KINERJA
GURU: PROFESI ATAU TANGGUNGJAWAB
Oleh: WASRI’AH
CICI, M.Pd
(Ketua Umum PD NA Kabupaten Brebes/Guru SMPN 2 Sirampog Brebes)
A. Awalan
Keberhasilan pendidikan tergantung dari
banyak faktor, namun yang terpenting di antara faktor-faktor tersebut adalah
sumber daya seorang guru dalam melakukan transpormasi ilmu kepada murid. Dalam
angkatan bersenjata faktor ini disebut dengan the man behind the gun.
Orang-orang militer berpendapat bahwa bukan senjata yang memenangkan perang,
tetapi sedadu yang memegang senjata itu. Serdadu tidak akan memanangkan suatu
pertempuran apabila tidak menguasai strategi perang. Hal ini lebih-lebih lagi
dalam bidang pendidikan, yang sangat membutuhkan labour intensive yaitu
lapangan yang banyak sekali menyerap tenaga manusia. Guru harus memiliki skill labour, yaitu tenaga terdidik atau
terlatih dengan kebiasaan-kebiasaan baik, sehingga mampu menyesuaikan diri dengan
subjek didik. Seorang guru harus menjadi figure dan pemeran utama dalam
penyuksesan pendidikan bagi anak didik. Untuk mencapai ke arah itu, seorang
pendidik tidak cukup hanya dengan membekali ilmu pengetahuan, namun harus
mencerminkan akhlak yang baik seperti diajarkan oleh Rasulullah saw.
Peningkatan mutu pendidikan ditentukan
oleh kesiapan sumber daya manusia yang terlibat dalam proses pendidikan. Guru
merupakan salah satu faktor penentu tinggi rendahnya mutu hasil pendidikan,
mempunyai posisi strategis. Untuk itu, maka setiap usaha peningkatan mutu
pendidikan perlu memberikan perhatian besar kepada peningkatan guru baik dalam
segi jumlah maupun mutunya. Pengembangan profesional guru harus diakui sebagai
suatu hal yang sangat fundamental dan penting guna meningkatkan mutu
pendidikan.
Kinerja guru dalam organisasi sekolah
memegang peranan yang penting dalam kegiatanya untuk mencapai tujuan. Oleh
karena itu perlu adanya manajemen untuk mengatur guru dalam pelaksanaan
kegiatan sehingga kinerja bagus dan semua program sekolah dapat terlaksana
secara maksimal. Dalam kenyataannya masih sering dijumpai di lapangan adanya
guru yang kinerjanya kurang maksimal. Karena guru merupakan sumber daya manusia
maka untuk mencapai tujuan organisasi pimpinan perlu melaksanakan manajemen
sumber daya manusia secara maksimal.
Rendahnya kinerja guru sering
ditanggapi secara emosional oleh seorang kepala sekolah dan penyelesaiannya
cenderung menggunakan pendekatan kekuasaan yang justru cenderung kaku dan
menyakitkan, sehingga yang terjadi justru bukan kinerjanya membaik malah
kebalikannya kinerja semakin memburuk. Suasana kerjapun cenderung tidak
kondusif yang akan baerakibat kegagalan dari tujuan sekolah tersebut.
Salah satu sumber daya yang penting
dalam manajemen adalah sumber daya manusia. Pentingnya sumber daya manusia ini,
perlu disadari oleh semua tingkatan manajemen. Bagaimanapun majunya teknologi
saat ini, namun faktor manusia tetap memegang peran penting bagi keberhasilan
suatu organisasi. Menurut Zainun (2001: 17), manajemen sumber daya manusia
merupakan bagian yang penting, bahkan dapat dikatakan bahwa manajemen itu pada
hakekatnya adalah manajemen sumber daya manusia atau manajemen sumber daya
manusia adalah identik dengan manajemen itu sendiri.
Dalam organisasi sekolah/sekolahan maju
tidaknya atau berhasil tidaknya kegiatan juga tidak lepas dari sumber daya
manusianya. Sumber daya manusia yang berperan dalam kemajuan sekolah meliputi
siswa sebagai raw input, guru sebagai pelaksana kegiatan dan pimpinan sebagai
pemandu, perencana dan pengontrol pelaksanaan kegiatan. Guru dalam organisasi
sekolah memiliki peran yang sangat penting dalam kegiatan dan menunjang
keberhasilan tujuan dari sekolah tersebut. Pentingnya Guru dalam pencapaian
tujuan maka kinerja guru harus seiring dengan tujuan sekolah, jika sekolah mempunyai
tujuan yang tinggi (output) yang berkualitas maka kinerja guru juga harus
tinggi.
Berkaitan dengan kinerja, masih banyak jumpai di lapangan kinerja guru yang rendah sehingga kegiatan belajar mengajar tidak lancar atau tidak sesuai perencanaan. Dengan kinerja guru yang rendah ini jelas akan berpengaruh terhadap kualitas output yang dihasilkan. Memang dalam suatu sekolah jumlah guru yang mempunyai kinerja rendah tidak begitu banyak, namun jika hal ini dibiarkan oleh pimpinan/kepala sekolah jelas akan berpengaruh terhadap guru-guru yang lain. Ada kemungkinan akan menimbulkan kondisi sekolah tidak kondusif atu mungkin akan menular pada guru lain yang sebelumnya mempunyai kinerja yang baik.
Berkaitan dengan kinerja, masih banyak jumpai di lapangan kinerja guru yang rendah sehingga kegiatan belajar mengajar tidak lancar atau tidak sesuai perencanaan. Dengan kinerja guru yang rendah ini jelas akan berpengaruh terhadap kualitas output yang dihasilkan. Memang dalam suatu sekolah jumlah guru yang mempunyai kinerja rendah tidak begitu banyak, namun jika hal ini dibiarkan oleh pimpinan/kepala sekolah jelas akan berpengaruh terhadap guru-guru yang lain. Ada kemungkinan akan menimbulkan kondisi sekolah tidak kondusif atu mungkin akan menular pada guru lain yang sebelumnya mempunyai kinerja yang baik.
Guru adalah pendidik profesional.
Mendidik adalah pekerjaan profesional. Oleh karena itu guru sebagai pelaku
utama pendidikan adalah pendidik yang profesional. Sebagai pendidik
profesional, guru bukan saja dituntut melaksanakan tugasnya secara profesional
tetapi juga harus memiliki pengetahuan dan kemampuan profesional. Salah satu
kemampuan yang harus dimiliki oleh guru adalah kemampuan mengelola proses
belajar mengajar yang meliputi kemampuan mempersiapkan pembelajaran, kemampuan
melaksanakan pembelajaran dan kemampuan mengevaluasi.
B. Konsep Kinerja Guru
1. Hakikat Kinerja Guru
Setiap individu yang diberi tugas atau kepercayaan untuk bekerja
pada suatu organisasi tertentu diharapkan mampu menunjukkan kinerja yang
memuaskan dan memberikan konstribusi yang maksimal terhadap pencapaian tujuan
organisasi tersebut.
Kinerja adalah tingkat keberhasilan
seseorang atau kelompok orang dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya
serta kemampuan untuk mencapai tujuan dan standar yang telah ditetapkan
(Sulistyorini, 2001). Sedangkan Ahli lain berpendapat bahwa kinerja merupakan
hasil dari fungsi pekerjaan atau kegiatan tertentu yang di dalamnya terdiri
dari tiga aspek yaitu: Kejelasan tugas atau pekerjaan yang menjadi tanggung
jawabnya; Kejelasan hasil yang diharapkan dari suatu pekerjaan atau fungsi;
Kejelasan waktu yang diperlukan untuk menyelesikan suatu pekerjaan agar hasil
yang diharapkan dapat terwujud (Temple, 1992). Sedangkan Fatah (1996) menegaskan
bahwa kinerja diartikan sebagai ungkapan kemajuan yang didasari oleh
pengetahuan, sikap dan motivasi dalam menghasilkan sesuatu pekerjaan.
Dari beberapa penjelasan tentang
pengertian kinerja di atas dapat disimpulkan bahwa kinerja guru adalah
kemampuan yang ditunjukkan oleh guru dalam melaksanakan tugas atau
pekerjaannya. Kinerja dikatakan baik dan memuaskan apabila tujuan yang dicapai
sesuai dengan standar yang telah ditetapkan.
Kinerja
merefleksikan kesuksesan suatu organisasi, maka dipandang penting
untuk mengukur karakteristik tenaga kerjanya. Kinerja guru merupakan
kulminasi dari tiga elemen yang saling berkaitan yakni keterampilan, upaya
sifat keadaan dan kondisi eksternal (Sulistyorini, 2001). Tingkat
keterampilan merupakan bahan mentah yang dibawa seseorang ke tempat kerja
seperti pengalaman, kemampuan, kecakapan-kecakapan antar pribadi serta
kecakapan tehknik. Upaya tersebut diungkap sebagai motivasi yang diperlihatkan
karyawan untuk menyelesaikan tugas pekerjaannya. Sedangkan kondisi eksternal
adalah tingkat sejauh mana kondisi eksternal mendukung
produktivitas kerja.
Kinerja dapat dilihat dari beberapa
kriteria, Castetter (dalam Mulyasa, 2003) mengemukakan ada empat kriteria
kinerja yaitu: (1). Karakteristik individu, (2). Proses, (3). Hasil dan (4)
Kombinasi antara karakter individu, proses dan hasil.
Kinerja seseorang dapat ditingkatkan
bila ada kesesuaian antara pekerjaan dengan keahliannya, begitu pula halnya
dengan penempatan guru pada bidang tugasnya. Menempatkan guru sesuai
dengan keahliannya secara mutlak harus dilakukan. Bila guru diberikan tugas
tidak sesuai dengan keahliannya akan berakibat menurunnya cara kerja dan hasil
pekerjaan mereka, juga akan menimbulkan rasa tidak puas pada diri mereka. Rasa
kecewa akan menghambat perkembangan moral kerja guru.
Pidarta (1999) mengatakan bahwa
moral kerja positif ialah suasana bekerja yang gembira, bekerja bukan
dirasakan sebagai sesuatu yang dipaksakan melainkan sebagai sesuatu yang
menyenangkan. Moral kerja yang positif adalah mampu mencintai tugas
sebagai suatu yang memiliki nilai keindahan di dalamnya. Jadi kinerja dapat
ditingkatkan dengan cara memberikan pekerjaan seseorang sesuai dengan bidang
kemampuannya. Hal ini dipertegas oleh Munandar (1992) yang mengatakan bahwa
kemampuan bersama-sama dengan bakat merupakan salah satu faktor yang menentukan
prestasi individu, sedangkan prestasi ditentukan oleh banyak faktor diantaranya
kecerdasan.
Kemampuan terdiri dari berbagai
macam, namun secara konkrit dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu:
a. Kemampuan
intelektual merupakan kemampuan yang dibutuhkan seseorang untuk menjalankan
kegiatan mental, terutama dalam penguasaan sejumlah materi yang akan
diajarkan kepada siswa yang sesuai dengan kurikulum, cara dan metode dalam
menyampaikannya dan cara berkomunikasi maupun tehknik mengevaluasinya.
b. Kemampuan
fisik adalah kapabilitas fisik yang dimiliki seseorang terutama dalam
mengerjakan tugas dan kewajibannya. (Daryanto, 2001).
Kinerja dipengaruhi juga oleh
kepuasan kerja yaitu perasaan individu terhadap pekerjaan-pekerjaan yang akan
memberikan kepuasan bathin kepada seseorang sehingga pekerjaan itu
disenangi dan digeluti dengan baik. Untuk mengetahui keberhasilan kinerja perlu
dilakukan evaluasi atau penilaian kinerja dengan berpedoman pada parameter dan
indikator yang ditetapkan yang diukur secara efektif dan efisien seperti
produktivitasnya, efektivitas menggunakan waktu, dana yang dipakai serta bahan
yang tidak terpakai. Sedangkan evaluasi kerja melalui perilaku dilakukan
dengan cara membandingkan dan mengukur perilaku seseorang dengan teman
sekerja atau mengamati tindakan seseorang dalam menjalankan
perintah atau tugas yang diberikan, cara mengkomunikasikan tugas dan pekerjaan
dengan orang lain. Hal ini diperkuat oleh pendapat As’ad (1995) dan Robbins
(1996) yang menyatakan bahwa dalam melakukan evaluasi kinerja seseorang dapat
dilakukan dengan menggunakan tiga macam kriteria yaitu: (1). Hasil tugas,
(2). Perilaku dan (3). Ciri individu. Evaluasi hasil tugas adalah
mengevaluasi hasil pelaksanaan kerja individu dengan beberapa kriteria
(indikator) yang dapat diukur.
Evaluasi perilaku dapat dilakukan
dengan cara membandingkan perilakunya dengan rekan kerja yang lain dan
evaluasi ciri individu adalah mengamati karaktistik individu dalam berprilaku
maupun berkerja, cara berkomunikasi dengan orang lain sehingga dapat
dikategorikan cirinya dengan ciri orang lain. Evaluasi atau Penilaian kinerja
menjadi penting sebagai feed back sekaligus sebagai follow up bagi perbaikan kinerja selanjutnya.
Menilai kualitas kinerja dapat
ditinjau dari beberapa indikator yang meliputi: (1). Unjuk kerja, (2).
Penguasaan Materi, (3). Penguasaan profesional keguruan dan pendidikan, (4).
Penguasaan cara-cara penyesuaian diri, (5). Kepribadian untuk melaksanakan
tugasnya dengan baik (Sulistyorini, 2001).
Kinerja guru sangat penting untuk
diperhatikan dan dievaluasi karena guru mengemban tugas profesional artinya
tugas-tugas hanya dapat dikerjakan dengan kompetensi khusus yang diperoleh
melalui program pendidikan. Guru memiliki tanggung jawab yang secara garis
besar dapat dikelompokkan yaitu: (1). Guru sebagai pengajar, (2). Guru sebagai
pembimbing dan (3). Guru sebagai administrator kelas. (Danim S, 2002).
Berpijak dari uraian di atas dapat
disimpulkan indikator kinerja guru antara lain:
1)
Kemampuan membuat perencanaan dan persiapan mengajar.
2)
Penguasaan materi yang akan diajarkan kepada siswa
3)
Penguasaan metode dan strategi mengajar
4)
Pemberian tugas-tugas kepada siswa
5)
Kemampuan mengelola kelas
6)
Kemampuan melakukan penilaian dan evaluasi.
2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja guru
Guru merupakan ujung tombak
keberhasilan pendidikan dan dianggap sebagai orang yang berperanan penting
dalam pencapaian tujuan pendidikan yang merupakan percerminan mutu pendidikan.
Keberadaan guru dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya tidak lepas dari
pengaruh faktor internal maupun faktor eksternal yang membawa dampak
pada perubahan kinerja guru. Beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja
guru yang dapat diungkap tersebut antara lain:
a.
Kepribadian dan dedikasi
Setiap guru memiliki pribadi masing-masing sesuai
ciri-ciri pribadi yang mereka miliki. Ciri-ciri inilah yang membedakan
seorang guru dari guru lainnya. Kepribadian sebenarnya adalah suatu masalah
abstrak, yang hanya dapat dilihat dari penampilan, tindakan, ucapan, cara
berpakaian dan dalam menghadapi setiap persoalan. Hal tersebut sesuai
dengan pendapat Zakiah Darajat (dalam Djamarah SB, 1994) bahwa
kepribadian yang sesungguhnya adalah abstrak, sukar dilihat atau diketahui
secara nyata, yang dapat diketahui adalah penampilan atau bekasnya dalam segala
segi dan aspek kehidupan misalnya dalam tindakannya, ucapan, caranya bergaul,
berpakaian dan dalam menghadapi setiap persoalan atau masalah, baik yang ringan
maupun yang berat.
Kepribadian adalah keseluruhan dari individu yang
terdiri dari unsur psikis dan fisik, artinya seluruh sikap dan perbuatan
seseorang merupakan suatu gambaran dari kepribadian orang itu, dengan kata lain
baik tidaknya citra seseorang ditentukan oleh kepribadiannya. Lebih lanjut
Zakiah Darajat (dalam Djamarah SB, 1994) mengemukakan bahwa faktor
terpenting bagi seorang guru adalah kepribadiannya. Kepribadian inilah yang
akan menentukan apakah ia menjadi pendidik dan pembina yang baik bagi anak
didiknya ataukah akan menjadi perusak atau penghancur bagi hari depan anak
didik, terutama bagi anak didik yang masih kecil dan mereka yang sedang
mengalami kegoncangan jiwa. Kepribadian adalah suatu cerminan dari citra
seorang guru dan akan mempengaruhi interaksi antara guru dan anak didik. Oleh
karena itu kepribadian merupakan faktor yang menentukan tinggi rendahnya
martabat guru.
Kepribadian guru akan tercermin dalam sikap dan
perbuatannya dalam membina dan membimbing anak didik. Semakin baik
kepribadian guru, semakin baik dedikasinya dalam menjalankan tugas dan tanggung
jawabnya sebagai guru, ini berarti tercermin suatu dedikasi yang tinggi
dari guru dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai pendidik.
Hal tersebut dipertegas oleh Drosat (1998) bahwa salah satu dasar
pembentukan kepribadian adalah sukses yang merupakan sebuah hasil dari
kepribadian, dari citra umum, dari sikap, dari keterampilan karena ini semua
melumasi proses interaksi-interaksi manusia
Kloges (dalam Suryabrata, 2001) mengemukakan bahwa
ada tiga aspek kepribadian yaitu : (1). Materi atau bahan yaitu semua
kemampuan (daya) pembawaan beserta
talent-talentnya (keistimewaan-keistimewaan nya), (2). Struktur
yaitu sifat-sifat bentuknya atau sifat-sifat normalnya. (3). Kualitas atau
sifat yaitu sistem dorongan-dorongan. Sedangkan Freud (1950), kepribadian
terdiri tiga aspek yaitu: (1). Das Es
(the id) yaitu aspek biologis, aspek
ini merupakan sistem yang original dalam kepribadian sehingga aspek ini
merupakan dunia batin subyektif manusia dan tidak mempunyai hubungan langsung
dengan dunia obyektif. (2). Das Ich
(the ego) yaitu aspek psikologis,
aspek ini timbul karena kebutuhan individu untuk berhubungan dengan dunia
nyata, (3). Das Ueber Ich (the super ego) yaitu aspek sosiologis
kepribadian merupakan wakil dari nilai-nilai tradisional serta cita-cita
masyarakat sebagaimana ditafsirkan orang tua kepada anak-anaknya, yang
dimasukkan dengan berbagai perintah dan larangan.
Aspek-aspek tersebut di atas merupakan potensi
kepribadian sebagai syarat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang
guru dalam melaksanakan profesinya. Karena tanpa aspek tersebut
sangat tidak mungkin guru dapat melaksanakan tugas sesuai dengan harapan. Kepribadian
dan dedikasi yang tinggi dapat meningkatkan kesadaran akan pekerjaan dan mampu
menunjukkan kinerja yang memuaskan seseorang atau kelompok dalam suatu
organisasi. Guru yang memiliki kepribadian yang baik dapat membangkitkan
kemauan untuk giat memajukan profesinya dan meningkatkan dedikasi dalam
melakukan pekerjaan mendidik sehingga dapat dikatakan guru tersebut
memiliki akuntabilitas yang baik dengan kata lain prilaku akuntabilitas
meminta agar pekerjaan itu berakhir dengan hasil baik yang dapat memuaskan
atasan yang memberi tugas itu dan pihak-pihak lain yang berkepentingan atau
segala pekerjaan yang dilaksanakan baik secara kualitatif maupun kuantitatif
sesuai dengan standar yang ditetapkan dan tidak asal-asalan.
b.
Pengembangan Profesi
Profesi guru kian hari menjadi perhatian seiring
dengan perubahan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang menuntut kesiapan agar
tidak ketinggalan. Pidarta (1999) menyatakan bahwa Profesi ialah suatu jabatan
atau pekerjaan biasa seperti halnya dengan pekerjaan-pekerjaan lain. Tetapi
pekerjaan itu harus diterapkan kepada masyarakat untuk kepentingan masyarakat
umum, bukan untuk kepentingan individual, kelompok, atau golongan tertentu.
Dalam melaksanakan pekerjaan itu harus memenuhi norma-norma itu. Orang yang
melakukan pekerjaan profesi itu harus ahli, orang yang sudah memiliki daya
pikir, ilmu dan keterampilan yang tinggi. Disamping itu ia juga dituntut dapat
mempertanggung jawabkan segala tindakan dan hasil karyanya yang menyangkut
profesi itu.
Lebih lanjut Pidarta (1997) mengemukakan ciri-ciri
profesi sebagai berikut: (1). Pilihan jabatan itu didasari oleh motivasi yang
kuat dan merupakan panggilan hidup orang bersangkutan, (2). Telah memiliki
ilmu, pengetahuan, dan keterampilan khusus, yang bersifat dinamis dan
berkembang terus. (3). Ilmu pengetahuan, dan keterampilan khusus tersebut di
atas diperoleh melalui studi dalam jangka waktu lama di perguruan tinggi. (4).
Punya otonomi dalam bertindak ketika melayani klien, (5). Mengabdi kepada
masyarakat atau berorientasi kepada layanan sosial, bukan untuk mendapatkan
keuntungan finansial. (6).Tidak mengadvertensikan keahlian-nya untuk
mendapatkan klien. (7). Menjadi anggota profesi. (8).Organisasi profesi
tersebut menetukan persyaratan penerimaan para anggota, membina profesi
anggota, mengawasi perilaku anggota, memberikan sanksi, dan memperjuangkan
kesejahteraan anggota.
Bila diperhatikan ciri-ciri profesi tersebut di atas
nampaknya bahwa profesi guru tidak mungkin dikenakan pada sembarang orang yang
dipandang oleh masyarakat umum sebagai pendidik. Pekerjaan profesi harus
berorientasi pada layanan sosial. Seorang profesional ialah orang yang melayani
kebutuhan anggota masyarakat baik secara perorangan maupun kelompok. Sebagai
orang yang memberikan pelayanan sudah tentu membutuhkan sikap rendah hati dan
budi halus. Sikap dan budi halus ini menjadi sarana bagi terjalinnya hubungan
yang baik yang ikut menentukan keberhasilan profesi.
Pengembangan profesi guru merupakan hal penting untuk
diperhatikan guna mengantisipasi perubahan dan beratnya tuntutan terhadap
profesi guru. Pengembangan profesionalisme guru menekankan kepada penguasaan
ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya.
Maister (1997) mengemukakan bahwa profesionalisme bukan sekadar memiliki
pengetahuan, teknologi dan manajemen tetapi memiliki keterampilan tinggi,
memiliki tingkah laku yang dipersyaratkan.
Pengembangan profesional guru harus memenuhi standar
sebagaimana yang dikemukakan Stiles dan Horsley (1998) bahwa ada empat standar
pengembangan profesi guru yaitu: (1). Standar pengembangan profesi A adalah
pengembangan profesi untuk para guru sains memerlukan pembelajaran isi sains
yang diperlukan melalui perspektif-perspektif dan metode-metode inquiri; (2)
Standar pengembangan profesi B adalah pengembangan profesi untuk guru sains
memerlukan pengintegrasian pengetahuan sains, pembelajaran, pendidikan,
dan siswa, juga menerapkan pengetahuan tersebut ke pengajaran sains; (3)
Standar pengembangan profesi C adalah pengembangan profesi untuk para guru
sains memerlukan pembentukan pemahaman dan kemampuan untuk pembelajaran
sepanjang masa.; (4) Standar pengembangan profesi D adalah program-program
profesi untuk guru sains harus koheren (berkaitan) dan terpadu.
Standar ini dimaksudkan untuk menangkal kecenderungan
kesempatan pengembangan profesi terfragmentasi dan tidak berkelanjutan. Apabila
guru di Indonesia telah memenuhi standar profesional guru sebagaimana yang
berlaku di Amerika Serikat maka kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia semakin
baik. Tuntutan memenuhi standar profesionalisme bagi guru sebagai wujud dari
keinginan menghasilkan guru-guru yang mampu membina peserta didik sesuai dengan
tuntutan masyarakat, disamping sebagai tuntutan yang harus dipenuhi guru dalam
meraih predikat guru yang profesional sebagai mana yang dijelaskan dalam
jurnal Educational Leadership (Supriadi,
1998) bahwa untuk menjadi profesional seorang guru dituntut untuk memiliki lima
hal yaitu: (1). Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya, (2).
Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta
cara mengajarnya kepada siswa, (3). Guru bertanggung jawab memantau hasil
belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi, (4). Guru mampu berfikir
sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya, (5).
Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan
profesinya.
Guru Indonesia yang profesional dipersyaratkan
mempunyai: (1). Dasar ilmu yang kuat sebagai pengejawantahan terhadap
masyarakat teknologi dan masyarakat ilmu pengetahuan, (2). Penguasaan kiat-kiat
profesi berdasarkan riset dan praksis pendidikan yaitu ilmu pendidikan sebagai
ilmu praksis bukan hanya merupakan konsep-konsep belaka. Pendidikan merupakan
proses yang terjadi di lapangan dan bersifat ilmiah, serta riset pendidikan
hendaknya diarahkan pada praksis pendidikan masyarakat Indonesia, (3).
Pengembangan kemampuan profesional berkesinambungan, profesi guru merupakan
profesi yang berkembang terus menerus dan berkesinambungan antara LPTK dengan
praktek pendidikan. Kekerdilan profesi guru dan ilmu pendidikan disebabkan
terputusnya program pre-service dan in-service karena pertimbangan birokratis
yang kaku atau manajemen pendidikan yang lemah. (Arifin I, 2000)
Dimensi lain dari pola pembinaan profesi guru yang
dapat dilakukan yaitu: (1). Peningkatan dan Pembinaan hubungan yang erat antara
Perguruan Tinggi dengan pembinaan SLTA, (2). Meningkatkan bentuk rekrutmen
calon guru, (3). Program penataran yang dikaitkan dengan praktik lapangan, (4).
Meningkatkan mutu pendidikan calon pendidik. (5). Pelaksanaan supervisi yang
baik, (6). Peningkatan mutu manajemen pendidikan, (7). Melibatkan peran serta
masyarakat berdasarkan konsep linck and matc. (8). Pemberdayaan buku teks dan
alat-alat pendidikan penunjang, (9). Pengakuan masyarakat terhadap profesi
guru, (10). Perlunya pengukuhan program Akta Mengajar melalui peraturan
perundang-undangan. dan (11) Kompetisi profesional yang positif dengan
pemberian kesejahteraan yang layak (Hasan A M, 2001).
Apabila syarat-syarat profesionalisme guru di atas
itu terpenuhi akan mengubah peran guru yang tadinya pasif menjadi guru yang
kreatif dan dinamis. Hal ini sejalan dengan pendapat Semiawan (1991) bahwa
pemenuhan persyaratan guru profesional akan mengubah peran guru yang semula sebagai
orator yang verbalistis menjadi berkekuatan dinamis dalam menciptakan suatu
suasana dan lingkungan belajar yang invitation learning environment.
Akadum (1999) menegaskan bahwa ada lima penyebab
rendahnya profesionalisme guru yaitu : (1). Masih banyak guru yang tidak
menekuni profesinya secara total, (2). Rentan dan rendahnya kepatuhan guru
terhadap norma dan etika profesi keguruan, (3). Pengakuan terhadap ilmu
pendidikan dan keguruan masih setengah hati dari pengambilan kebijakan dan
pihak-pihak terlibat. Hal ini terbukti dari masih belum mantapnya kelembagaan
pencetak tenaga keguruan dan kependidikan, (4). Masih belum smoothnya perbedaan
pendapat tentang proporsi materi ajar yang diberikan kepada calon guru, (5).
Masih belum berfungsi PGRI sebagai organisasi profesi yang berupaya secara
maksimal meningkatkan profesionalisme anggotanya.
Upaya meningkatkan profesionalisme guru di antaranya
melalui (1). Peningkatan kualifikasi dan persyaratan jenjang pendidikan yang
lebih tinggi bagi tenaga pengajar. (2). Program sertifikasi (Pantiwati, 2001).
Selain sertifikasi, menurut Supriadi (1998) yaitu mengoptimalkan fungsi dan
peran kegiatan dalam bentuk PKG (Pusat Kegiatan Guru), KKG (Kelompok Kerja
Guru), dan MGMP (musyawarah Guru Mata Pelajaran) yang memungkinkan para
guru untuk berbagi pengalaman dalam memecahkan masalah-masalah yang mereka
hadapi dalam kegiatan mengajarnya. Hal tersebut diperkuat pendapat
dari Pidarta (1999) bahwa mengembangkan atau membina profesi para
guru yang terdiri dari: (1). Belajar lebih lanjut. (2). Menghimbau
dan ikut mengusahakan sarana prasarana dan fasilitas sanggar-sanggar seperti Sanggar Pemantapan
Kerja Guru. (3). Ikut mencarikan jalan agar guru-guru mendapatkan kesempatan
lebih besar mengikuti panataran-penataran pendidikan. (4). Ikut memperluas
kesempatan agar guru-guru dapat mengikuti seminar-seminar pendidikan yang
sesuai dengan minat dan bidang studi yang dipegang dalam usaha mengembangkan
profesinya. (5). Mengadakan diskusi-diskusi ilmiah secara berkala disekolah.
(6). Mengembangkan cara belajar berkelompok untuk guru-guru sebidang studi.
Pola pengembangan dan pembinaan profesi guru yang
diuraikan di atas sangat memungkinkan terjadinya perubahan paradigma
dalam pengembangan profesi guru sebagai langkah antisipatif terhadap perubahan
peran dan fungsi guru yang selama ini guru dianggap sebagai satu-satunya sumber
informasi dan pengetahuan bagi siswa, padahal perkembangan teknologi dan
informasi sekarang ini telah membuka peluang bagi setiap orang untuk dapat
belajar secara mandiri dan cepat yang berarti siapapun bisa lebih dulu
mengetahui yang terjadi sebelum orang lain mengetahuinya, kondisi ini
mengisyaratkan adanya pergeseran pola pembelajaran dan perubahan fungsi serta
peran guru yang lebih besar yang bukan lagi sebagai satu-satunya sumber
informasi pengetahuan bagi siswa melainkan sebagai fasilitator yang mengarahkan
siswa dalam pembelajaran.
Pengembangan profesi guru harus pula diimbangi dengan
usaha lain seperti mengusahakan perpustakaan khusus untuk guru-guru yang mencakup
segala bidang studi yang diajarkan di sekolah, sehingga guru tidak terlalu
sulit untuk mencari bahan dan referensi untuk mengajar di kelas.
Pengembangan yang lain dapat dilakukan melalui pemberian kesempatan kepada
guru-guru untuk mengarang bahan pelajaran tersendiri sebagai buku tambahan bagi
siswa baik secara perorangan atau berkelompok. Usaha ini dapat memotivasi guru
dalam melakukan inovasi dan mengembangkan kreativitasnya yang berarti memberi
peluang bagi guru untuk meningkatkan kinerjannya.
W.F. Connell (1974) menyatakan bahwa guru profesional
adalah guru yang memiliki kompetensi tertentu sesuai dengan persyaratan yang
dituntut oleh profesi keguruan. Peranan profesi adalah sebagai motivator,
supervisor, penanggung jawab dalam membina disiplin, model perilaku, pengajar
dan pembimbing dalam proses belajar, pengajar yang terus mencari pengetahuan
dan ide baru untuk melengkapi dan meningkatkan pengetahuannya, komunikator
terhadap orang tua murid dan masyarakat, administrator kelas, serta anggota organisasi
profesi pendidikan.
Menyadari akan profesi merupakan
wujud eksistensi guru sebagai komponen yang bertanggung jawab dalam
keberhasilan pendidikan maka menjadi satu tuntutan bahwa guru harus sadar
akan peran dan fungsinya sebagai pendidik. Hal tersebut dipertegas Pidarta
(1999) bahwa kesadaran diri merupakan inti dari dinamika gerak laju
perkembangan profesi seseorang, merupakan sumber dari kebutuhan mengaktualisasi
diri. Makin tinggi kesadaran seseorang makin kuat keinginannya meningkatkan
profesi.
Pembinaan dan pengembangan profesi guru bertujuan
untuk meningkatkan kinerja dan dilakukan secara terus menerus sehingga mampu
menciptakan kinerja sesuai dengan persyaratan yang diinginkan, disamping itu
pembinaan harus sesuai arah dan tugas/fungsi yang bersangkutan dalam sekolah.
Semakin sering profesi guru dikembangkan melalui berbagai kegiatan maka semakin
mendekatkan guru pada pencapaian predikat guru yang profesional dalam
menjalankan tugasnya sehingga harapan kinerja guru yang lebih baik akan
tercapai.
c.
Kemampuan Mengajar
Untuk melaksanakan tugas-tugas dengan baik, guru
memerlukan kemampuan. Cooper (Zahera, 1997) mengemukakan bahwa
guru harus memiliki kemampuan merencanakan pengajaran, menuliskan tujuan
pengajaran, menyajikan bahan pelajaran, memberikan pertanyaan kepada siswa,
mengajarkan konsep, berkomunikasi dengan siswa, mengamati kelas, dan
mengevaluasi hasil belajar.
Kompetensi guru adalah kemampuan atau kesanggupan
guru dalam mengelola pembelajaran. Titik tekannya adalah kemampuan guru dalam pembelajaran
bukanlah apa yang harus dipelajari (learning what to be learnt), guru dituntut
mampu menciptakan dan menggunakan keadaan positif untuk membawa mereka ke dalam
pembelajaran agar anak dapat mengembangkan kompetensinya (Rusmini, 2003). Guru
harus mampu menafsirkan dan mengembangkan isi kurikulum yang digunakan selama
ini pada suatu jenjang pendidikan yang diberlakukan sama walaupun latar
belakang sosial, ekonomi dan budaya yang berbeda-beda (Nasanius Y, 1998).
Aspek-aspek teladan mental guru berdampak besar
terhadap iklim belajar dan pemikiran pelajar yang diciptakan guru. Guru harus
memahami bahwa perasaan dan sikap siswa akan terlibat dan berpengaruh kuat pada
proses belajarnya. Agar guru mampu berkompetensi harus memiliki jiwa inovatif,
kreatif dan kapabel, meninggalkan sikap konservatif, tidak bersifat
defensif tetapi mampu membuat anak lebih bersifat ofensif (Sutadipura,
1994).
Penguasaan seperangkat kompetensi yang meliputi
kompetensi keterampilan proses dan kompetensi penguasaan pengetahuan merupakan
unsur yang dikolaborasikan dalam bentuk satu kesatuan yang utuh dan membentuk
struktur kemampuan yang harus dimiliki seorang guru, sebab kompetensi merupakan
seperangkat kemampuan guru searah dengan kebutuhan pendidikan di sekolah, tuntutan masyarakat, dan perkembang-an ilmu pengetahuan dan teknologi.
Kompetensi Keterampilan proses belajar mengajar
adalah penguasaan terhadap kemampuan yang berkaitan dengan proses pembelajaran.
Kompetensi dimaksud meliputi kemampuan dalam perencanaan, pelaksanaan, dan
evaluasi pembelajaran, kemampuan dalam menganalisis, menyusun
program perbaikan dan pengayaan, serta menyusun program bimbingan dan konseling
sedangkan Kompetensi Penguasaan Pengetahuan adalah penguasaan terhadap
kemampuan yang berkaitan dengan keluasan dan kedalaman pengetahuan.
Kompetensi dimaksud meliputi pemahaman terhadap wawasan pendidikan,
pengembangan diri dan profesi, pengembangan potensi peserta didik, dan
penguasaan akademik (Rusmini, 2003).
Kemampuan mengajar guru sebenarnya merupakan
pencerminan penguasan guru atas kompetensinya. Imron (1995) mengemukakan 10
Kompetensi dasar yang harus dikuasai oleh guru yaitu: (1). Menguasai
bahan, (2). Menguasai Landasan kependidikan, (3). Menyusun program pengajaran,
(4). Melaksanakan Program Pengajaran, (5). Menilai proses dan hasil belajar,
(6). Menyelenggarakan proses bimbingan dan
penyuluhan, (7). Menyelenggarakan administrasi sekolah, (8). Mengembangkan
kepribadian, (9). Berinterkasi dengan sejawat dan masyarakat, (10).
Menyelenggarakan penelitian sederhana untuk kepentingan mengajar.
Sedangkan Uzer Usman (2002) bahwa jenis-jenis
kompetensi guru antara lain (1). Kompetensi kepribadian meliputi: mengembangkan
kepribadian, berinteraksi dan berkomunikasi, melaksanakan bimbingan dan
penyuluhan, melaksanakan administrasi, melaksanakan penelitian sederhana untuk
keperluan pengajaran; (2). Kompetensi profesional antara lain mengusai landasan
kependidikan, menguasai bahan pengajaran, menyusun program pengajaran,
melaksanakan program pengajaran dan menilai hasil dan proses belajar mengajar
yang telah dilaksanakan.
Kemampuan mengajar guru yang sesuai dengan tuntutan
standar tugas yang diemban memberikan efek positif bagi hasil yang ingin
dicapai seperti perubahan hasil akademik siswa, sikap siswa, keterampilan
siswa, dan perubahan pola kerja guru yang makin meningkat, sebaliknya jika
kemampuan mengajar yang dimiliki guru sangat sedikit akan berakibat
bukan saja menurunkan prestasi belajar siswa tetapi juga menurunkan
tingkat kinerja guru itu sendiri.
Untuk itu kemampuan mengajar guru menjadi sangat
penting dan menjadi keharusan bagi guru untuk dimiliki dalam menjalankan tugas
dan fungsinya, tanpa kemampuan mengajar yang baik sangat tidak mungkin guru
mampu melakukan inovasi atau kreasi dari materi yang ada dalam kurikulum yang
pada gilirannya memberikan rasa bosan bagi guru maupun siswa untuk menjalankan
tugas dan fungsi masing-masing.
d.
Antar Hubungan dan Komunikasi
Komunikasi merupakan aktivitas dasar manusia, manusia
dapat saling berhubungan satu sama lain dalam kehidupan sehari-hari dirumah
tangga, di tempat kerja, di pasar, dalam masyarakat atau dimana saja manusia
berada. Tidak ada manusia yang tidak akan terlibat komunikasi.
Pentingnya komunikasi bagi organisasi tidak dapat
dipungkiri, adanya komunikasi yang baik suatu organisasi dapat berjalan
dengan lancar dan berhasil dan begitu pula sebaliknya. Misalnya Kepala Sekolah
tidak menginformasikan kepada guru-guru mengenai kapan sekolah dimulai
sesudah libur maka besar kemungkinan guru tidak akan datang mengajar. Contoh di
atas menandakan betapa pentingnya komunikasi. Hal tersebut sesuai dengan
pendapat Muhammad A. (2001) bahwa kelupaan informasi dapat memberikan efek
yang lebih besar terhadap kelangsungan kegiatan.
Komunikasi yang efektif adalah penting bagi semua
organisasi oleh karena itu para pemimpin organisasi dan para komunikator dalam
organisasi perlu memahami dan menyempurnakan kemampuan komunikasi mereka
(Kohler, 1981). Guru dalam proses pelaksanaan tugasnya perlu memperhatikan
hubungan dan komunikasi baik antara guru dengan Kepala Sekolah, guru dengan
guru, guru dengan siswa, dan guru dengan personalia lainnya di sekolah.
Hubungan dan komunikasi yang baik membawa konsekwensi terjalinnya
interaksi seluruh komponen yang ada dalam sistem sekolah. Kegiatan
pembelajaran yang dilakukan guru akan berhasil jika ada hubungan dan komunikasi
yang baik dengan siswa sebagai komponen yang diajar. Kinerja guru akan
meningkat seiring adanya kondisi hubungan dan komunikasi yang sehat di antara
komponen sekolah sebab dengan pola hubungan dan komunikasi yang lancar dan baik
mendorong pribadi seseorang untuk melakukan tugas dengan baik.
Forsdale (1981) bahwa “communication is the
process by which a system is established, maintained, and altered by means of
shared signals that operate according to rules”. Sedangkan ahli lain
berpendapat bahwa komunikasi manusia adalah suatu proses melalui mana
individu dalam hubungannya, dalam kelompok, dalam organisasi dan dalam
masyarakat menciptakan, mengirimkan, dan menggunakan informasi untuk
mengkoordinasi lingkungannya dan orang lain (Brent D. Ruben, 1988).
Hubungan sosial antar manusia selalu terjadi di
lingkungan kerja. Sebagai peneliti Terence R. Mitchell 1982 (dalam Junaidin,
2006) menemukan bahwa orang-orang di dalam organisasi menghabiskan sebagian
besar waktunya untuk interaksi interpersonal. Hubungan yang terjadi antara
atasan dengan bawahan, bawahan dengan bawahan. Di sekolah hubungan dapat
terjadi antara kepala sekolah dengan guru, antara guru dengan guru serta guru dengan
siswa. Hubungan guru dengan siswa lebih sering dilakukan dibandingkan dengan
hubungan guru dengan guru atau hubungan guru dengan kepala sekolah. Setiap hari
guru harus berhadapan dengan siswayang jumlahnya cukup banyak yang terkadang
sangat merepotkan tetapi bagi guru interaksi dengan siswa merupakan hal sangat
menarik dan mengasyikkan apalagi dapat membantu siswa dalam menemukan cara
mengatasi kesulitan belajar siswa.
Ada bermacam-macam interaksi di sekolah. Kalau
ditinjau dari maksud interaksi yang terjadi maka ada dua macam interaksi yaitu
(1) interaksi dalam konteks menjalankan tugas yang secara langsung mengarah
pada tujuan organisasi dan (2). Interaksi diluar kontekspelaksanaan tugas,
meskipun interaksi terjadi di lingkungan kerja. Hubungan yang sehat dan
harmonis dalam konteks pelaksanaan tugas menjadi prasyarat agar produktivitas
lebih meningkat lagi,
Komunikasi digunakan untuk memahami dan menukarkan
pesan verbal maupun non verbal antara pengirim informasi dengan penerima
informasi untuk mengubah tingkah laku. Hubungan dan komunikasi yang
dikembangkan guru terutama dalam proses pembelajaran dan pada situasi
interaksi lain di sekolah memberi peluang terciptanya situasi yang kondusif
untuk dapat memperlancar pelaksanaan tugas, segala persoalan yang dihadapi guru
baik dalam pelaksanaan tugas utama maupun tugas tambahan dapat diselesaikan
melalui penyelesaian secara bersama dengan rekan guru yang lain, tanpa
hubungan dan komunikasi yang baik di dalam lingkungan sekolah apapun bentuk
pekerjaan yang kita lakukan tetap akan mengalami hambatan dan kurang
lancar.
Terbinanya hubungan dan komunikasi di dalam
lingkungan sekolah memungkinkan guru dapat mengembangkan kreativitasnya sebab
ada jalan untuk terjadinya interaksi dan ada respon balik dari komponen lain
di sekolah atas kreativitas dan inovasi tersebut, hal ini menjadi motor
penggerak bagi guru untuk terus meningkatkan daya inovasi dan kreativitasnya
yang bukan saja inovasi dalam tugas utamanya tetapi bisa saja muncul inovasi
dalam tugas yang lain yang diamanatkan sekolah. Ini berarti bahwa
pembinaan hubungan dan komunikasi yang baik di antara komponen dalam sekolah
menjadi suatu keharusan dalam menunjang peningkatan kinerja.
Untuk itu semakin baik pembinaan hubungan dan
komunikasi dibina maka respon yang muncul semakin baik pula yang pada
gilirannya mendorong peningkatan kinerja.
e.
Hubungan dengan Masyarakat
Sekolah merupakan lembaga sosial yang tidak dapat
dipisahkan dari masyarakat lingkungannya, sebaliknya masyarakat pun tidak dapat
dipisahkan dari sekolah sebab keduanya memiliki kepentingan, sekolah merupakan
lembaga formal yang diserahi mandat untuk mendidik, melatih, dan membimbing
generasi muda bagi peranannya di masa depan, sementara masyarakat merupakan
pengguna jasa pendidikan itu.
Pidarta (1999) bahwa suatu sekolah tidak dibenarkan
mengisolasi diri dari masyarakat. Sekolah tidak boleh merupakan masyarakat
tersendiri yang tertutup terhadap masyarakat sekitar, ia tidak boleh
melaksanakan idenya sendiri dengan tidak mau tahu akan aspirasi–aspirasi
masyarakat. Masyarakat menginginkan sekolah itu berdiri di daerahnya untuk
meningkatkan perkembangan putra-putra mereka. Sekolah merupakan
sistem terbuka terhadap lingkungannya termasuk masyarakat pendukungnya. Sebagai
sistem terbuka sudah jelas ia tidak dapat mengisolasi diri sebab bila hal ini
ia lakukan berarti ia menuju ke ambang kematian.
Hubungan sekolah dengan masyarakat merupakan bentuk
hubungan komunikasi ekstern yang dilaksanakan atas dasar kesamaan tanggung
jawab dan tujuan. Masyarakat merupakan kelompok individu–individu yang berusaha
menyelenggarakan pendidikan atau membantu usaha-usaha pendidikan. Dalam
masyarakat terdapat lembaga-lembaga penyelenggaran pendidikan, lembaga
keagamaan, kepramukaan, politik, sosial, olah raga, kesenian yang bergerak
dalam usaha pendidikan. Dalam masyarakat juga terdapat individu-individu atau
pribadi-pribadi yang bersimpati terhadap pendidikan di sekolah.
Sekolah berada ditengah-tengah masyarakat dan dapat
dikatakan berfungsi sebagai pisau bermata dua. Mata yang pertama adalah menjaga
kelestarian nilai-nilai positif yang ada dalam masyarakat, agar pewarisan
nilai-nilai masyarakat berlangsung dengan baik. Mata yang kedua adalah
sebagai lembaga yang mendorong perubahan nilai dan tradisi sesuai dengan
kemajuan dan tuntutan kehidupan serta pembangunan. (Soetjipto dan Rafles
Kosasi, 1999).
Hubungan sekolah dengan masyarakat adalah suatu
proses komunikasi antara sekolah dengan masyarakat untuk meningkatkan
pengertian masyarakat tentang kebutuhan serta kegiatan pendidikan serta
mendorong minat dan kerjasama untuk masyarakat dalam peningkatan dan
pengembangan sekolah. Hubungan sekolah dengan masyarakat ini sebagai usaha
kooperatif untuk menjaga dan mengembangkan saluran informasi dua arah yang
efisien serta saling pengertian antara sekolah, personalia sekolah dengan
masyarakat. Hal ini dipertegas Mulyasa (2003) bahwa Tujuan hubungan sekolah
dengan masyarakat dapat ditinjau dari dua dimensi yaitu kepentingan sekolah dan
kebutuhan masyarakat.
Tujuan hubungan masyarakat berdasarkan dimensi
kepentingan sekolah antara lain : (1). Memelihara kelangsungan hidup sekolah,
(2). Meningkatkan mutu pendidikan di sekolah, (3). Memperlancar kegiatan
belajar mengajar, (4). Memperoleh bantuan dan dukungan dari masyarakat dalam
rangka pengembangan dan pelaksanaan program-program sekolah.
Tujuan hubungan berdasarkan kebutuhan masyarakat
antara lain: (1). Memajukan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, (2).
Memperoleh kemajuan sekolah dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi
masyarakat, (3). Menjamin relevansi program sekolah dengan kebutuhan dan
perkembangan masyarakat, dan (4). Memperoleh kembali anggota-anggota
masyarakat yang terampil dan makin meningkatkan kemampuannya (Mulyasa, 2003).
Dalam melaksanakan hubungan sekolah-masyarakat perlu
dianut beberapa prinsip sebagai pedoman dan arah bagi guru dan kepala sekolah,
agar mencapai sasaran yang diinginkan. Prinsip-prinsip hubungan antara lain: (1).
Prinsip Otoritas yaitu bahwa hubungan sekolah-masyarakat harus dilakukan oleh
orang yang mempunyai otoritas, karena pengetahuan dan tanggung jawabnya dalam
penyelenggaraan sekolah. (2). Prinsip kesederhanaan yaitu bahwa program-program
hubungan sekolah masyarakat harus sederhana dan jelas, (3). Prinisp
sensitivitas yaitu bahwa dalam menangani masalah-masalah yang berhubungan
dengan masyarakat, sekolah harus sensitif terhadap kebutuhan serta harapan
masyarakat. (4). Prinsip kejujuran yaitu bahwa apa yang disampaikan kepada
msyarakat haruslah sesuatu apa adanya dan disampaikan secara jujur. (5).
Prinsip ketepatan yaitu bahwa apa yang disampaikan sekolah kepada masyarakat
harus tepat, baik dilihat dari segi isi, waktu, media yang digunakan serta
tujuan yang akan dicapai (Soetjipto dan Rafles Kosasi (1999).
Agar hubungan dengan masyarakat terjamin baik dan
berlangsung kontinu, maka diperlukan peningkatan profesi guru dalam hal
berhubungan dengan masyarakat. Guru disamping mampu melakukan tugasnya
masing-masing di sekolah, mereka juga diharapkan dapat dan mampu melakukan
tugas-tugas hubungan dengan masyarakat. Mereka bisa mengetahui
aktivitas-aktivitas masyarakatnya, paham akan adat istiadat, mengerti
aspirasinya, mampu membawa diri di tengah-tengah masyarakat, bisa berkomunikasi
dengan mereka dan mewujudkan cita-cita mereka. Untuk mencapai hal itu diperlukan
kompetensi dan perilaku dari guru yang cocok dengan struktur sosial masyarakat
setempat, sebab ketika kompetensi dan perilaku guru tidak cocok dengan struktur
sosial dalam masyarakat maka akan terjadi benturan pemahaman dan salah
pengertian terhadap program yang dilaksanakan sekolah dan berakibat tidak
adanya dukungan masyarakat terhadap sekolah, padahal sekolah dan masyarakat
memiliki kepentingan yang sama dan peran yang strategis dalam mendidik dan
menghasilkan peserta didik yang berkualitas.
Hubungan dengan masyarakat tidak saja dibina oleh
guru tetapi juga dibina oleh personalia lain yang ada disekolah. Hal ini sesuai
dengan pendapat Pidarta (1999) yang mengatakan bahwa
selain guru, anggota staf yang lain seperti para pegawai, para
petugas bimbingan dan konseling, petugas-petugas medis, dan bahkan juga pesuruh
dapat melakukan hubungan dengan masyarakat, sebab mereka ini juga terlibat
dalam pertemuan-pertemuan, pemecahan masalah, dan ketatausahaan hubungan dengan
masyarakat. Namun yang lebih banyak menangani hal itu adalah guru sehingga
guru-gurulah yang paling dituntut untuk memiliki kompetensi dan perilaku
yang cocok dengan struktur sosial.
Kemampuan guru membawa diri baik di tengah
masyarakat dapat mempengaruhi penilaian masyarakat terhadap guru. Guru harus
bersikap sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat, responsif dan
komunikatif terhadap masyarakat, toleran dan menghargai pendapat mereka. Bila
tidak mampu menampilkan diri dengan baik sangat mungkin masyarakat tidak akan
menghiraukan mereka. Bertalian dengan hal itu Pidarta (1999) menegaskan
bahwa keadaan seperti itu akan menimbukan cap kurang baik terhadap guru.
Citra guru di mata masyarakat menjadi pudar. Oleh karena itu kewajiban sekolah
untuk menegakkan wibawa guru di tengah masyarakat dengan terus menyesuaikan
diri sambil ikut memberikan pencerahan kepada masyarakat. Hal yang dilakukan
guru dalam mendukung hubungan sekolah dengan masyarakat antara lain: (1).
Membantu sekolah dalam melaksanakan tehnik-tehnik hubungan sekolah dengan
masyarakat. Melalui : (a). Guru hendaknya selalu berpartisipasi
lembaga dan organisasi di masyarakat (b). Guru hendaknya membantu
memecahkan yang timbul dalam masyarakat. (2). Membuat dirinya lebih baik lagi
dalam masyarakat melalui penyesuain diri dengan adat istiadat masyarakat karena
guru adalah tokoh milik masyarakat. Tingkah laku guru di sekolah dan di
masyarakat menjadi panutan masyarakat. Pada posisi terrsebut guru menjaga
perilaku yang prima. Apabila masyarakat mengetahui bahwa guru-guru sekolah
tertentu dapat dijadikan suri teladan di masyarakat, maka masyarakat akan
percaya pada sekolah pada akhirnya masyarakat memberikan dukungan pada
sekolah. (3). Guru harus melaksanakan kode etiknya, karena kode etik merupakan
seperangkat aturan atau pedoman dalam melaksanakan tugas profesinya.
Penjelasan di atas menunjukkan betapa penting peran
guru dalam hubungan sekolah dengan masyarakat. Terjalinnya hubungan yang
harmonis antara sekolah-masyarakat membuka peluang adanya saling
koordinasi dan pengawasan dalam proses belajar mengajar di sekolah dan
keterlibatan bersama memajukan peserta didik. Guru diharapkan selalu berbuat
yang terbaik sesuai harapan masyarakat yaitu terbinanya dan tercapainya mutu
pendidikan anak-anak mereka.
Penciptaan suasana menantang harus dilengkapi dengan
terjalinnya hubungan yang baik dengan orang tua murid dan masyarakat
sekitarnya. Ini dimaksudkan untuk membina peran serta dan rasa tanggung
jawab bersama terhadap pendidikan. Hanya sebagian kecil waktu yang dipergunakan
oleh guru di sekolah dan sebagian besar ada di masyarakat. Agar pendidikan di
luar ini terjalin dengan baik dengan apa yang dilakukan oleh guru di sekolah
diperlukan kerjasama yang baik antara guru, orang tua dan masyarakat. Kewajiban
guru mengadakan kontak hubungan dengan masyarakat merupakan bagian dan tugas
guru dalam mendidik siswa dan mengembangkan profesinya sebagai guru. Sekolah
adalah milik bersama antara warga sekolah itu sendiri, pemerintah dan
masyarakat.
Dengan adanya perubahan paradigma pendidikan sekarang
ini membuka peluang bagi masyarakat untuk dapat menilai sekolah dan guru dalam
melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara baik sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Pengawasan dan evaluasi yang dilakukan masyarakat baik secara
perseorangan maupun kelompok yang dilakukan secara langsung maupun tidak
langsung membawa konsekwensi bagi terciptanya kondisi kerja kearah yang lebih
baik karena kelangsungan hidup sekolah sangat tergantung pula dari keterlibatan
masyarakat sebagai unsur pendukung keberhasilan sekolah maka guru secara
langsung terpengaruh dan berdampak pada kinerja guru sebab ketika
guru menunjukkan kinerja yang tidak baik disuatu sekolah maka masyarakat
tidak akan memberikan respon positif bagi kelangsungan sekolah tersebut.
Apalagi guru selalu berada ditengah-tengah masyarakat segala tindak
tanduknya akan selalu dicontoh dan diteladani dalam masyarakat.
Manfaat hubungan dengan masyarakat sangat besar bagi
peningkatan kinerja guru melalui peningkatan aktivitas-aktivitas bersama,
komunikasi yang kontinu dan proses saling memberi dan saling menerima serta
membuat instrospeksi sekolah dan guru menjadi giat dan kontinu. Setiap
aktivitas guru dapat diketahui oleh masyarakat sehingga guru akan berupaya
menampilkan kinerja yang lebih baik. Hal ini dipertegas Pidarta (1999) yang
menyatakan bahwa bila guru tidak mau belajar dan tidak mampu menampilkan diri
sangat mungkin masyarakat tidak akan menghiraukan mereka. Keadaan ini
seringkali menimbulkan cap kurang baik terhadap guru. Citra guru di mata
masyarakat menjadi pudar.
f. Kedisiplinan
The Liang Gie (1972) memberikan pengertian
disiplin sebagai berikut:
Disiplin adalah suatu keadaan tertib di mana
orang-orang yang tergabung dalam suatu organisasi tunduk pada
peraturan-peraturan yang telah ada dengan rasa senang. Sedangkan Good’s
(1959) dalam Dictionary of Education
mengartikan disiplin sebagai berikut:
1) Proses
atau hasil pengarahan atau pengendalian keinginan, dorongan atau kepentingan
guna mencapai maksud atau untuk mencapai tindakan yang lebih sangkil.
2) Mencari
tindakan terpilih dengan ulet, aktif dan diarahkan sendiri, sekalipun
menghadapi rintangan.
3) Pengendalian
perilaku secara langsung dan otoriter dengan hukuman atau hadiah.
4) Pengekangan
dorongan dengan cara yang tak nyaman dan bahkan menyakitkan.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan
bahwa disiplin adalah ketaatan dan ketepatan pada suatu aturan yang
dilakukan secara sadar tanpa adanya dorongan atau paksaan pihak lain
atau suatu keadaan di mana sesuatu itu berada dalam tertib, teratur dan semestinya
serta tiada suatu pelanggaran-pelanggaran baik secara langsung maupun tidak
langsung.
Tujuan disiplin menurut Arikunto, S.
(1993) yaitu agar kegiatan sekolah dapat berlangsung secara efektif
dalam suasana tenang, tentram dan setiap guru beserta karyawan dalam organisasi
sekolah merasa puas karena terpenuhi kebutuhannya. Sedangkan
Depdikbud (1992) menyatakan tujuan disiplin dibagi menjadi dua bagian
yaitu: (1). Tujuan Umum adalah agar terlaksananya kurikulum secara baik yang
menunjang peningkatan mutu pendidikan (2). Tujuan khusus yaitu : (a). Agar
Kepala Sekolah dapat menciptakan suasana kerja yang menggairahkan bagi seluruh
peserta warga sekolah, (b). Agar guru dapat melaksanakan proses belajar
mengajar seoptimal mungkin dengan semua sumber yang ada disekolah dan diluar
sekolah (c). Agar tercipta kerjasama yang erat antara sekolah dengan orang tua
dan sekolah dengan masyarakat untuk mengemban tugas pendidikan.
Kedisiplinan sangat perlu dalam menjalankan tugas dan
kewajibannya sebagai pengajar, pendidik dan pembimbing siswa. Disiplin yang
tinggi akan mampu membangun kinerja yang profesional sebab pemahaman disiplin
yang baik guru mampu mencermati aturan-aturan dan langkah strategis dalam
melaksanakan proses kegiatan belajar mengajar. Kemampuan guru dalam memahami
aturan dan melaksanakan aturan yang tepat, baik dalam hubungan dengan
personalia lain di sekolah maupun dalam proses belajar mengajar di kelas sangat
membantu upaya membelajarkan siswa ke arah yang lebih baik. Kedisiplinan bagi
para guru merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam melaksanakan tugas dan
kewajibannya.
Dengan demikian kedisiplinan seorang guru menjadi
tuntutan yang sangat penting untuk dimiliki dalam upaya menunjang dan
meningkatkan kinerja dan disisi lain akan memberikan tauladan bagi siswa bahwa
disiplin sangat penting bagi siapapun apabila ingin sukses. Hal tersebut
dipertegas Imron (1995) menyatakan bahwa disiplin kinerja guru adalah
suatu keadaan tertib dan teratur yang dimiliki guru dalam bekerja di sekolah,
tanpa ada pelanggaran-pelanggaran yang merugikan baik secara langsung maupun
tidak langsung terhadap dirinya, teman sejawatnya dan terhadap sekolah secara
keseluruhan.
Tiga model disiplin yang dapat dikembangkan yaitu: (1).
Disiplin yang dibangun berdasarkan konsep otoritarian. Bahwa guru dikatakan
mempunyai disiplin tinggi manakala mau menurut saja terhadap perintah dan
anjuran pejabat atau pembina tanpa banyak menyumbangkan pikiran-pikirannya.
(2). Disiplin yang dibangun berdasarkan konsep permissive. Bahwa guru haruslah
diberikan kebebasan seluas-luasnya di dalam kelas dan sekolah.
Aturan-aturan di sekolah dilonggarkan dan tidak perlu mengikat kepada
guru. (3). Disiplin yang dibangun berdasarkan konsep kebebasan yang
terkendali yaitu memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada guru untuk berbuat,
tetapi konsekwensi dari perbuatan itu haruslah dapat dipertanggung jawabkan
(Imron, 1995).
Penerapan model disiplin di atas, diikuti dengan
teknik-teknik alternatif pembinaan disiplin guru yaitu : (1). Pembinaan
dengan teknik external control yaitu pembinaan yang dikendalikan dari
luar. (2). Pembinaan dengan teknik internal control yaitu diupayakan agar
guru dapat mendisiplinkan dirinya sendiri. Guru disadarkan akan pentingnya
disiplin. (3). Pembinaan dengan teknik cooperative
control yaitu Pembinaan ini model ini, menuntut adanya saling kerjasama
antara guru dengan orang yang membina dalam menegakkan disiplin.
Perilaku disiplin dalam kaitan dengan kinerja guru
sangat erat hubungannya karena hanya dengan kedisiplinan yang tinggilah
pekerjaan dapat dilakukan sesuai dengan aturan-aturan yang ada. Untuk itu dalam
upaya mencegah terjadinya indisipliner perlu ditindak lanjuti dengan
meningkatkan kesejahteraan guru, memberi ancaman, teladan kepemimpinan,
melakukan tindakan korektif, memelihara tata tertib, memajukan pendekatan
positif terhadap disiplin, pencegahan dan pengendalian diri (Zahera Sy, 1998).
Hal tersebut dipertegas oleh Nainggolan H. (1990) bahwa upaya-upaya untuk
menegakkan disiplin antara lain: (1). Memajukan tindakan postif, (2).
Pencegahan dan penguasaan diri, (3). Memelihara tata tertib.
Kedisiplinan yang baik ditunjukan guru dalam
melaksanakan tugas dan kewajibannya akan memperlancar pekerjaan guru dan
memberikan perubahan dalam kinerja guru ke arah yang lebih baik dan dapat
dipertanggung jawabkan. Kondisi ini bukan saja berpengaruh pada pribadi guru
itu sendiri dan tugasnya tetapi akan berimbas pada komponen lain sebagai suatu
cerminan dan acuan dalam menjalankan tugas dengan baik dan menghasilkan hasil
yang memuaskan.
g.
Kesejahteraan
Faktor kesejahteraan menjadi salah satu yang
berpengaruh terhadap kinerja guru di dalam meningkatkan kualitasnya sebab
semakin sejahteranya seseorang makin tinggi kemungkinan untuk meningkatkan
kerjanya. Mulyasa (2002) menegaskan bahwa terpenuhinya berbagai macam kebutuhan
manusia, akan menimbulkan kepuasan dalam melaksanakan apapun tugasnya.
Supriadi (1999) bahwa tingkat kesejahteraan guru
di Indonesia sangat memprihatinkan, hanya setara dengan kondisi guru di negara
miskin di Afrika. Rendahnya tingkat kesejahteraan tersebut akan semakin tampak
bila dibandingkan dengan kondisi guru di negara lain. Di negara maju, gaji guru
umumnya lebih tinggi dari pegawai yang lain, sementara di Indonesia justru
sebaliknya.
Profesionalitas guru tidak saja dilihat dari
kemampuan guru dalam mengembangkan dan memberikan pembelajaran yang baik kepada
peserta didik, tetapi juga harus dilihat oleh pemerintah dengan cara memberikan
gaji yang pantas serta berkelayakan. Bila kebutuhan dan kesejahteraan para guru
telah layak diberikan oleh pemerintah, maka tidak akan ada lagi guru yang
membolos karena mencari tambahan diluar (Denny Suwarja, 2003). Hal itu
tersebut dipertegas Pidarta (1999) yang menyatakan bahwa rata-rata gaji guru di
negara ini belum menjamin kehidupan yang layak. Hampir semua guru bekerja di
tempat lain sebagai sambilan disamping pekerjaannya sebagai guru tetap disuatu
sekolah. Malah ada juga guru-guru yang melaksanakan pekerjaan sambilan lebih
dari satu tempat bahkan ada yang bekerja sambilan tidak di bidang pendidikan.
Hal ini bisa dimaklumi karena mereka ingin hidup layak bersama keluargannya.
Dunia guru masih terselingkung dua masalah yang
memiliki mutual korelasi yang pemecahannya memerlukan kearifan dan
kebijaksanaan beberapa pihak terutama pengambil kebijakan yaitu: (1). Profesi
keguruan kurang menjamin kesejahteraan karena rendah gajinya. Rendahnya gaji
berimplikasi pada kinerjanya. (2). Profesionalisme guru masih
rendah (Adiningsih, 2002).
Journal PAT (2001) menjelaskan bahwa di Inggris dan
Wales dalam meningkatkan profesionalisme guru pemerintah mulai memperhatikan
pembayaran gaji guru diseimbangkan dengan beban kerjanya. Analisa tingkat
institusi menyatakan bahwa hubungan antara kepuasan dan performan rasanya
nyata, pendidik yang terpuaskan pada tingkat yang lebih tinggi memiliki
performan pada tingkat yang lebih tinggi dari pendidik yang berada pada tingkat
tidak terpuaskan. Hal tersebut dipertegas Arthur H. Braifiled and Walter H.
Crockett (dalam Sutaryadi, 2001) yang menyatakan bahwa memang terdapat korelasi
positif antara kepuasan kerja dengan performan kerja namun pada tingkat rendah.
Peningkatan kesejahteraan berkaitan erat dengan
insentif yang diberikan pada guru. Insentif dibatasi sebagai imbalan organisasi
pada motivasi individu, pekerja menerima insentif dari organisasi sebagai
pengganti karena dia anggota yang produktif dengan kata lain insentif adalah
upah atau hukuman yang diberikan sebagai pengganti kontribusi individu pada
organisasi. Menurut Chester l. Barnard (dalam Sutaryadi, 2001) menyatakan bahwa
insentif yang tidak memadai berarti mengubah tujuan organisasi.
Berangkat dari pemaparan di atas
disimpulkan bahwa untuk memaksimalkan kinerja guru langkah strategis yang
dilakukan pemerintah yaitu memberikan kesejahteraan yang layak sesuai volume
kerja guru, selain itu memberikan insentif pendukung sebagai jaminan bagi
pemenuhan kebutuhan hidup guru dan keluarganya. Program peningkatan mutu
pendidikan apapun yang akan diterapkan pemerintah, jika kesejahteraan guru masih
rendah maka besar kemungkinan program tersebut tidak akan mencapai hasil yang
maksimal. Jadi tidak heran kalau guru di negara maju memiliki kualitas tinggi
dan profesional, karena penghargaan terhadap jasa guru sangat tinggi. Adanya
Jaminan kehidupan yang layak bagi guru dapat memotivasi untuk selalu bekerja
dan meningkatkan kreativitas sehingga kinerja selalu meningkat tiap waktu.
h.
Iklim Kerja
Sekolah merupakan suatu sistem yang terdiri dari
berbagai unsur yang membentuk satu kesatuan yang utuh. Di dalam
sekolah terdapat berbagai macam sistem sosial yang berkembang dari sekelompok
manusia yang saling berinteraksi menurut pola dan tujuan tertentu yang
saling mempengaruhi dan dipengaruhi oleh lingkungannya sehingga membentuk
perilaku dari hasil hubungan individu dengan individu maupun dengan
lingkungannya.
Davis, K & Newstrom J.W (1996) bahwa sekolah
dapat dipandang dari dua pendekatan yaitu pendekatan statis yang merupakan
wadah atau tempat orang berkumpul dalam satu struktur organisasi dan pendekatan
dinamis merupakan hubungan kerjasama yang harmonis antara anggota untuk
mencapai tujuan bersama.
Interaksi yang terjadi dalam sekolah merupakan
indikasi adanya keterkaitan satu dengan lainnya guna memenuhi kebutuhan juga
sebagai tuntutan tugas dan tanggung jawab pekerjaannya. Untuk terjalinnya
interaksi-interaksi yang melahirkan hubungan yang harmonis dan menciptakan
kondisi yang kondusif untuk bekerja diperlukan iklim kerja yang baik.
Litwin dan Stringer (Sergiovanni, 2001)
mengemukakan bahwa Iklim mempengaruhi kinerja guru. Iklim sebagai pengaruh
subyektif yang dapat dirasakan dari sistem formal, gaya informal pemimpin dan
faktor-faktor lingkungan penting lainnya, yang menyangkut sikap/keyakinan dan
kemampuan memotivasi orang-orang yang bekerja pada organisasi tersebut.
Sedangkan menurut Marray dan Lewin (Sutaryadi, 1990) mengatakan
bahwa Iklim kerja adalah seperangkat karakteristik yang membedakan antara
individu satu dengan individu lainnya yang dapat mempangaruhi perilaku individu
itu sendiri, perilaku merupakan hasil dari hubungan antara individu dengan
lingkungannya.
Iklim sekolah memegang peran penting sebab iklim itu
menunjukkan suasana kehidupan pergaulan dan pergaulan di sekolah itu. Iklim itu
mengambarkan kebudayaan, tradisi-tradisi, dan cara bertindak personalia yang
ada di sekolah itu, khususnya kalangan guru-guru. Iklim ialah keseluruhan
sikap guru-guru di sekolah terutama yang berhubungan dengan kesehatan dan
kepuasan mereka (Pidarta, 1999).
Jadi Iklim kerja adalah hubungan timbal balik antara
faktor-faktor pribadi, sosial dan budaya yang mempengaruhi sikap individu dan
kelompok dalam lingkungan sekolah yang tercermin dari suasana hubungan
kerjasama yang harmonis dan kondusif antara Kepala Sekolah dengan guru, antara
guru dengan guru yang lain, antara guru dengan pegawai sekolah dan keseluruhan
komponen itu harus menciptakan hubungan dengan peserta didik sehingga tujuan
pendidikan dan pengajaran tercapai.
Iklim negatif menampakkan diri dalam
bentuk-bentuk pergaulan yang kompetitif, kontradiktif, iri hati, beroposisi,
masa bodoh, individualistis, egois. Iklim negatif dapat menurunkan
produktivitas kerja guru. Iklim positif menunjukkan hubungan yang
akrab satu dengan lain dalam banyak hal terjadi kegotong royongan di antara mereka,
segala persoalan yang ditimbul diselesaikan secara bersama-sama melalui
musyawarah. Iklim positif menampakkan aktivitas-aktivitas berjalan dengan
harmonis dan dalam suasana yang damai, teduh yang memberikan rasa tenteram,
nyaman kepada personalia pada umumnya dan guru khususnya.
Terciptanya iklim positif di
sekolah bila terjalinnya hubungan yang baik dan harmonis antara
Kepala Sekolah dengan guru, guru dengan guru, guru dengan pegawai tata usaha,
dan peserta didik. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Owens (1991) bahwa
faktor-faktor penentu iklim organisasi sekolah terdiri dari (1). Ekologi yaitu
lingkungan fisik seperti gedung, bangku, kursi, alat elektronik, dan lain-lain,
(2). Milieu yakni hubungan sosial, (3). Sistem sosial yakni ketatausahan,
perorganisasian, pengambilan keputusan dan pola komunikasi, (4). Budaya yakni
nilai-nilai, kepercayaan, norma dan cara berpikir orang-orang dalam organisasi.
Sedangkan Steers (1975) bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi iklim kerjasama di sekolah adalah: (1). Struktur tugas, (2).
Imbalan dan hukuman yang diberikan, (3). Sentralisasi keputusan, (4).
Tekanan pada prestasi, (5). Tekanan pada latihan dan pengembangan, (6).
Keamanan dan resiko pelaksanaan tugas, (7). Keterbukaan dan Ketertutupan
individu, (8). Status dalam organisasi, (9). Pengakuan dan umpan balik, (10).
Kompetensi dan fleksibilitas dalam hubungan pencapaian tujuan organisasi secara
fleksibel dan kreatif.
Terbentuknya iklim yang kondusif pada
tempat kerja dapat menjadi faktor penunjang bagi peningkatan kinerja sebab
kenyamanan dalam bekerja membuat guru berpikir dengan tenang dan terkosentrasi
hanya pada tugas yang sedang dilaksanakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar