Warning


SELAMAT DATANG CALON SANTRI BARU ANGKATAN KEDUA
PESANTREN MBS CILACAP

Rabu, 26 November 2014

Menggugah Semangat Guru untuk Menulis



Menggugah Semangat Guru untuk Menulis


Oleh Solichan Abdullah[Widyaiswara Utama pada LPMP Prov. Jawa Timur].
Abstrak
Penerapan Permenegpan RB nomor 16 tahun 2009 pada awal tahun 2013 mengharuskan guru menuliskan laporan kegiatan pengembangan diri, tidak hanya sekedar mengumpulkan sertifikat kegiatan. Menulis dianggap hal yang sangat sulit dan membutuhkan biaya tinggi. Menulis dikategorikan sebagai pekerjaan orang berbakat menulis. Menulis divonis tidak menghasilkan materi yang dapat segera dimakan anak dan istri. Pendek kata menulis dipatok sebagai pekerjaan seorang penulis dan bukan pekerjaan guru aktif yang setiap hari harus mengajar di depan kelas. Padahal, sesungguhnya karya publikasi ilmiah tergolong jenis karya tulis yang strategis dan efektif untuk mentransformasikan dunia keilmuan kepada masyarakat luas. Keberhasilan seorang penulis bukan dari bakat melainkan dari usaha keras dan bersungguh-sungguh. Budaya menulis dan membaca harus menjadi suatu kebutuhan mutlak bagi guru guna mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terbaru.
Kata kunci: Permenegpan RB, pengembangan diri, publikasi ilmiah, budaya menulis

Pendahuluan

Berdasarkan   Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 tahun 2009 Tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya pasal 17 ayat (2) dinyatakan bahwa Guru Pertama, pangkat Penata Muda Tingkat I, golongan ruang III/b yang akan naik jabatan/pangkat menjadi Guru Muda, pangkat Penata,golongan ruang III/c angka kredit yang dipersyaratkan untuk kenaikan jabatan/pangkat, paling sedikit 4 (empat) angka kredit dari sub unsur publikasi ilmiah dan/atau karya inovatif, dan paling sedikit 3 (tiga) angka kredit dari sub unsur pengembangan diri; demikian juga untuk jabatan guru diatasnya.

 Ada 10(sepuluh) macam kegiatan publikasi ilmiah yang dapat dilakukan, yaitu (1)presentasi di forum ilmiah, (2) hasil penelitian, (3) tinjauan ilmiah, (4) tulisan ilmiah populer, (5) artikel ilmiah, (6) buku pelajaran, (7)modul/diktat, (8)buku dalam bidang pendidikan, (9) karya terjemahan, dan (10) buku pedoman guru. Peraturan tersebut berlaku efektif pada tanggal 1 Januari 2013.
Namun, secara jujur harus diakui, karya publikasi ilmiah masih jarang disentuh oleh guru untuk dijadikan sebagai salah satu karya tulis ilmiah, dalam arti guru kurang bersemangat dalam menulis karya ilmiah. Padahal, sesungguhnya karya publikasi ilmiah tergolong jenis karya tulis yang strategis dan efektif untuk mentransformasikan dunia keilmuan kepada masyarakat luas. Jangkauan media mainstraim (media cetak) yang jauh lebih luas sangat memungkinkan bagi seorangguru untuk menyebarluaskan dan mendesiminasikan gagasan-gagasan kreatif dan argumentatifnya kepada khalayak luas. Jika tulisan semacam ini dijadikan sebagai salah satu genre tulisan untuk memperkenalkan dunia akademik kepada masyarakat dari berbagai latar belakang sosial dan budaya, pelan tetapi pasti, kesenjangan informasi keilmuan yang selama ini masih menganga lebar, bisa terjembatani.

Melalui koran atau majalah yang diakui keberadaannya secara nasional, seorang guru bisa mentransfer gagasan-gagasan cemerlang yang relevan dengan dunia pendidikan kepada masyarakat luas. Ini artinya, fungsi pencerdasan dan pencerahan yang dilakukan oleh seorang guru tak hanya sekadar berlangsung di ruang kelas, tetapi juga menyebar di luar tembok sekolah dengan jangkauan yang (nyaris) tanpa batas. Dilain pihak, kalau ditelusuri ternyata kebiasaan guru dalam menulis belum seperti yang diharapkan.

Kendala guru dalam menulis
Ada beberapa alasan  guru enggan menulis diantaranya kurang adanya motivasi yang menggiring guru kearah terampil dan biasa melakukan tulis menulis dari orang-orang atau lembaga yang berkompeten dalam pendidikan antara lain kepala sekolah. Untuk menggugah semangat guru dalam menulis lembaga yang berkompeten dalam pendidikan perlu mengadakan perlombaan-perlombaan semacam penulisan karya tulis ilmiah (lomba karya tulis) dan sejenisnya. Kegiatan semacam ini jarang diadakan oleh lembaga-lembaga tertentu atau oleh Dinas Pendidikan pada khususnya sehingga kebiasaan menulis bagi guru semakin terkubur.
Guru merasa sulit menghasilkan karya tulis padahal profesi guru menuntut untuk itu.Disamping alasan tersebut, tampaknya, ada sejumlah kendala yang menjadi penyebabnya yang antara lain (1)kendala psikologis, (2) kendala kemampuan, dan (3) kendala ekonomis/lain-lain.
Sebagai (besar) guru merasa tidak bisa padahal belum berusaha, merasa malu dan takut, atau tidak percaya diri tulisannya kurang baik sehingga ditertawakan orang, tidak percaya diri bahwa pengetahuannya tidak banyak, atau tidak percaya diri bahwa kemampuan bahasanya kurang baik, kurang termotivasi karena berbagai sebab malas, tidak ada keinginan untuk maju dan lain-lain. Guru kurang menguasai pengetahuan, bahkan untuk bidang keilmuannya sendiri (unsur gagasan, isi), tidak tahu apa yang harus atau dapat ditulis untuk penulisan karya ilmiah, kurang menguasai bahasa untuk membahasakan gagasan pada penulisan karya ilmiah (aspek bentuk) dan kurang memahami model serta teknik penulisan karya ilmiah. Sebagian guru tidak ada tantangan dari faktor income, ada persepsi bahwa tidak menulis juga sudah bisa hidup layak, tidak memahami pentingnya berekspresi lewat karya tulis kurang memahami/menghargai pentingnya penyebaran informasi lewat tulisan (kegiatan tulis-baca), dan  masih terpaku pada budaya lisan.
Alasan berikutnya karena guru merasa tidak ada waktu lagi untuk menulis karena fikiran dan tenaganya telah tersita oleh kegiatan-kegiatan intrakurikuler di sekolah. Bagi mereka yang kurang biasa menulis, tradisi menulis dirasakan amat berat, karena perlu diimbangi dengan membaca guna menambah keleluasaan dan keluasan cakrawala berfikir. Guru mendapat kesulitan dalam hal menciptakan suatu alur yang sistematis, dan menata kata menjadi kalimat yang mudah dipahami dan dimengerti oleh semua kalangan secara redaksional.

Membudayakan keterampilan menulis memang bukan merupakan hal yang mudah. Ketika banyak kendala, kita harus mampu mencari solusinya. Kemalasan, penyakit menahun, harus dipaksa untuk bisa dikendalikan yaitu dengan cara menggambarkan impian positif: jaminan angka kredit berarti peningkatan prestasi dan prestise dalam karir, publikasi di media massa berarti peningkatan kesejahteraan dan kepuasan batin. Kesibukan, memang selain mengajar dengan berbagai perlengkapan adminitrasi yang memusingkan, guru dibebani oleh tugas-tugas tambahan di sekolah. Kadang sangat menyita waktu, dan tuntutan itu tidak boleh tidak harus dilaksanakan. Apabila pulang ke rumah, pekerjaan rumah tangga sudah menanti yang bersifat rutinitas di dalam keluarga.
Disinyalir, kegagalan guru dalam menulis disebabkan karena kekurangtahuan prosedur kepenulisan, persyaratan pengakuan pemerintah terhadap karya-karya pengembangan profesi sesuai petunjuk teknis, dan penolakan pemuatan dari pihak media massa. Untuk itu, seminar-seminar dan pelatihan-pelatihan dalam hal dalam hal kompetensi dan prosedur teknis kepenulisan selalu ditunggu para guru. Para pakar dalam bidang pengembangan profesi guru dan juga penulis senior yang sudah mendunia harus bisa mendesiminasikan kepada para guru di mana saja. Paling tidak dengan adanya seminar dan pelatihan akan memunculkan keuntungan ganda yaitu kemahiran kompetensi menulis sehingga mampu mengemban tuntutan unsur utama dalam bidang pengembangan profesi dan pemerolehan sertifikat yang bisa digunakan untuk memperlancar pengajuan angka kredit  atau untuk pengajuan uji sertifikasi

Budaya menulis

Kegiatan berkomunikasi dapat dilakukan secara lisan dan tulisan. Berkomunikasi secara lisan akan dibatasi oleh ruang dan waktu. Komunikasi tersebut hanya berlaku bagi orang yang berada dalam satu ruangan dan dibatasi oleh waktu, ketika pembicaraan telah selesai maka selesai pula kegiatan komunikasi tersebut. Kegiatan berkomunikasi secara tertulis dapat menembus ruang dan waktu yaitu tidak dibatasi oleh kehadiran pembaca dalam suatu ruangan. Namun, pembaca dapat melakukannya pada waktu yang berbeda, mungkin sehari berikutnya, sebulan, atau setahun yang akan datang. 

Guru adalah tokoh profesi yang memungkinkan berkiprah dalam bidang kepenulisan, karena kapasitas intelektual memadai, pengalaman mendukung, dan dari segi waktu atau kesempatan terbuka lebar. Dengan memilih berbagai topik yang biasa digeluti sehari-hari, seperti permasalahan pembelajaran, isu pendidikan, kebijakan pemerintah, bahkan menulis tulisan yang bersifat rekreatif dalam bentuk sastra, karya ilmiah, buku atau artikel di media massa.       

Pada umumnya, budaya baca buku pada masyarakat kita masih tergolong sangat rendah, apalagi budaya tulis menulis. Sementara budaya bahasa lisan merupakan suatu keniscayaan. Dengan membudayakan bahasa tulis, dengan sendirinya masyarakat terbiasa untuk membaca buku. Belajar menulis dapat diibaratkan seperti belajar naik sepeda. Mula-mula terasa sulit sekali trial and error (coba-salah) tetapi lama kelamaan akan terasa asyik sekali. Kesulitan memulai menulis acapkali merupakan hambatan yang sering dirasakan oleh penulis pemula entah sudah berapa kali penanya digoreskan di atas kertas, tetapi sebanyak itu pula kertas tersebut dirobek-robek, lalu di lempar ke tempat sampah.

 Guru perlu digugah semangatnya untuk menulis. Agar tulisannya tidak merambah kemana-mana tetap fokus, maka mulailah dengan pemilihan topik.  Banyak topik yang tersebar di sekitar kita seperti masalah pendidikan, hukum, sosial, agama, teknologi dan sebagainya. Langkah selanjutnya kumpulkan bahan-bahan yang menunjang tema yang dipilih baik literatur penelitian atau bisa juga hasil pengamatan.  Maksudnya, agar tulisan menjadi lebih baik tidak asal menggambarkan atau asal menilai, melainkan disertai fakta data atau teori-teori. Setelah itu, perlu dirumuskan masalahnya secara jelas. Rumusan masalah tersebut didesain sedemikian rupa, sehingga tulisan kita menjadi sistematis dan terarah. Untuk itu, perlu dibuatkan kerangka karangan (out line) yang berfungsi sebagai pemandu kemana tulisan kita harus diarahkan.

Kegiatan menulis dapat membantu diri kita untuk menyerap dan memproses informasi. Bila kita akan menulis sebuah topik maka hal itu berarti kita harus belajar tentang topik itu dengan lebih baik. Apabila kegiatan seperti itu kita lakukan terus menerus maka berarti akan dapat mempertajam kemampuan kita dalam menyerap dan memproses informasi.

Manfaat menulis diera kemajuan teknologi seperti sekarang, guru dituntut untuk berpengetahuan dan berwawasan luas di samping selalu siap dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari yaitu mengajar, mendidik, membimbing karena saat ini guru bukanlah satu-satunya sumber informasi dan sumber belajar seperti jaman dulu. Di samping guru, telah banyak media lain di masyarakat seperti media cetak berupa buku, buletin, majalah, surat kabar, tabloid dan seterusnya. Oleh karenanya bukan mustahil peserta didik akan tahu lebih dahulu tentang pengetahuan dan pengalaman baru karena peserta didiknya mengakses dari internet, sedangkan gurunya hanya mendapat informasi melalui televisi saja.

Budaya kreativitas menulis dan membaca harus menjadi suatu kebutuhan mutlak bagi guru guna mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terbaru. Kata kunci untuk bisa mahir menulis perlu latihan secara terus-menerus. Ibaratnya mata pisau, semakin sering diasah akan semakin tajam. Seorang yang sangat cerdas sekalipun bila lama tidak menulis biasanya merasa kesulitan ketika memulai lagi menulis. Menulis perlu dijadikan sebagai kebiasaan dan tidak perlu takut salah. Inilah penyakit umum dalam dunia tulis menulis.

Untuk menghasilkan tulisan yang berbobot, tentunya tidak hanya mengandalkan pada teori, tetapi latihan yang intensif dan sungguh-sungguh merupakan faktor yang berperan dalam meniti karir sebagai penulis yang handal di masa depan. Tradisi menulis jika ditekuni akan menjadi hobi, sehingga kegiatan menulis tidak memberatkan lagi. Di setiap kesempatan  akan muncul ide atau gagasan baru secara otomatis. Guru di samping tugasnya untuk mengajar, mendidik dan membimbing peserta didik kearah pendewasaan. Guru juga mempunyai profesi sebagai penulis, kegiatan sampingan guru yang paling dekat dengan profesinya adalah tradisi menulis karena gurulah yang setiap hari yang berhubungan dan berkubang dengan buku.
Beberapa saran lagi agar guru tergugah dalam menulis, yaitu: (1) memperbanyak lomba menulis disertai dengan hadiah yang memotivasi guru untuk menulis, (2) memperbanyak majalah, bulletin, jurnal dan koran harian merupakan wadah tulisan guru yang signifikan, dan (3) para guru mau mengubah diri menghidupkan budaya baca buku, membaca artikel orang lain yang tersebar pada koran harian , mengumpulkan guntingan koran yang berisi warta dan opini tentang pendidikan sebagai sumber data yang akurat. Sudah saatnya ada perhatian khusus dari sekolah maupun lembaga yang berkompeten dalam pendidikan untuk mengasah dan memotivasi guru untuk menulis. Tidak adanya tempat yang representatif inilah yang menyebabkan guru kurang bergairah untuk memacu kreativitasnya. Seperti dengan memberikan sentuhan spirit atau rangsangan berupa penghargaan, diantaranya berupa kredit point untuk menunjang karier guru tersebut. Namun penghargaan itu sangat membutuhkan wadah yang konkrit, wadah itu bisa berupa jurnal atau majalah khusus untuk guru di lingkungan Dinas Pendidikan setempat. Dapat juga ada forum tertentu yang khusus menampung ide-ide mereka dalam meningkatkan kualitas pendidikan, minimal ide tersebut didiskusikan di kelompok kerja baik untuk guru yaitu Kelompok Kerja Guru (KKG), Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), atau Kelompok Kerja Kepala Sekolah (KKKS) dan Musyawarah Kerja Kepala Sekolah(MKPS). Seperti hasil dari suatu diskusi harus dituangkan dalam bentuk tertulis sehingga guru menjadi terbiasa menuangkan setiap idenya secara tertulis.

Menggugah semangat guru untuk menulis

Menggugah semangat menulis pada guru memang tidak mudah. Namun, tidaklah  salah jika kebiasaan menuangkan ide–ide ke dalam tulisan itu mulai diasah dari saat ini. Tidak sedikit guru yang mempunyai profesi sebagai penulis. Gurulah setiap hari berhubungan  dan berkubang dengan buku ilmu pengetahuan dan pendidikan pada umumnya. Akan tetapi patut disayangkan masih lemahnya kemampuan  guru dalam berkomunikasi dan mempraktekkan dalam kegiatan tulis-menulis, apakah menulis nonfiksi maupun menulis fiksi. Menulis nonfiksi dimaksud adalah menulis karya ilmiah atau artikel ilmiah  maupun artikel ilmiah populer. Sedangkan menulis fiksi adalah menulis cerita pendek(cerpen), apalagi novel. Ternyata tidak semua guru bisa menulis, namun demikian ada yang mampu menuangkan idenya.

Profesi guru tidak dapat dilepaskan dari penanganan kependidikan secara luas bahkan guru dapat disebut sebagai dokter pendidikan. Mereka bertindak sebagai praktisi sekaligus sebagai peneliti. Guru sebagai praktisi berkenaan dengan tugasnya untuk mengajar, mendidik, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Guru sebagai peneliti paling tidak mempunyai kepekaan terhadap adanya permasalahan-permasalahan di dalam kegiatan pebelajaran.

Tradisi menulis bagi guru akan membantu dalam menambah pengetahuan dan wawasannya, memacu untuk gemar membaca, tertarik untuk menyimak media dan peka dalam merespon fenomena-fenomena yang muncul didalam tulisannya. Disamping hal tersebut karya tulis guru akan mendapatkan penghargaan berupa penilaian angka kredit yang masuk unsur utama sub unsur pengembangan profesi. Guru bahasa misalnya, dituntut kompetensi yang terkait langsung (inheren) dengan diri pribadi guru, dalam hal ini adalah ketrampilan reseptif dan ketrampilan produktif.

Sebagian besar diantara mereka (guru) bahasa memang seringkali bisa menyampaikan dan mengatakan beragam teori, tetapi tidak dapat melakukan atau menerapkan teori yang disampaikan itu, misalnya para guru sangat terampil menyampaikan bagaimana cara menulis karya ilmiah yang baik, bagaimana cara menulis puisi, cerpen, atau novel yang bagus. Tetapi yang sering dilupakan adalah guru sendiri kurang bahkan tidak mengembangkan keterampilan produktif itu secara intens. Dengan kata lain, guru lebih terampil menunjukkan contoh karya-karya bagus kepada anak-anak, tetapi tidak mampu menjadi contoh bagi anak-anak untuk menghasilkan karya tulis yang bagus. Guru yang demikian tetap saja merasa percaya diri mengajar di hadapan para peserta didik tanpa merasa punya beban atau pikiran untuk mengasah keterampilan produktifnya dalam menghasilkan sebuah karya tulis.

Penutup

Penerapan Permenegpan RB nomor 16 tahun 2009 pada awal tahun 2013 mengharuskan guru menuliskan laporan kegiatan pengembangan diri, tidak hanya sekedar mengumpulkan sertifikat kegiatan. Jika kita hanya bisa terpukau dalam kelelahan, dengan hanya bisa mengeluh berarti kita tidak mampu memahami prinsip ‘sekecil apa pun pekerjaan yang kita lakukan dengan diiringi keikhlasan, niscaya bernilai ibadah’. Perlu kita sempatkan waktu senggang yang ada dengan sebuah target. Setiap hari disisihkan satu-dua jam misalnya, atau ketika ada mood dan inspirasi kita langsung mendokumentasikan. Jangan tunda terlalu lama, karena penundaan akan lebih menjerumuskan pada kegagalan target. Takut gagal, semua manusia pasti pernah dihinggapi ketakutan semacam itu, yang penting tidak mendominasi secara kejiwaan. Sebelum berperang jangan katakan kalah. Usaha dan dicoba dulu, baru boleh bicara sukses atau tidak. Targetkan dalam skala minimum dan pada jenis karya yang lebih mudah dahulu sehingga tidak terjadi gagal total. Dan yang paling penting, jangan pernah malu untuk bertanya dan belajar dari orang lain yang lebih mampu.

Daftar Rujukan
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 tahun 2009 Tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.
Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (P3M) Jayapura2009Tradisi Menulis Bagi Guru Kurang Bergairah.

Menumbuhkan Budaya Menulis Guru


Menumbuhkan Budaya Menulis bagi Guru


Menulis bagi guru bukan lagi sebatas kewajiban, tetapi menjadi kebutuhan mendesak. Berdasarkan data Depdiknas tahun 2006 menunjukkan bahwa jumlah guru yang terhambat kenaikan pangkatnya dari golongan IVa ke golongan IVb sebanyak 334.184 orang. Sementara terdapat 347.565 guru yang berstatus golongan ruang IIId sedang antri naik golongan ruang IVa, justru jumlah guru yang bergolongan ruang IVb hanya 2.318 orang atau di bawah satu persen.
Kondisi tersebut memunculkan pertanyaan, bagaimana menumbuhkan budaya menulis dikalangan guru? Ada baiknya jika menelisik tokoh pendidikan di Indonesia, Ki Hajar Dewantara. Karena ternyata beliau adalah seorang guru dan suka menulis. Tulisannya yang berjudul ”Alk In Netherlands was”  menjadi spirit of change dalam sejarah kemerdekaan bangsa. Menurut Abbas bahwa “membangun kemampuan menulis, ibarat belajar bela diri. Tidak dapat diraih secara instan. Dunia menulis bukanlah dunia sinetron. Belajar silat, karate atau Thaibox, dimulai dari bagaimana mengokohkan kuda-kuda. Tidak bisa langsung menjadi jagoan, pendekar”.
Menumbuhkan budaya menulis berpangkal pada persoalan kapan memulai kebiasaan menulis. Hal inilah perlu mendapat perhatian, walaupun seribu alasan dan hambatan akan siap membayangi keinginan tersebut. Namun bertolak dari prinsip memulai sekarang dan dari hal yang sederhana, apalagi sebagai penulis pemula. Memulai menulis tidak perlu rumit, mulai dari diri sendiri,  sederhana dan familiar dengan keseharian sebagai seorang guru. Misalnya membuat rencana pelaksanaan pembelajaran, merangkum materi pelajaran, atau sebatas mencatat hal yang penting di buku harian. Boleh juga memulai dengan membuat jurnal pembelajaran, kondisi personality peserta didik di kelas, catatan khusus mengenai kendala peserta didik dan masih banyak lagi yang sangat familiar dengan aktifitas sebagai seorang guru.
Guru sebagai pendidik dan nara sumber bagi peserta didik, pada dasarnya mempunyai energi dan potensi yang strategis untuk menulis. Betapa tidak, dengan bekal ilmu dan pengalaman, dapat membuahlan sumber inspirasi bagi perbaikan strategi, metode atau model pembelajaran yang efektif. Bukan sesuatu yang mustahil bahwa apa yang disampaikan dan dideskripsikan guru melalui tulisannya akan memberikan kontribusi bagi banyak kalangan. Suka duka menjadi seorang guru, plus minus sebagai pendidik, serba serbi kehidupan guru alangkah eloknya jika ditulis oleh guru itu sendiri. Jadi jurus pertama adalah memulai menulis.
Sebelum memulai menulis, ada baiknya jika calon penulis memahami manfaat dari aktifitas menulis. Bagi seorang guru, manfaat menulis antara lain sebagai berikut:
1.   Menulis menjadi bagian dari pengembangan keprofesian berkelanjutan, untuk pengusulan kenaikan pangkat bagi jabatan guru.

2.   Hasil karya tulis bagi profesi guru dapat diikutsertakan pada lomba keberhasilan guru dalam pembelajaran atau lomba yang diperuntukkan bagi guru.


3.   Mengungkapkan ide, gagasan dan pemikiran melalui aktifitas menulis akan memperbaiki metode, strategi dan model pembelajaran.

4.   Menulis merupakan media untuk menemukan dan memberikan solusi dalam memecahkan masalah pendidikan.

5.   Menulis bermanfaat untuk pengembangan materi atau bahan ajar dalam mata pelajaran yang diampunya.

6.   Tulisan yang dibuat oleh guru akan menjadi investasi bagi dirinya untuk kepentingan akhirat.

7.   Menulis akan mengikat pengetahuan yang dimiliki oleh penulis itu sendiri. Dengan menulis, guru dapat membuka kembali pemahamannya mengenai sesuatu yang ditulis dan mengembangkannya dengan lebih mudah.

8.   Menulis juga dapat menambah pundi-pundi penghasilan. Banyak penulis yang kemudian menjadi unjuk kemampuan untuk menulis ide, pikiran dan gagasannya dalam bentuk tulisan yang menarik. Setiap tulisan yang dimuat dalam media cetak akan mendapatkan honor.

9.   Menulis akan mengantarkan penulisnya menjadi orang yang terkenal. Karya novel “Ayat-Ayat Cinta” oleh  Habiburrahman El Shirazyatau Joanne Kathleen Rowling penulis novel best seller, Harry Potter, membawanya dikenal publik.
Ketika babak baru untuk memulai menulis telah dikumandangkan, jangan berharap persoalan selesai. Akan muncul pertanyaan baru, bagaimana menuangkan gagasan atau ide ke dalam kerangka tulisan. Kendala ini dapat diminimalisir dengan jurus kedua, yaitu banyak membaca. Orang yang bisu pada awalnya dikarenakan tuli, sebab apa yang akan diucapkan kalau tidak pernah mendengarkan. Sama artinya apa yang mau diungkap, dinarasikan, diargumentasikan jika tidak punya referens alias kurang membaca. Belum punya ide (gagasan) menjadi kendala klasik yang sering membuntuti perjalanan seorang guru yang telah memulai menulis. Apa yang mau ditulis? dengan banyak membaca dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi.
Kunci untuk dapat menulis adalah terus berlatih menuliskan ide,pikiran,dan gagasan dalam bentuk tulisan.Menulis tidak memiliki teori khusus yang harus dipelajari melalui suatu proses perkuliahan, menulis pun tidak dapat dicapai hanya dengan membaca,mendengar,atau mengikuti kuliah,tetapi harus dilakukan dengan cara berlatih menulis, kemudian menulis dan menulis...
Sebagai langkah awal memulai menulis, untuk memuluskan aktfitas menulis, masih diperlukan jurus ketiga yang juga urgen, yaitu berinvestasi dari sebagian penghasilan sebagai seorang guru untuk aktifitas menulis. Investasi tersebut digunakan untuk membeli buku, berlangganan surat kabar/koran, berselancar di internet, membeli komputer/laptop, serta alat dan bahan untuk aktifitas menulis. Tidak ada salahnya menyisihkan sebagian dari penghasilan untuk investasi menulis, toh pada akhirnya manfaat lebih besar dari investasi yang dikeluarkan.
Waktu yang masih tersisa adalah kesempatan emas untuk memulai menulis. Hambatan maupun kendala dalam memulai menulis segera diatasi. Semoga dengan berangkat dari niat yang ikhlas, keuletan dan kerja keras ketiga jurus untuk menumbuhkan budaya menulis dapat diwujudkan. Menulis membutuhkan action bukan narasi, good luck.

Ayo Menulis Wahai guruku



Pentingnya Budaya Menulis untuk Guru

Oleh: Arfia Nurhayati


Mengingat pentingnya menulis bagi seorang guru, budaya menulis sungguh perlu ditumbuh kembangkan. Untuk itu, pertama-tama, tumbuhkan dulu kecintaan dan kebiasaan dalam hal membaca dan mendengar yang baik. Satu hal yang perlu diingat, menuliss sangatlah berbeda dengan berbicara. Komunikasi melalui tulisan cenderung lebih sulit. Hanya saja, untuk mengungkapkannya dibutuhkan kecerdasan bahasa dan membaca menjadi solusinya.


Menulis bagi seorang guru boleh dikatakan adalah suatu ‘harga mati’. Sebab menulis tidak hanya dapat menambah wawasan,  mengasah  kemampuan berfikir, serta pengetahuan,  namun juga sekaligus dapat menunjang peningkatan karier dan kesejahteraan guru yang bersangkutan. Dengan menulis, seseorang ibarat membenamkan diri dalam proses kreatif. Kreativitas muncul, bila terus didorong melalui berbagai latihan, termasuk latihan menulis. Sehingga tulisan yang dibuat menjadi bermakna bagi yang membacanya. Namun terkadang banyak kendala mengapa orang-orang saat ini kurang berminat dalam menulis. Penyebab rendahnya kemampuan guru dalam menulis yaitu,Pertama, mereka banyak yang tidak mempunyai budaya membaca yang baik.Kedua, motivasi yang rendah di kalangan pemuda-pemudi untuk menulis. Ketiga, pemuda-pemudi yang miskin gagasan. Keempat, kurangnya keberanian dalam menulis.

Tulislah apa yang hendak kau tulis wahai guruku


Kepada Guruku

“Tulis, Tulis, dan Tulislah!”


“Menulislah,” saran saya kepada sejumlah rekan guru SD, SMP, dan SMA.
“Menulis? Memangnya, saya guru Bahasa Indonesia?” tukas seorang guru Matematika.
“Tidak perlu. Sudah ada buku-buku paket untuk bahan ajar,” kilah seorang guru Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).
“Tidak sempat. Sibuk menyiapkan bahan pelajaran dan memeriksa PR sertaulangan anak-anak ,” dalih seorang guru Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).
“Tidak punya ide untuk dituliskan,” alasan seorang guru Pendidikan Kewarganegaraan.
“Saya tidak bakat menulis,” kata seorang guru Pendidikan Jasmani dan Olahraga, singkat tegas.
“Saya sudah menulis power point bahan ajar,” kata seorang guru IPA Biologi. Tapi, menulis bahan ajar semacam itu hanya sekadar menyalin ulang isi buku ajar, bukan?
“Ah, nanti saja, kalau sudah mau naik pangkat,” jawab seorang guru Bahasa Indonesia. Kaitannya dengan pemberlakuan Permeneg PAN dan RB No. 16/2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya sejak 2013 (Permendiknas No. 35/2010) yang mewajibkan syarat publikasi karya ilmiah untuk kenaikan pangkat dari golongan ruang IIIb ke IIIc dan seterusnya.
Semua tanggapan di atas adalah kutipan dialog imajiner dengan para guru. Sekadar menunjukkan sejumlah alasan guru menghindari kewajiban menulis. Padahal, ia adalah pasangan kewajiban membaca. Keduanya adalah cara guru meningkatan kompetensi keilmuan dan keguruan secara mandiri.
Sebenarnya, mengapa guru wajib menulis? Apa pula kendalanya? Lalu, langkah apa bisa diambil guna meningkatkan budaya tulis di kalangan guru?
Empat Tipe Guru
Untuk menjawab pertanyaan, baiklah kita buat tipologi guru menurut intensitas baca dan tulisnya. Dengan membedakan antarai ntensitas “jarang” (rendah) dan “sering” (tinggi), diperoleh empat tipe guru.
Pertama, Guru Jabajatujarang baca dan jarang tulis. Guru Jabajatu hanyamengajar persis sesuai Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Di depan kelas, dari tahun ke tahun, ia mengajarkan hanya materi standar dengan cara yang menjemukan. Tak ada ikhtiar membaca dan menulis untuk inovasi metode dan pengayaan materi ajar. Peningkatan kompetensi ajar hanya terjadi jika kebetulan ia ikut pelatihan.
Kedua, Guru Jabasetujarang baca tapi sering tulis. Sebenarnya, ini tipe yang mustahil, karena bahkan seorang penyair yang paling mumpuni tetap perlu membaca untuk mendukung proses kreatifnya. Kalau ada tipe guru seperti ini, maka baginya menulis tidaklah bermakna produksi ide, melainkan semata-mata “mencatat” apa saja yang menarik perhatiannya, tanpa harus terkait dengan bidang ilmunya. Di depan kelas, guru ini sama menjemukannya dengan Guru Jabajatu.Peningkatkan kompetensi ajarnya juga didapat terutama dari pelatihan formal.
Ketiga, Guru Sebajatu, sering baca tapi jarang tulis. Karena rajin membaca maka a perbendaharaan ilmunya kaya lagi mutakhir. Di depan kelas, Guru Sebajatu umumnya atraktif. Metodenya variatif dan materi ajarnya kaya illustrasi. Dilihat dari segi tabungan ilmu-pengetahuan,guru ini punya modal besar untuk menulis.Kendalanya hanya soal teknis (keterbatasan waktu/keterampilan) dan non-teknis ( kurang motivasi/minat) yang sebenarnya bisa diatasi. Peningkatan kompetensi guru ini bersumber terutama dari luar dirinya, yaitu berupa ragam tulisan orang lain.Tentu saja ia juga ikut ragam pelatihan.
Keempat, Guru Sebasetusering baca dan sering tulis. Inilah guru idaman setiap murid, sekolah, dan masyarakat. Peningkatan kompetensinya berasal dari interaksi dua aktivitas, yaitu membaca dan menulis sekaligus. Artinya, bersumber dari luar dirinya (baca tulisan orang) dan dari dalam dirinya (buat tulisan sendiri). Bagi Guru Sebasetu berlaku prinsip, “Semakin banyak membaca maka semakin banyak menulis.” Bisa dipastikan, dibanding lainnya, Guru Sebajatu adalah guru yang paling tinggi kompetensinya.
Ikhwal tinggi rendahnya kompetensi masing-masing tipe guru itu, sebenarnya dapat dijelaskan dengan mengutip ungkapan George Bernard Shaw (1856-1950), sastrawan besar Irlandia. Katanya, “Jika Anda dan saya masing-masing punya sebuah apel, lalu kita saling-tukar, maka masing-masing kita tetap punya sebuah apel. Tapi jika Anda dan saya masing-masing punya sebuah ide, lalu kita saling-tukar, maka masing-masing kita punya dua ide.” (Terjemahan bebas dari: If you have an apple and I have an apple and we exchange these apples then you and I will still each have one apple. But if you have an idea and I have an idea and we exchange these ideas, then each of us will have two ideas.”)
Ringkasnya, bayangkanlah status penguasaan ide atau ilmu-pengetahuan pada masing-masing tipe guru itu. Guru-guru Jabajatu dan Jabasetu hanya punya satu ide “usang” karena tak pernah bertukar ide, melalui proses baca-tulis. Guru Sebajatu sebenarnya juga hanya punya satu ide, tapi semakin besar dan selalu baru, karena rajin membaca. Hanya Guru Sebasetu yang punya dua ide, dalam arti penguasaan ilmu-pengetahuan dan kompetensi yang lebih besar dan mutakhir, karena rajin bertukar ide dengan melalui proses baca dan tulis.
Guru Sebasetu menerima ide baru dari orang lain (lewat kegiatan baca) juga membagi ide yang lebih baru lagi kepada orang lain (lewat kegiatan tulis). Prinsip yang berlaku baginya adalah: “Berdiri di pundak penulis terdahulu, untuk dapat melihat lebih jauh ke depan.”
Sekarang bayangkan Anda mau mendaftarkan anak masuk sekolah. Ada dua pilihan sekolah: “Sekolah A” dengan mayoritas Guru Jabajatu dan Jabasetu, dan “Sekolah B” dengan mayoritas Guru Sebajatu dan Sebasetu. Kalau memilih “Sekolah B”, berarti Anda sangat paham arti penting guru membaca dan menulis.Sebaliknya, jika memilih “Sekolah A”, maka kadar cinta Anda pada anak perlu dipertanyakan.
Pilih Eksis atau Habis?
Pernah dengar motto Publish or Perish, yang ditujukan bagi kalangan akademisi,bukan? Terjemahan bebasnya, “Menulis atau Habis”. Atau, “Mau eksis, menulislah. Mau habis, jangan menulis.” Maksudnya, seorang akademisi hanya mungkin eksis jika menulis (publikasi), dan sebaliknya akan habis (punah) jika tidak menulis. Motto ini berlaku juga untuk guru, karena guru juga akademisi.
Kita bisa perkirakan bagaimana eksistensi tiap-tiap tipe guru tadi. Pastilah Guru Sebasetu yang paling eksis dalam arti, pertama, kompetensi ajar diukur dari tingkat penguasaan materi dan metode ajarnya paling tinggi.
Kedua, secara sosial paling mendapat pengakuan atau legitimasi sebagai guru dari murid, lingkungan sekolah, dan masyarakat luas, berkat publikasi karya-karya tulisnya.
Ketiga, secara hirarkis berada pada ruang jabatan/kepangkatan yang lebih tinggi, berkat capaian kumulatif angka kreditnya lebih besar, khususnya di bidang karya tulis.
Keempat, karena kompetensinya yang lebih tinggi maka kontribusinya terhadap mutu sekolah menjadi lebih besar. Imbalannya dalah jabatan struktural dan peluang-peluang pengembangan karir lainnya.
Guru Sebasetu tidak semata pengajar, tapi pendidik sejati dengan manfaat ganda.Bagi murid ia sumber peningkatan kecerdasan akademis, sosial, dan spiritual sekaligus. Bagi sekolah ia sumber peningkatan kredibilitas. Bagi masyarakat luas ia sumber inspirasi dan pencerahan, melalui publikasi tulisannya.
Sebaliknya, untuk mengambil ekstrimnya, Guru Jabajatu adalah yang paling tidak eksis. Lambat laun ia akan “habis” dilindas oleh tuntutan perkembangan pesat ilmu-pengetahuan dan kebutuhan proses belajar-mengajar modern. Sangat mungkin terjadi bahwa untuk bidang tertentu kemampuan akademik murid akan menyamai, atau bahkan melampaui, kemampuan akademik Guru Jabajatu. Misalnya, kemampuan Bahasa Inggris seorang murid peserta kursus luar-sekolah bisa menyamai atau bahkan melampaui kemampuan seorang guru Jabajatu Bahasa Inggris.
Semua Guru Bisa Menulis
Semua lulusan pendidikan tinggi pernah menulis sekurangnya satu karya. Semua guru sekolah adalah lulusan pendidikan tinggi. Maka semua guru sudah pernah menulis sekurangnya satu karya ilmiah. Berarti, semua guru sebenarnya berpotensi menulis.
Lantas bagaimana caranya agar potensi itu menjadi efektif? Baiklah kita camkan nasihat mendiang Romo YB Mangunwijaya, rohaniawan penulis novel best sellerBurung-burung Manyar. Seorang teman yang sempat ngenger padanya pernah bertanya, “Apa rahasianya Romo begitu produktif menulis?” Jawabnya, “Banyak membaca. Otak kita, seperti bendungan, harus dipenuhi dulu dengan pengetahuan.Setelah penuh, maka seperti air melimpah dari bendungan, ide-ide dari kepala akan mengalir dengan sendirinya dalam bentuk tulisan.” Sederhana, bukan?
Masalahnya, mungkin, guru sering dihadapkan pada dua kendala perintang niat menulis. Pertama, belum-belum sudah mentok pada pertanyaan “Saya mau menulis tentang apa?” Sebenarnya tidak perlu terlalu bingung. Tinggal mengaitkan, misalnya, konsep-konsep ilmu yang dikuasai dengan gejala mutakhir. Contohnya,guru Biologi menulis virus Ebola dan cara menghindarinya. Guru Fisika menulis radiasi telepon genggam dan cara menghindarinya. Guru Bahasa Indonesiamengeritik kebiasaan berbahasa seorang menteri.
Kedua, sudah dapat ide tapi lalu mentok pada pertanyaan “Bagaimana cara menuliskannya?” Lha, dulu bagaimana cara menulis tugas akhir kuliah. Tapi ini memang kendala umum. Kata guru saya dulu, untuk mengatasinya, tuliskan saja dulu seperti layaknya bicara lisan. Setelah itu sunting lagi, karena hasilnya pasti rada aneh. Lama kelamaan, dari proses tulis dan sunting berulang-ulang, tulisan akan semakin baik sampai akhirnya bisa bersorak, “Ini gaya tulisku!”
Lalu Publikasi Dimana?
Tulisan sudah selesai, muncul pertanyaan baru, “Dipublikasikan dimana?” Tentu tak bisa berharap terbit langsung di koran, majalah, dan jurnal kelas nasional. Butuh kerja keras dan waktu panjang untuk sampai ke sana. Lantas bagaimana menyiasatinya?
“Gampang sekali itu.” (Jokowi, 1984). Internet solusinya. Setiap guru bisa membuat akun blog pribadi. Terbitkan di situ semua tulisan. Lalu bilang pada murid, misalnya, “Untuk bahan ulangan minggu depan, baca bahannya di akun blog milik Bapak/Ibu , ya?” Misalkan guru mengajar di tiga kelas, dan per kelas 30 orang murid, maka ia sudah menangkap pembaca setia sebanyak 90 orang, bukan? Biarkan murid berkomentar bebas terhadap tulisan, sebagai bahan refleksi untuk perbaikan.Semakin sering guru mewajibkan murid membaca bahan di blog, semakin baik, karena akan semakin banyak “jam internet” murid dialokasikan untuk “internet positif”.
Untuk menjaring pembaca yang lebih luas, sangat disarankan guru membuat pula akun blog gotong-royong , misalnya Kompasiana. Dengan menulis di Kompasiana, berarti guru turut mencerahkan masyarakat. Tambahan, jika tulisannya tertayang diHeadline, guru bisa bilang pada muridnya, “Baca tulisan Bapak di HeadlineKompasiana, sekarang juga!” Murid pasti akan kagum pada gurunya, lalu terinspirasi juga menulis.
Selanjutnya, tanpa kenal jemu, coba pilih tulisan-tulisan “terbaik” dari arsip blog.Tulis ulanglah, sekalian perkaya data, pertajam analisisnya, dan perbaiki struktur, gaya, serta pilihan katanya. Kemudian kirimkan ke koran, majalah, atau jurnal. Tentu tulisan harus disesuaikan dengan kriteria media yang dituju. Syukur-syukur, setelah mengalami penolakan sembilan belas kali, tulisan keduapuluh sukses diterbitkan.Setelah itu, yakinlah, menulis akan menjadi “kebutuhan dasar”.
Fasilitasi dari Swasta
Intensi dorongan guru menulis bukan untuk membentuk guru jadi penulis. Tapi lebih pada upaya membentuk perimbangan baca-tulis dalam intensitas tinggi. Dengan begitu, proses peningkatan kompetensi ajar guru secara mandiri menjadi paripurna.
Pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan Dasar dan Menengah, sebenarnya wajib memfasilitasi guru untuk pengembangan diri di bidang tulis-menulis. Tetapi, mungkin terlalu banyak urusan lain yang lebih mendesak dalam kondisi pundi-pundi negara yang bikin “sesak di dada”. Karena itu, berharap fasilitasi dari pemerintah mungkin ibarat berharap sisik belut saja.
Saatnya, saya pikir, untuk berharap pada pihak swasta. Tentu dalam kerangkagotongroyong dengan pemerintah untuk membangun pendidikan, antara lainpengembangan kompetensi guru, khususnya dibidang tulis-menulis.
Dari banyak pihak swasta, maka dua institusi ini pantas dijadikan tumpuan harapan, yaitu Tanoto Foundation  dan Kompasiana. Tanoto Foundation punya komitmen memajukan pendidikan melalui Program Pelita Pendidikan di Riau, Jambi, dan Sumatera Utara. Antara lain terdapat komponen peningkatan kapasitas dan kompetensi guru melalui pembangunan perpustakaan dan pelatihan guru mandiri.Sedangkan Kompasiana dikenal sebagai blog gotongroyong yang sudah memfasiliatasi banyak guru untuk berani menulis dan mempublikasinya ke khalayak.
Tanoto Foundation dan Kompasiana dapat mengembangkan kerjasama untuk fasilitasi guru menulis. Sekurangnya ada dua langkah fasilitasi yang bisa dilakukan.
Pertama, kerjasama workshop guru menulis. Saya kira, banyak Kompasioner berkualifikasi penulis “hebat” yang bersedia menjadi voluntir sebagai fasilitator.Tanoto Foundation dan Kompasiana cukup menyiapkan makanan, minuman, ongkos transport, dan tempat tidur saja. Workshop menulis bisa dimulai dengan guru binaan Tanoto Foundation.
Kedua, kerjasama membuat jurnal ilmiah online terakreditasi yang khusus memuat tulisan-tulisan ilmiah para guru se-Indonesia. Namanya, misalnya, “Jurnal Guru Mengajar Indonesia”, wow, keren, bukan? Pasti banyak pula Kompasioner yang berkualifikasi dan berkompetensi tinggi bersedia menjadi editornya. Alangkah beruntungnya kita, andai jurnal online itu menjadi kenyataan. semua. Guru semakin produktif menulis. Kita, khususnya para pelajar, beroleh semakin banyak pencerahan dari mereka.
Tapi, ada atau tidak fasilitasi semacam itu, kepada para guruku tetap kusampaikan dorongan, “Menjadilah Guru Sebasetu!”. Ingatlah selalu ajakan Pak Jokowi, “Kerja kerja kerja!” Dimaknai khusus untuk para guruku, “Tulis, tulis, dan tulislah!”
Sumber: http://edukasi.kompasiana.com/2014/11/19/kepada-guruku-tulis-tulis-dan-tulislah-692234.html

Guru Menulis Siswa Penulis




Guru mengajar, bukanlah berita. Guru menulis, itu baru berita! Guru rajin mengajar dan terus mengajar tidaklah aneh. Guru yang membaca dan terus membaca, apalagi berganti dari satu buku ke buku lainnya, ini yang agak aneh. Sebab, banyak guru hanya membaca satu-dua buku. Itu pun buku-buku yang menjadi bahan ajarnya. Jarang ia membaca buku selain buku yang menjadi bahan ajarnya.[block:views=similarterms-block_1]
Betulkah guru malas membaca? Jika dijawab betul dan menganggap semuanya malas membaca pastilah keliru. Tak bisa semuanya disamakan seperti itu. Ada guru yang betul-betul gemar membaca. Dia membaca semua buku, tak hanya yang menjadi bahan ajarnya. Malah rutin membaca koran, sesekali membeli majalah. Buku yang dibacanya pun tak hanya buku baru yang relatif mahal harganya, tapi juga membaca buku second yang dibelinya di pasar buku murah. Namun, jarang memang guru yang seperti ini. Jarang sekali.
Guru pesuka buku, terlebih lagi kutu buku, atau pelahap buku, jumlahnya sedikit. Berapa pastinya sulit diketahui karena subjektif. Kelompok pesuka buku ini secara ekonomi mau menyisihkan uang gajinya untuk memuaskan dahaga akalnya. Gajinya tak berbeda dengan guru-guru lainnya yang malas membaca. Bedanya, dia rela memotong gajinya untuk makanan ruhaninya. Selain itu, dia juga berupaya mendapatkan uang halal dari sumber-sumber lain, tak hanya mengandalkan gajinya. Bisa lewat warung kelontong, membuat wartel, atau berkirim artikel ke media massa. Guru yang demikian pantaslah menjadi motor masyarakat-baca, minimal di hadapan murid-muridnya.
Guru menulis?
Jika membaca saja malas, mungkinkah seorang guru mampu menulis? Mampukah menghasilkan tulisan, minimal artikel yang terkait dengan bidang ilmunya? Yang lebih tinggi lagi, menghasilkan buku yang bisa menambah wawasan-baca publiknya, khususnya murid-muridnya. Mari diam-diam dideteksi apakah guru kita mampu menulis artikel di koran, majalah, tabloid kelas rendah, kelas sedang sampai kelas atas. Setiap sekolah bisa memantau apakah ada gurunya yang menulis artikel di media massa. Adakah yang sudah menulis buku umum atau buku pelajaran di vak yang ditekuninya bertahun-tahun? Berapa orang yang demikian?
Guru yang menulis itu perlu dihargai lewat hadiah, apapun ujudnya, yang penting bernilai tinggi secara intelektual dan finansial. Pemerintah, baik pemerintah daerah (Dinas Pendidikan) maupun pemerintah pusat hendaklah menganugerahkan nilai tinggi untuk setiap artikel yang ditulisnya. Apalagi kalau ditulis di koran beroplah banyak dan berkualitas tinggi. Masyarakat sudah tahu mana saja koran yang sangat selektif dalam menerbitkan artikel. Menghargai karya ilmiah atau ilmiah populer dengan nilai tinggi berarti meninggikan posisi menulis di atas membaca yang lantas diharapkan mampu membiasakan guru bersaing antarguru lewat menulis. Juga mampu mengangkat namanya di antara koleganya sekaligus mengantarkan nama sekolahnya ke seluruh penjuru daerah.
Begitu pun yang layak menjadi kepala sekolah, apalagi memegang jabatan di Dinas Pendidikan, haruslah yang prestatif dalam dunia tulis-menulis. Pertimbangkanlah kuantitasnya dan bagaimana kualitas karya tulisnya. Lebih bagus lagi kalau mampu menghasilkan buku yang diakui Ditjen Dikdasmen, mengusung Kurikulum Berbasis Kompetensi. Bukan sekadar menulis LKS yang jika ditilik hanya berkutat dan berputar-putar dari itu ke itu saja. Murid menjadi malas menjelajahi dunia ilmu, tak bereksplorasi dan terus bergelut dengan hafalan di LKS. Nilai raportnya identik dengan LKS. Bahkan murid hanya menghafal jawabnya saja, tanpa perlu membaca soalnya. Hafal di luar kepala! Ini betul-betul terjadi, bukan isapan jempol. Inilah salah satu fenomena remaja kita akibat dunia sekolah yang tak bergairah, tak kompetitif dalam keilmuan.
Muridnya penulis
Lain ladang lain belalangnya, lain lubuk lain ikannya. Begitu pun, lain guru lain muridnya. Ketika guru malas membaca, tak mampu menulis, muridnya justru ada yang rajin menulis. Tidakkah ini luar biasa? Sering saya lihat murid-murid menulis di koran dan majalah. Tulisannya profesional, enak dibaca, mengalir lancar. Isinya tak kalah hebat, begitu mendalam, sampai masuk ke wilayah transenden sehingga menjadi cermin diri bagi pembacanya, menyulut semangat hidupnya. Bertanya-tanyalah saya, bagaimana gurunya, menuliskah mereka?
Saya juga kagum menyaksikan anak-anak SD yang mampu menulis novel. Bukan satu novel yang ditulisnya, melainkan sudah nyaris sama dengan jumlah jari tangannya. Sebaliknya gurunya tak menulis satu pun artikel pendek di koran, apatah lagi buku ratusan halaman. Tidakkah ini menggembirakan? Atau menyedihkan jika dilihat dari sudut pandang gurunya? Bayangkan, seorang guru yang ingin naik pangkat dan harus menulis karya ilmiah tapi karya tulisnya itu dibuat oleh orang lain. Bayarannya bervariasi, bergantung pada negosiasi. Juga terjadi, seorang guru (juga dosen) membayar sejumlah uang agar karya tulisnya dimuat di jurnal (jurnal-jurnalan). Yang juga nakal, ada guru (juga dosen) yang membayarkan sejumlah uang agar tulisannya dimuat di media massa.
Kembali ke soal murid menulis. Perlu terus dipanas-panasi agar murid mau terus menulis. Apabila sekarang sudah mampu menulis bagus, sekian tahun kemudian, jika mereka menjadi guru niscaya pengalamannya akan dibagikan kepada murid-muridnya. Merekalah yang lebih cocok menjadi pengganti guru-guru yang tak jua mampu menulis. Itu sebabnya, dalam rekrutmen guru selayaknya kemampuan menulis menjadi materi ujian utama. Prestasi adalah tolokukurnya. Ini penting agar guru jangan hanya tenggelam dalam rutinitas: datang, absen, mengajar, istirahat, mengajar lagi, lalu ngobrol dan pulang. Yang begini tak bakal mampu mentradisikan budaya baca-tulis di sekolah, apalagi di masyarakat. Lebih parah lagi adalah oknum guru dan kepala sekolah, termasuk pejabat di Dinas Pendidikan yang hanya melihat uang. Buku adalah uang. Buku adalah tender projek sehingga kasak-kusuk dengan penerbit pun sudah mendarah daging.
Kalau mengajar adalah tugas mulia, maka menulis pasti jauh lebih mulia. Menulis adalah menyebarkan ilmu. Lewat tulisan, guru mengajar orang yang membaca tulisannya dan abadi sepanjang masa selama tulisan itu tak dimusnahkan. Ia pun tak hanya mengajar murid di kelasnya, tapi juga semua pembacanya. Tulisan, baik artikel maupun buku, adalah warisan guru yang paling berharga. Berlombalah dalam menulis, wahai guru... agar kecakapan dan keilmuan yang dimiliki dapat digugu dan ditiru para murid sehingga mereka ikut-ikutan rajin membaca dan mencoba menulis. Sekali lagi, menulis dan menulislah! *
Bahan dari:
Sumber : milis PasarBuku (pasarbuku@yahoogroups.com)
Penulis : Gede H. Cahyana


Perjalanan Hidupku


PERJALANAN HIDUPKU








Guru SMA Negeri Brebes Selatan



1.

NIM
:
Nama
:
NIP
:
19610205 198703 1 008
NUPTK
:
15377396402200012
TTL
:
Pekalongan, 5 Februari 1961
Status
:
Guru Biologi/Seni SMAN 1 Bumiayu
Alamat
:
Perum Talok Asri Dukuhturi
Bumiayu Brebes 52273
Asal PT
:
Universitas Negeri Semarang  
Telpon
:
085 747 994 322

Judul Tesis
:

2.

NIM
:
Nama
:
Hj. Lilis Susilowati, S. Pd
NIP
:
19681005 199702 2 003 
NUPTK
:
2337746648300023
TTL
:
Brebes, 5 Oktober 1968
Status
:
Guru Matematika SMAN 1 Bantarkawung
Alamat
:
Muncang-Jatisawit Rt 06/VIII
Bumiayu Brebes 52273
Asal PT
:
  
Telpon
:
085 842 703 929

Judul Tesis
:

3.

NIM
:
Nama
:
Drs. Priyo Suponco
NIP
:
19651216 199512 1 002
NUPTK
:
9548743646200003
TTL
:
Brebes, 16 Desember 1965
Status
:
Guru Matematika SMAN 1 Paguyangan
Alamat
:
Perum Palem Indah Pagojengan
Paguyangan Brebes 52276
Asal PT
:
Universitas Pancasakti tegal  
Telpon
:
085 548 805 155

Judul Tesis
:

4.

NIM
:
Nama
:
TASIROH, S. Pd
NIP
:
19740616 200312 2 004 
NUPTK
:
1948752652300002
TTL
:
Brebes, 16 Juni 1974
Status
:
Guru Fisika SMAN 1 Bantarkawung
Alamat
:

Bantarkawung Brebes 52274
Asal PT
:
Universitas Negeri Semarang  
Telpon
:
085 291 021 870

Judul Tesis
:

5.

NIM
:
Nama
:
H. Imam Taufik, S. Pd 
NIP
:
19711013 200801 1 005 
NUPTK
:
5345749651200003
TTL
:
Brebes, 13 Oktober 1971
Status
:
Guru Kimia SMAN 1 Salem
Alamat
:
Jl. Raya Kaliwadas-Bantarkawung
Bumiayu Brebes 52273
Asal PT
:
Universitas Negeri Semarang  
Telpon
:
085 869 799 533

Judul Tesis
:

6.

NIM
:
Nama
:
Murni Sukapti, S. Pd
NIP
:
19670331 199003 2 003
NUPTK
:
6663745647300002
TTL
:
Ponorogo, 31 Juli 1967
Status
:
Guru Matematika SMAN 1 Paguyangan
Alamat
:
Perum Palem Indah Blok C.1 Rt 03/VII
Pagojengan Paguyangan Brebes 52276
Asal PT
:
Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS)
Telpon
:
085 329 649 654

Judul Tesis
:

7.

NIM
:
Nama
:
Drs. TARUN
NIP
:
19660204 199512 1 003 
NUPTK
:
6536744648200002
TTL
:
Brebes, 4 Februari 1966
Status
:
Guru Bahasa Indonesia SMAN 1 Bumiayu
Alamat
:
Jl. Raya Paguyangan-Bumiayu
Paguyangan Brebes 52276
Asal PT
:
Universitas Negeri Semarang  
Telpon
:
081 575 843 240

Judul Tesis
:

8.

NIM
:
Nama
:
Siti Nurrohmah, S. Pd
NIP
:
19690905 200604 2 014 
NUPTK
:
3237747650300023
TTL
:
Brebes, 5 September 1969
Status
:
Guru Sejarah SMAN 1 Paguyangan
Alamat
:
Jl. Raya Laren-Bantarkawung Rt 04/IV
Bumiayu Brebes 52273
Asal PT
:
Universitas Negeri Semarang (Unnes) 
Telpon
:
081 313 816 154

Judul Tesis
:

9.

NIM
:
Nama
:
Solehudin, S. Pd
NIP
:
19690112 200012 1 003
NUPTK
:
5444747650200012
TTL
:
Brebes, 12 Januari 1969
Status
:
Guru Penjaskes/OR SMAN 1 Bantarkawung
Alamat
:

Bumiayu Brebes 52273
Asal PT
:
Universitas   
Telpon
:
082 221 329 986

Judul Tesis
:

10.

NIM
:
Nama
:
RIKHANAH, S.Pd
NIP
:
NUPTK
:

TTL
:
Brebes, 13 Juni 1988
Status
:
Guru BK SMAN 1 Sirampog
Alamat
:
Jl. Raya Tonjong-Brebes
Tonjong Brebes 52271
Asal PT
:
Universitas Negeri Semarang   
Telpon
:
085 727 149 613

Judul Tesis
:

11.

NIM
:
Nama
:
H. SAECHURI, S.Pd
NIP
:
19700327 199702 1 002 
NUPTK
:
5659748650200002
TTL
:
Brebes, 27 Maret 1970
Status
:
Guru Matematika SMAN 1 Paguyangan
Alamat
:
Jl. Raya Paguyangan-Bumiayu Rt 09/II
Paguyangan Brebes 52276
Asal PT
:
Universitas Negeri Semarang   
Telpon
:
081 327 063 453

Judul Tesis
: