan tampak dari dua sisi. Pertama dari sisi orang kaya, para wajib zakat  melalui penunaian zakatnya otomatis membersihkan jiwa mereka dari sifat-sifat asosial seperti bakhil, kikir, egoistis, dan rakus sekaligus mendorong mereka bersikap sosial, suka berkorban, dan menolong kaum dhu’afa. Kedua dari pihak orang miskin, penerimaan zakat berupa harta yang sangat dibutuhkan secara otomatis akan menghilangkan sifat-sifat buruk yang mungkin terpendam dalam hatinya seperti dengki, iri, benci atau rencana jahat terhadap orang kaya yang kikir. Dengan demikian, maka terciptalah hubungan harmonis antara kaya dan miskin.
Untuk menciptakan relasi yang harmonis antara yang kaya dan miskin, maka zakat adalah sarana yang jitu untuk pengembangan dakwah Islam. Engineer bahkan menyatakan bahwa al-Qur’an sangat menekankan keadilan distributif. Zakat adalah konsep keadilan distributif itu, Asghar Ali Engineer (1990: 35) menyatakan:
The Qur’an lays great emphasis on distributive justice. It is totally against accumulation and hoarding of wealth. It condemns accumulated wealth as strongly as possible. It also exhorts the people to spend in order to take care of orphans, widows, the needy and the poor. Al-Qur’an sangat menekankan keadilan distributif. Keadilan ini 100% berseberangan dengan penumpukkan dan penimbunan harta kekayaan. Al-Qur’an sejauh mungkin mengecam penumpukkan harta. Al-Qur’an juga menganjurkan agar orang-orang kaya mendermakan hartanya untuk anak yatim, janda-janda, fakir dan miskin.

Beredarnya harta kepada para mustahik memberikan beberapa manfaat yang akan diraih, yaitu: Pertama, pemenuhan kebutuhan pokok mustahik. Melalui zakat para fakir miskin akan beroleh haknya. Kesulitan pemenuhan kebutuhan pokok segera terpenuhi. Fisik akan makin kuat. Pikiran pun bakal terbuka. Melalui zakat diharapkan etos kerja mustahik jadi tergugah. Sehingga mereka diharapkan mampu bangkit untuk hidup mandiri. Syukur-syukur dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama akan mampu menjadi muzakki sehingga dapat membantu mustahik lainnya. Kedua, menggerakkan roda perekonomian. Salah satu faktor bergeraknya roda perekonomian adalah seberapa besar dana yang berputar. Dana yang tersedia ini akan menimbulkan permintaan barang. Ketiga, daya beli masyarakat akan makin meningkat. Produk-produk banyak yang dibutuhkan sehingga lapangan pekerjaan pun main terbuka. Pengangguran pun makin terberdayakan. Keempat, memupuk empati dan kepedulian sosial.
Ber-zakat tidak hanya sekadar melunasi kewajiban. Lebih dari itu, zakat adalah salah satu upaya menggugah empati dan kepedulian bahwa muzakki sudah bekerja keras untuk mendapat harta benar. Tetapi berempati dan peduli kepada saudara yang belum beruntung merupakan sebuah ibadah berdimensi sosial. Dengan empati dan peduli berarti kita sudah turut di dalam menyelamatkan peradaban manusia. Peradaban yang menjunjung tinggi persaudaraan. Sesama saudara saling menanggung beban. Sebuah peradaban begitu mulia. Dengan demikian, bagi orang-orang beriman harta bukanlah segala-galanya. Jadi membersihkan harta dengan berzakat adalah segala-galanya. Dengan berzakat harta akan termulia kedudukannya, sementara mustahik pun terberdayakan.
Ibrāhīm Muhammad Al-Jāmal (1986: 163) menegaskan:
وَمِنْ ذ لِكَ أَمْرُ اْلإِ سْلاَمِ لِلإِ نْسَانِ الْمُسْلِمِ بِالْبَذْلِ وِالْعَطَاءِ فِىْ سَبِيْلِ اللهِ، بِطَرِيْقَةٍ تَثِيْرُفِيْهَا مَعَانِى الْخَيْرَ وَالْبِرِّ وَاْلإِحْسَانِ، وَالرَّأْ فَةِ عَلَى الْفُقَرَاءِ وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِيْنِ، فَيُصْبِحُ بِذلِكَ جَوَادًاكَرِيْمًا فَيُفِيْضُ الْمُجْتَمَعُ بِالْحُبِّ وَالتَآلُّفِ، وَالرَّحْمَةِ الْمُتَبَادِلَةِ بَيْنَ أَفْرَادِهِ، وَالنَّظْرَةِ مِنَ الْفَقِيْرِ إِلىَ أَخِيْهِ الْغَنِى بِالرِّضَاعَنْهُ وَالدُّعَاءِ لَهُ بِالتَّوْفِيْقِ وَالْبَرَكَةِ       
Islam menyuruh manusia muslim berkorban dengan memberi untuk membela agama Allah dengan cara yang menimbulkan makna-makna kebaikan, kebajikan dan belas kasih kepada fakir miskin dan anak-anak yatim. Dengan pendekatan Islam manusia menjadi seorang yang dermawan dan pemurah sehingga masyarakat terpenuhi dengan kecintaan dan kerukunan serta kasih saying timbal balik antara individu-individunya di samping orang fakir ridha kepada saudaranya yang kaya dan mendoakannya agar menadapat taufik dan berkah (Ibrāhīm Muhammad Al-Jāmal, 1999: 155).

Zakat merupakan refleksi tekad untuk mensucikan masyarakat dari penyakit kemiskinan, harta benda orang kaya, dan pelanggaran terhadap ajaran-ajaran Islam yang terjadi karena tidak terpenuhinya kebutuhan pokok bagi setiap orang tanpa membedakan suku, ras, dan kelompok. Zakat merupakan komitmen seorang Muslim dalam bidang sosio-ekonomi yang tidak terhindarkan untuk memenuhi kebutuhan pokok bagi semua orang, tanpa harus meletakkan beban pada kas negara semata, seperti yang dilakukan oleh sistem sosialisme dan negara kesejahteraan modern.
Pengelolaan secara produktif inilah yang diharapkan dapat membantu mengentaskan kemiskinan. Oleh karena itu, menurut Qardhāwī (2004: 58-59) setiap orang yang bekerja dalam lembaga zakat harus memperhitungkan bahwa dirinya sedang beribadah kepada Allah. Ia harus bersikap adil, amanah dan jujur. Namun demikian, Menurut Syahrin Harahap (1999: 102-103), pendayagunaan zakat akan dapat secara tepat dan efektif apabila ada tanggungjawab sosial secara keseluruhan. Hal ini dapat dilakukan jika diri kita masuk pada posisi muzakki dan pengelola zakat dapat melaksanakan manajemen secara terencana, sehingga dapat mengembangkan mustahiq secara menyeluruh.
Di satu sisi, tujuan pengumpulan zakat agar terakumulasi dalam jumlah besar, tentu merupakan sebuah keinginan yang perlu didukung. Hal ini penting, karena pemberdayaan masyarakat miskin tidak dapat ditanggulangi dengan dana kecil dan sporadis. Namun, penanganan kemiskinan harus direncanakan, diorganisir dan dilakukan secara strategis dan berjangka panjang. Di sisi lain, pengumpulan yang tidak sesuai dengan aspirasi publik, dianggap tidak adil karena memotong gaji mereka yang sudah berpenghasilan kecil dan pas-pasan pada saat kondisi ekonomi demikian sulit, menjadikan tujuan strategis tersebut kontra-produktif. Terlebih lagi, ketidakpercayaan publik terhadap lembaga pemerintah masih kental. Jika dana zakat tersebut terkumpul, pertanyaannya, dapatkah masyarakat yakin bahwa pengelolaan dan pemanfaatan dana tersebut dilakukan secara transparan dan akuntabel.
Zakat akan menjadi sebuah kebijakan publik manakala dilakukan dengan cara-cara persuasif dan memenuhi rasa keadilan publik, bukan sebaliknya, dianggap sebagai bentuk ketidakadilan. Kasus zakat adalah pembelajaran bagi kita sehingga ke depan, baik elit agamawan maupun pemerintah hendaknya melibatkan masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan mereka.
Berpijak dari urgensi nilai zakat, maka dapat dikatakan bahwa zakat adalah refleksi dan realisasi dari rasa keadilan yang bersumber dari akal seserang, di mana ia menyadari bahwa sebagai makhluk sosial, manusia memiliki rasa kemanusiaan, belas kasihan, dan tolong-menolong. Akal yang sehat jelas akan menolak sikap dan perilaku individualistik, egoistis, dan serakah. Oleh karena itu, hukum zakat adalah wajib atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu.
Urgensi eksistensi zakat harus disampaikannya kepada para jama’ah hingga kesadaran berzakatnya dapat tumbuh berkembang di masyarakat. Oleh karena itu, semua harus bergerak mengembangkan zakat, baik masyarakatnya maupun pemerintahnya. Dorongan dan perintah untuk selalu berzakat, haruslah dipahami pula sebagai sebuah upaya untuk menumbuhkan kecintaan bekerja dan beramal mencari rezeki yang halal. Dengan demikian wajah dakwah Islam akan menampakkan wajah humanistik dan egalitarianisme.

C.    Kesimpulan
Berangkat dari paradigma zakat bagi pengembangan dakwah, maka LAZIS Muhammadiyah harus mampu mendudukan zakat sebagai salah satu dari rukun Islam yang akan menghantarkan seorang hamba kepada kebahagiaan dan keselamatan dunia dan akhirat, sekaligus sarana bagi hamba untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Rabb-Nya, sehingga dapat menjadi salah satu jalan menambah keimanan karena eksistensinya yang memuat beberapa macam ketaatan. Oleh karena itu, LAZIS Muhammadiyah sudah sepatutnya membumikan dan mengkampayekan sadar zakat kepada para pembayar zakat dengan imbalan prasasti pahala besar yang berlipat ganda (Q.S. al-Baqarah: 276), dan sarana penghapus dosa.
Zakat dapat menjadi media untuk menanamkan sifat kemuliaan, rasa toleran dan kelapangan dada kepada pribadi pembayar zakat. Oleh karena itu, LAZIS Muhammadiyah harus mampu menajdi fasilitator bagi para pembayar zakat agar identik dengan sifat rahmah (belas kasih) dan lembut kepada saudaranya yang tidak punya. Dengan demikian akan lahir adagium bahwa menyumbangkan sesuatu yang bermanfaat baik berupa harta maupun raga bagi kaum muslimin akan melapangkan dada dan meluaskan jiwa. Sebab sudah pasti para pembayar zakat akan menjadi orang yang dicintai dan dihormati sesuai tingkat pengorbanannya.
Zakat merupakan sarana untuk membantu dalam memenuhi hajat hidup para fakir miskin yang merupakan kelompok mayoritas sebagian besar negara di dunia. Dari sinilah LAZIS Muhammadiyah dapat memainkan peran dalam memberikan support kekuatan bagi kaum muslimin dan mengangkat eksistensi kaum dhu’afa. Ini bisa dilihat dalam kelompok penerima zakat, salah satunya adalah Mujahiddīn fī Sabilillāh (lebih khusus kader pimpinan/kader ikatan pada AMM). Zakat bisa mengurangi kecemburuan sosisal, dendam dan rasa dongkol yang ada dalam dada fakir miskin. Karena masyarakat bawah biasanya jika melihat mereka yang berkelas ekonomi tinggi menghambur-hamburkan harta untuk sesuatu yang tidak bermanfaaat bisa tersulut rasa benci dan permusuhan mereka. Jikalau harta yang demikian melimpah itu dimanfaatkan untuk mengentaskan kemiskinan tentu akan terjalin keharmonisan dan cinta kasih antara si kaya dan si miskin. Zakat akan memacu pertumbuhan ekonomi pelakunya dan yang jelas berkahnya akan melimpah.
* Wenny Nurul ‘Aini, S.Pd.I adalah alumni Tarbiyah STAIN Purwokerto sekaligus Ketua Umum PCNA Gandrungmangu Cilacap, mengabdi sebagai Ustadzah PAI di SMP Islam al-Irsyad Gandrungmangu.

* Tarqum Aziz, SHI adalah alumni Syari’ah STAIN Purwokerto. Mantan Ketua Umum PC IRM Purwokerto ini sekarang sedang meneruskan perjuangannya di bidang Organisasi PDPM Banyumas.


DAFTAR PUSTAKA

Abdalati, Hammudah. 1980. Islam in Focus, Indiana: American Trust Publication.

Abū Bakar al-Husaini, Imām Taqiyyuddīn. t.t. Kifāyatul Akhyār, Juz I, Semarang: Usaha Keluarga.

Al-Jāmal, Ibrāhīm Muhammad. 1986. Fiqh al-Mar'ah al-Muslimah. Jedah: Dar al-Riyadh.

________________________. 1999. Fiqh Muslimah. Alih Bahasa Al-Hamid al-Husaini, Jakarta: Pustaka Amani.

Anis, Ibrāhīm. 1972. Mujām al-Wāsith, Juz I, Kairo: Dār al-Ma’ārif.

Engineer, Asghar Ali. 1990. Islam and Liberation Theology: Essays on Liberative Elements in Islam. New Delhi: Sterling Publisher Private Limited.

________________. 1999. Islam dan Teologi Pembebasan. Alih Bahasa Agung Prihantoro. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Esposito, John L. 2005. Islam Aktual. Depok: Inisiasi Press.

Gamal, Merza. 2007 “Zakat Versus Riba”, dalam http://ayah-tercinta.blogspot.com/2007_04_01_archive.html. donwload pada tanggal 19 Juni 2007 jam 12.30 WIB.

Hafiduddin, Didin. 2007. “Zakat Sebagai Implementasi Syari’ah”, dalam http://www.pkpu.or.id. Donwload pada tanggal 19 Juli 2007 jam 01.30 WIB.

Harahap, Syahrin. 1999. Islam, Konsep dan Implementasi Pemberdayaan, Yogyakarta: Tiara Wacana.

Ibn Mundzir, Abī al-Fādhil Jāmal ad-Dīn Muhammad ibn Mukrim. t.t. Lisān al-Arāb, Juz I, Beirut: Dār Shādar.

Ma’arif, Syafi’i. 2002. “Berzakat Merupakan Wujud Ketaatan pada Allah”. dalam Harian Republika, Rabu 18 September 2002.


Pimpinan Pusat Muhammadiyah. 2004. Dakwah Kultural Muhammadiyah. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah.

Qadir, Abdurrachman. 1998. Zakat dalam Dimensi Mahdah dan Sosial. Jakarta: Srigunting.
Qardhāwī, Yūsuf. 2004. Manajemen Zakat Profesional. Alih Bahasa Jasiman, dan Fauzan, Solo: Media Insani Press.

Qutb, Sayyid. 1987. “Perumus Ideologi Kebangkitan Islam”, dalam John L. Esposito (Ed.). Dinamika Kebangkitan Islam. Jakarta: Rajawali Press.

____________. 2001. Islam Agama Pembebas. Alih Bahasa Fungky Kusnaedi Timur, Yogyakarta: Mitra Pustaka.

Tanhawi, Muhammad Sayyid. 1997. “Islam dan Perekonomian”. dalam Muhammad Tanthawi. Problematika Pemikiran Muslim, Sebuah Analisis Syar’iyyah. Yogyakarta: Adi Wacana.

Yafie, Ali. 1994. Menggagas Fikih Sosial. Bandung: Mizan.

_______. 1997. Teologi Sosial. Yogyakarta: LKPSM.

Yanggo, Huzaimah Tahido. 2005. Masail Fiqhiyah, Kajian Hukum Islam Kontemporer Bandung: Angkasa.

Zuhdi, Masjfuk. 1997. Masail Fiqhiyah. Jakarta: Gunung Agung.




Keadilan Perkawinan Poligami


KEADILAN PERKAWINAN POLIGAMI
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Oleh: Tarqum Aziz, SHI
(Mantan Ketua Umum PC IRM Purwokerto/Anggota PDPM Banyumas)


A.    Latar Belakang Masalah
Poligami merupakan permasalahan dalam perkawinan yang paling banyak diperdebatkan sekaligus kontroversial. Poligami ditolak dengan berbagai macam argumentasi baik yang bersifat normatif, psikologis bahkan selalu dikaitkan dengan ketidakadilan gender. Para penulis barat sering mengklaim bahwa poligami adalah bukti bahwa ajaran Islam dalam bidang perkawinan sangat diskriminatif terhadap perempuan. Menurut Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, poligami dikampanyekan karena dianggap memiliki sandaran normative yang tegas dan dipandang sebagai salah satu alternatif untuk menyelesaikan fenomena selingkuh dan prostitusi (Nuruddin dan Akmal: 2004: 156).
Poligami merupakan praktik pernikahan kepada lebih dari satu suami atau istri (sesuai dengan jenis kelamin orang bersangkutan) sekaligus pada suatu saat (berlawanan dengan monogami, di mana seseorang memiliki hanya satu suami atau istri pada suatu saat). Terdapat tiga bentuk poligami, yaitu poligini (seorang pria memiliki beberapa istri sekaligus), poliandri (seorang wanita memiliki beberapa suami sekaligus), dan pernikahan kelompok (bahasa Inggris: group marriage, yaitu kombinasi poligini dan poliandri). Ketiga bentuk poligami tersebut ditemukan dalam sejarah, namum poligini merupakan bentuk yang paling umum terjadi. Walaupun diperbolehkan dalam beberapa kebudayaan, poligami ditentang oleh sebagian kalangan. Terutama kaum feminis menentang poligini, karena mereka menganggap poligini sebagai bentuk penindasan kepada kaum wanita.

B.     Makna keadilan dalam poligami
Poligami merupakan persoalan pelik yang dihadapi oleh kaum perempuan dalam Islam, bahkan para pengamat dari luar Islam menganggap dibolehkanya poligami membuktikan bahwa Islam mengabaikan konsep demokrasi dan HAM dalam relasi suami istri sebagai bentuk diskriminasi dan marginalisasi terhadap perempuan. Landasan normatif kebolehan poligami dalam Islam merujuk surat an-Nisa>’ ayat 3 yang berbunyi:
وَاِنْ خِفْتُمْ اَلاَّ تُفْسِطُوْا فِى الْيَتمى فَانْكِحُوْا مَاطَابَ لَكُمْ مِّنَ لنِّسَآءِ مَسْنىٰ وَثُلثَ وَرُبَعَ ۚ فَإِنْ خِفْتُمْ اَلاَّ تُقْدِ لُوْا فَوَا حِدَةٌ اَوْ مَامَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْ نى اَلاَّ تَعُوْلُوْا 

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya),maka kawinilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu tidak akan dapat berbuat adil, maka kawinilah seorang saja,atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.

Di Indonesia persoalan perkawinan termasuk didalamnya masalah poligami diatur secara formal dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan pelaksanaanya dalam PP Nomor 9 tahun 1975, UU NO. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama serta instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (Hasan Bisri, 1996: 117-123). Lahirnya Undang-Undang tersebut merupakan upaya memfositifkan hukum islam dalam hukum nasional dan menjadikan peradilan Agama sebagai institusi formal pelaksanaanya. Semua produk perundang-undangan tersebut pada hakikatnya merupakan upaya pembatasan poligami yang digali dari nilai-nilai agama islam sebagai instrumen menciptakan relasi suami isteri yang adil, seimbang dengan prinsip kesetaraan.
Para ulama fiqh sepakat bahwa kebolehan poligami dalam perkawinan didasarkan pada firman Allah Swt. surat an-Nisa> ayat 3 di atas. Ayat 3 surat an-Nisa> ini masih ada kaitannya dengan ayat sebelumnya yaitu ayat 2 surat an-Nisa>. Ayat 2 mengingatkan kepada para wali yang mengelola harta anak yatim, bahwa mereka berdosa besar jika sampai memakan atau menukar harta anak yatim yang baik dengan yang jelek dengan jalan yang tidak sah. Sedangkan ayat 3 mengingatkan kepada para wali anak wanita yatim yang mau mengawini anak yatim tersebut, agar si wali itu beritikad baik dan adil dan fair, yakni si wali wajib memberikan mahar dan hak-hak lainnya kepada anak yatim wanita yang dikawininya. Ia tidak boleh mengawininya dengan maksud untuk memeras dan menguras harta anak yatim atau menghalang-halangi anak wanita yatim kawin dengan orang lain. Hal ini berdasarkan keterangan Aisyah ra waktu ditanya oleh Urwah bin al-Zubair ra mengenai maksud ayat 3 surat an-Nisa> tersebut (Zuhdi, 1997: 14). Jika wali anak wanita yatim tersebut khawatir atau takut tidak bisa berbuat adil terhadap anak yatim, maka ia (wali) tidak boleh mengawini anak wanita yatim yang berada di bawah perwaliannya itu, tetapi ia wajib kawin dengan wanita lain yang ia senangi, seorang isteri sampai dengan empat, dengan syarat ia mampu berbuat adil terhadap isteri-isterinya. Jika ia takut tidak bisa berbuat adil terhadap isteri-isterinya, maka ia hanya beristeri seorang, dan ini pun ia tidak boleh berbuat dholim terhadap isteri yang seorang itu. Apabila ia masih takut pula kalau berbuat zalim terhadap isterinya yang seorang itu, maka tidak boleh ia kawin dengannya, tetapi ia harus mencukupkan dirinya dengan budak wanitanya.
Poligami memiliki akar sejarah yang panjang dalam perjalanan peradaban manusia itu sendiri. Sebelum Islam datang ke Jazirah Arab, poligami merupakan sesuatu yang telah mentradisi bagi masyarakat Arab. Poligami masa itu dapat disebut poligami tak terbatas, bahkan lebih dari itu tidak ada gagasan keadilan di antara para istri. Suamilah menentukan sepenuhnya siapa yang ia sukai dan siapa yang ia pilih untuk dimiliki secara tidak terbatas. Isrti-istri harus menerima takdir mereka tanpa ada usaha memperoleh keadilan (Engineer, 2003: 111).
Pada umumnya, para fuqaha dalam membahas masalah poligami hanya menyoroti aspek hukum kebolehan poligami saja tanpa upaya untuk mengkritisi kembali hakikat dibalik hukum boleh tersebut baik secara historis, sosiologis maupun antropologis (Hasyim, 2001: 161). Oleh karena itu dalam perkembangannya, interpretasi ayat poligami sebagaimana tertuang dalam kitab-kitab fiqih klasik banyak digugat karena dianggap bias gender.
Ayat 3 surat an-Nisa> sebagaimana yang ditulis dimuka secara ekplisit seorang suami boleh beristri lebih dari seorang sampai batas maksimal empat orang dengan syarat mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya itu. Ayat ini melarang menghimpun dalam saat yang sama lebih dari empat orang istri bagi seorang pria. Ketika turun ayat ini, Rasulullah memerintahkan semua pria yang memiliki lebih dari empat istri, agar segera menceraikan istri-istrinya sehingga maksimal setiap orang hanya memperistrikan empat orang wanita (Quraish Shihab, 1999: 199).
Poligami bertujuan untuk memelihara hak-hak wanita dan memelihara kemuliaannya. Kebolehan poligami terdapat pesan-pesan strategis yang dapat diaktualisasikan untuk kebahagiaan manusia. Poligami memiliki nilai sosial ekonomis untuk mengangkat harkat dan martabat wanita. Muhammad Abduh berpendapat bahwa poligami merupakan tindakan yang tidak boleh dan haram. Poligami hanya dibolehkan jika keadaan benar-benar memaksa seperti tidak dapat mengandung. Kebolehan poligami juga mensyaratkan kemampuan suami untk berlaku adil. Ini merupakan sesuatu yang sangat berat, seandainya manusia tetap bersikeras untuk berlaku adil tetap saja ia tidak akan mampu membagi kasih sayangnya secara adil (Nasution, 1996: 100).
Muhammad Asad juga mengatakan bahwa kebolehan poligami hingga maksimal empat istri dibatasi dengan syarat, “jika kamu punya alasan takut, tidak mampu memperlakukan adil terhadap istri , maka kawinilah satu, karena untuk membuat perkawinan majemuk ini hanya sangat mungkin dalam kasus-kasus yang luar biasa dan dalam kondisi yang luar biasa (Engineer: 2003: 139). Poligami bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan keluarga, baik konflik antara suami dengan isteri-isteri dan anak-anak dari isteri-isterinya, maupun konflik antara isteri beserta anak-anaknya masing-masing. Oleh sebab itu, hukum asal perkawinan dalam Islam adalah monogami, sebab dengan monogami akan mudah menetralisir sifat atau watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh dalam dalam keluarga monogamis. Berbeda dengan kehidupan keluarga yang poligami, orang akan mudah peka dan terangsang timbulnya perasaan cemburu, iri hati, dengki dan suka mengeluh dalam kadar tinggi, sehingga bisa mengganggu ketenangan keluarga dan dapat membahayakan keutuhan keluarga. Dengan demikian, poligami hanya diperbolehkan, bila dalam keadaan darurat, misalnya isterinya ternyata mandul (tidak dapat membuahkan keturunan), isteri terkena penyakit yang menyebabkan tidak bisa memenuhi kewajibannya sebagai seorang isteri.
Hukum perkawinan yang baik ialah yang bisa menjamin dan memelihara hakekat perkawinan, yaitu untuk menghadapi segala keadaan yang terjadi atau yang mungkin akan terjadi. Perkawinan adalah hubungan kemanusiaan antara lelaki dengan wanita untuk menyongsong kehidupan dengan segala problemanya. Kesepakatan sepasang suami isteri untuk saling setia dan tetap sebagai sebuah keluarga yang utuh memang merupakan dambaan dan suatu kesempurnaan ruhani. Kesempurnaan ruhani tidak dapat dipaksakan oleh kekuatan hukum. Keutamaan di sini tentu bukan dalam arti seorang lelaki mencukupkan untuk beristeri satu karena ketidakmampuannya beristeri dua atau tiga. Keutamaan dalam hal ini adalah jika seorang pria sebenarnya mampu beristeri lebih dari satu, tetapi ia tidak mau melakukannya. Atas kemauannya sendiri ia tidak berpoligami, berdasarkan kesadaran bahwa kebahagiaan spiritual terletak dari sikapnya yang menjauhkan diri dari polgami. Jika beristeri satu karena terpaksa, itu tidak bedanya dengan berpoligami.
Pada dasarnya, hukum perkawinan hanya dapat ditegakkan atas dasar kenyataan obyektif dan dalam ruang lingkup yang seluas-luasnya; mengakui keutamaan monogami dan tidak mutlak melarang poligami. Melarang sesuatu yang kurang sempurna akan membuat terperosok kedalam kesalahan, yaitu menganggap semua orang sempurna atau sanggup menempuh cara hidup yang sempurna. Itulah ketetapan hukum perkawinan dalam Islam, yang mengakui monogami lebih mendekati keadilan dan kebajikan, tetapi bersamaan dengan itu membolehkan poligami, karena merupakan hal yang perlu diperhitungkan dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian, tidak seorangpun dapat mengingkari terjadinya poligami yang sesuai hukum, dan tidak seorangpun dapat berdalih menggunakan hukum untuk bertindak di luar hukum.
Pada berbagai keadaan tertentu, poligami diperlukan untuk melestarikan kehidupan keluarga. Kemandulan seorang istri atau penyakit yang menahun atau wanita yang telah hilang daya tarik fisik atau mental yang akan menyeret terjadinya perceraian daripada poligami. Oleh karena itu, sudah sepatutnya seorang isteri yang demikian merelakan suaminya melakukan poligami, bila suaminya berkehendak sebagai bukti tanggung jawabnya (isteri) dalam rangka melestarikan kehidupan keluarga dan kemakmuran bumi. Hal ini selaras dengan perintah Allah yang menyuruh setiap manusia yang telah mampu untuk menikah sebagaimana disampaikan oleh Ibra>hi>m Muh}ammad Jamal (1986: 269) dalam karyanya Fiqh al-Mar'ah al-Muslimah yang berbunyi:
ولم يشأ الله سبحانه أن تظل العمورة على حالها تتكاثر أيما أرادت، ولكن نظم الغرائز. ووضع لها أصولا وقواعد حتى يحافظ على آدمية الإ نسان. ويربي في نفسه الفضيلة والطهر والعفاف

Allah swt tidak ingin dunia ini dunia ini statis atau berkembang biak menurut keinginan penghuninya, tetapi Allah mengatur naluri dan menetapkan pokok-pokok dan kaidah-kaidah, sehingga dapat memelihara martabat manusia. Manusia harus memelihara keuatamaan, kesucian, dan keluhuran budi pekertinya (Muh}ammad Jamal, 1999: 253).

Al-Qur’an sebenarnya begitu berat untuk menerima institusi poligami, tetapi hal itu tidak bisa diterima dalam situasi yang ada. Oleh karena itu, al-Qur’an membolehkan laki-laki kawin hingga empat orang istri, dengan syarat harus adil. Inti ayat diatas sebenarnya bukan pada kebolehan poligami, tetapi bagaimana berlaku adil terhadap anak yatim terlebih lagi ketika mengawini mereka. Hal ini senada dengan ungkapan Asghar Ali Engineer (1996: 156) yang menyatakan:
Thar permission to marry more than one wife should be seen stricly in the context of prevailing the circumstances and that even if a situasion compels a man to marry more than one wife, justice in treatment cannot be dispensed with The element of justice in the form of equal treatment is so essential that in its absense the Qur’anic verse requires men not to take more than one wife. Situations warranting polygamy should be treated as an exception rather than the rule and such situations, as the Qur’anic verse stresses, require a very delicate balance in doing justice to one’s first wife as well as to the orphans and widows who, in such exceptional situations, should not be left to fend for themselves. The Qur’anic tries to archieve this cautious balance.
  
Pembolehan mengawini lebih dari seorang isteri harus dilihat secara ketat dalam konteks keadaan-keadaan yang berlaku, bahkan jika ada situasi yang memaksa seorang laki-laki mengawini lebih dari seorang isteri, maka keadilan dalam perlakuan sangat ditekankan. Jika keadilan ini tidak dapat dilaksanakan, al-Qur’an menuntut laki-laki supaya tidak beristeri lebih dari seorang. Situasi-situasi yang membenarkan poligami harus diperlakukan sebagai pengecualian, bukan suatu kewajaran. Situasi-situasi semacam itu sebagaimana ditekankan al-Qur’an, menuntut adanya keseimbangan dalam memberikan perlakuan yang benar-benar adil terhadap isteri pertama dan juga terhadap anak-anak yatim dan janda yang dalam kondisi perkecualian itu, tidak boleh dibiarkan mengurus diri mereka sendiri. al-Qur’an, berusaha mencapai keseimbangan yang benar-benar adil (Engineer: 2000: 242-243).
 
Berkenaan dengan syarat adil, hal ini sering menjadi perdebatan yang panjang tidak saja dikalangan ahli hukum tetapi juga di masyarakat. Oleh sebab itu, dalam makalah ini, penulis mencoba mengkaji, yang pertama ; latar belakang sosiologis sebab turun (Asbabun Nuzul) ayat tentang poligami. Kedua, keabsahan hukum poligami, Ketiga, makna keadilan dalam perkawinan poligami. Keempat, apa yang menjadi illat hukum kebolehan poligami dalam perkawinan. Dengan demikian, menurut hukum Islam (fiqh), kebolehan hukum poligami telah menjadi kesepakatan ulama walaupun dengan persyaratan yang ketat, yaitu harus berlaku adil terhadap istri-istrinya.
Undang-Undang No.1 Tahun 1974, meskipun menganut asas monogamy, tetapi membuka kemungkinan bagi seorang suami untuk berpoligami dengan syarat harus mendapat izin dari Pengadilan Agama dengan disertai alasan-alasan: Pertama, istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri. Kedua, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Ketiga, istri tidak dapat melahirkan keturunan. Keempat, ada izin dari istri pertama. Kelima, ada kepastian bahwa suami mampu menjalin keperluan-keperluan hidup pada istri dan anak-anaknya.
Kehidupan yang tenteram (sakinah) di balut dengan perasaan cinta kasih yang ditopang saling pengertian di antara suami isteri, karena baik suami atau isteri menyadari bahwa masing-masing sebagai “pakaian” bagi pasangannya. Itulah yang sesungguhnya merupakan tujuan utama disyar’atkannya perkawinan. Suasana kehidupan keluarga yang demikian, dapat diwujudkan dengan mudah apabila perkawinan dibangun di atas dasar yang kokoh, antara lain antara suami isteri ada dalam sekufu’ (kafa’ah). Pentingnya kafa’ah dalam perkawinan sangat selaras dengan tujuan perkawinan di atas ; suatu kehidupan suami isteri yang betul-betul sakinah dan bahagia. Suami isteri yang sakinah dan bahagia akan mampu mengembangkan hubungan yang intim dan penuh kemesraan, yang pada gilirannya akan melahirkan generasi pelanjut yang bertaqwa.
Surat an-Nisa> ayat 3 menegaskan bahwa syarat suami yang berpoligami wajib berlaku adil terhadap isteri-isterinya. Berkenaan dengan syarat berlaku adil, hal ini sering menjadi perdebatan yang panjang tidak saja dikalangan ahli hukum tetapi juga di masyarakat. Oleh sebab itu, apa yang dimaksud berlaku adil atau makna keadilan sebagai syarat poligami.
Seorang suami yang hendak berpoligami menurut ulama fiqh paling tidak memliki dua syarat: Pertama, kemampuan dana yang cukup untuk membiayai berbagai keperluan dengan bertambahnya istri. Kedua, harus memperlakukan semua istrinya dengan adil. Tiap istri harus diperlakukan sama dalam memenuhi hak perkawinan serta hak-hak lain (Rahman I Doi, 2002: 192)). Persyaratan demikian, nampak sangat longgar dan memberikan kesempatan yang cukup luas bagi suami yang ingin melakukan poligami. Syarat adil yang sejatinya mencakup fisik dan non fisik, oleh Syafi’i dan ulama-ulama Syafi’iyyah dan orang-orang yang setuju dengannya, diturunkan kadarnya menjadi keadilan fisik atau material saja. Bahkan lebih dari itu, para ulama fiqh ingin mencoba menggali hikmah-hikmah yang tujuannya adalah melakukan rasionalisasi terhadap praktek poligami.
Mayoritas ulama fiqh (ahli hukum Islam) menyadari bahwa keadilan kualitatif adalah sesuatu yang sangat mustahil bisa diwujudkan. Abdurrah}ma>n al-Jazairi> (1990: 239) menuliskan bahwa mempersamakan hak atas kebutuhan seksual dan kasih sayang di antara istri-istri yang dikawini bukanlah kewajiban bagi orang yang berpoligami karena sebagai manusia, orang tidak akan mampu berbuat adil dalam membagi kasih sayang dan kasih sayang itu sebenarnya sangat naluriah. Sesuatu yang wajar jika seorang suami hanya tertarik pada salah seorang istrinya melebihi yang lain dan hal yang semacam ini merupakan sesuatu yang di luar batas kontrol manusia.
Berbagai pendapat diatas, para ulama fiqh cenderung memahami keadilan secara kuantitatif yang bisa diukur dengan angka-angka. Muhamad Abduh berpandangan lain, keadilan yang disyaratkan al-Qur’an adalah keadilan yang bersifat kualitatif seperti kasih sayang, cinta, perhatian yang semuanya tidak bisa diukur dengan angka-angka. Ayat al-Qur’an mengatakan: “Jika kamu sekalian khawatir tidak bisa berlaku adil, maka kawinilah satu isrti saja”. Muhammad Namun apabila seorang laki-laki tidak mampu memberikan hak-hak istrinya, rusaklah struktur rumah tangga dan terjadilah kekacauan dalam kehidupan rumah tangga tersebut. Sejatinya, tiang utama dalam mengatur kehidupan rumah tangga adalah adanya kesatuan dan saling menyayangi antar anggota keluarga.


C.    Kesimpulan
1.      Latar belakang sosiologis sebab turun ayat tentang poligami, yaitu kebiasaan prilaku wali anak wanita yatim yang mengawini anak yatimnya dengan tidak adil dan manusiawi.
2.      Hukum Perkawinan Islam membolehkan bagi seorang suami melakukan poligami dengan syarat yakin atau menduga kuat mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya, sebagaimana yang di isyaratkan oleh 3 kata kunci surat an-Nisa>: maka jika kamu takut tidak akan mampu berlaku adil, maka kawinlah seorang istri saja. Kebolehan poligami ini bukan anjuran tetapi salah satu solusi yang diberikan dalam kondisi khusus kepada mereka (suami) yang sangat membutuhkan dan memenuhi syarat tertentu.
3.      Makna keadilan sebagai syarat poligami bukan pada keadilan makna batin (seperti cinta dan kasih sayang) tetapi keadilan pada hal-hal yang bersifat material dan terukur, sebagaimana diisyaratkan oleh latar belakang sosiologis sebab turun ayat poligami (ayat 3 surat an-Nisa>).
4.      Illat hukum kebolehan poligami lebih didorong oleh motivasi sosial dan kemanusiaan sebagai sarana dakwah sebagaimana yang menjadi latar belakang sebab turun ayat poligami (ayat 3 surat an-Nisa>) dan praktek poligami Rasulullah Saw. bukan pada motivasi seks dan kenikmatan biologis.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Jazairi>, Abdurrah}ma>n. 1990. Kitāb al-Fiqh 'Alā al-Maz\hab al-Arba'ah. Beirut: ar al-Fikr.

Engineer, Asghar Ali. 1996. The Rights of Women in Islam. Cet. ke-2. New York: St. Martin Press.

_________________ 2000. Hak-Hak Perempuan dalam Islam. Cet. ke-2. Alih Bahasa Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf. Yogyakarta: LSPPA.

_________________. 2003. Matinya Perempuan. Alih Bahasa Akhmad Affandi dan Muhammad Ihsan. Yogyakarta: IRCiSoD.

_________________. 2003. Pembebasan Perempuan. Alih Bahasa Agus Nuryatno. Yogyakarta: LKiS.

Hasan Bisri, Cik. 1996. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Hasyim, Syafiq. 2001. Hal-hal yang tak Terpikirkan tentang Isu-isu Peperempuan dalam Islam. Bandung: Mizan.

I Doi, Abd. Rahman. 2002. Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari’ah). Alih Bahasa Zaimuddin dan Rusydi Sulaiman. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Muh}ammad al-Jamal, Ibra>hi>m. 1986. Fiqh al-Mar'ah al-Muslimah. Jeddad: Dar al-Riyad.

_____________________________. 1999. Fiqh Muslimah. Cet. ke-3. Alih Bahasa Zaid Husein al-Hamid. Jakarta: Pustaka Amani.

Nasution, Khoiruddin. 1996. Riba dan Poligami; Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. 2004. Hukum Perdata di Indonesia. Jakarta: Pernada Media.

Quraish Shihab, M. 1999. Wawasan al-Qur’an. Bandung: Mizan.

Zuhdi, Masjfuk. 1997. Masail Fiqhiyyah. cet. ke-10. Jakarta: Gunung Agung.