Warning


SELAMAT DATANG CALON SANTRI BARU ANGKATAN KEDUA
PESANTREN MBS CILACAP

Minggu, 08 Februari 2015

Kilas Sejarah Syeikh Jumadil Kubro

Kilas Sejarah Syeikh Jumadil Kubro

Spirit Islam bisa dipelajari salah satunya dari keteladanan perjuangan Syeikh Jumadil Kubro yang sarat ketulusan dalam berdakwah. Selain kita bisa melestarikan ajarannya, dan kemudian mengemasnya sesuai dengan konteks kekinian dan kedisinian. Tidak berlebihan, bila keberadaannya menjadi referensi sejarah, keilmuan, dan nilai moral yang begitu penting bagi pembinaan dan pendidikangenerasi dari zaman ke zaman.

Maqam Syeikh Jumadil Kubro


Syeikh Jumadil Kubro adalah salah seorang ulama besar yang merupakan cikal bakal dalam penyebaran Islam di Pulau Jawa, bahkan dapat dikatakan bahwa ia merupakan tokoh kunci proses Islamisasi tanah Jawa yang hidup sebelum walisongo. Seorang penyebar Islam pertama yang mampu menembus dinding kebesaran Kerajaan Majapahit. Syeikh Jumadil Kubro bernama lengkap Syeikh Jamaluddin al-Husain al-Akbar
Syeikh Jumadil Kubro berasal dari Samarkand, Uzbekistan, Asia Tengah. Beliau adalah cucu ke-18 Rasulullah Muhammad SAW dari garis Sayyidah Fatimah Az Zahrah al-Battul. Ayahnya bernama Syeikh Jalal yang karena kemuliaan akhlaknya mampu meredam pertikaian Raja Campa dengan rakyatnya. Sehingga, Syeikh Jalal diangkat sebagai raja dan penguasa yang memimpin Negara Campa. 
Pada awalnya, Syekh Jumadil Qubro dan kedua anaknya, Maulana Ibrahim as-Samarqandi/Ibrahim Akbar dan Maulana Ishaq/Ali Nur Alam Akbar, datang ke pulau Jawa. Setelah itu, mereka berpisah yaitu Syekh Jumadil Qubro tetap berada di pulau Jawa, sedang Maulana Ibrahim as-Samarqandi (Ayah Sunan Ampel) ke Champa, di sebelah selatan Vietnam, yang kemudian mengislamkan Kerajaan Campa. Sementara adiknya, yaitu Maulana Ishaq (Datuk Sunan Gunung Djati) pergi ke Aceh dan mengislamkan Samudra Pasai. Dengan demikian, silsilah dari beberapa Walisongo yaitu Sunan Ampel (Raden Rahmat), Sunan Giri (Raden Paku) adalah cucunya, sedangkan Sunan Bonang, Sunan Drajad dan Sunan Kudus adalah cicitnya. Hal itulah yang menyebabkan adanya pendapat yang mengatakan bahwa para Walisongo merupakan keturunan etnis Uzbek yang dominan di Asia Tengah, selain itu juga ada kemungkinan lainnya yaitu etnis Persia, Gujarat, ataupun Hadramaut.
Syeikh Jamaluddin tumbuh dan berkembang di bawah asuhan ayahnya sendiri. Setelah dewasa, beliau mengembara ke negeri neneknya di Hadramaut. Di sana beliau belajar dan mendalami beragam ilmu dari beberapa ulama yang terkenal di zamannya. Bahkan keilmuan yang beliau pelajari meliputi Ilmu Syari’ah dan Tasawwuf, di samping ilmu-ilmu yang lain.
Selanjutnya, beliau melanjutkan pengembaraannya dalam rangka mencari ilmu dan terus beribadah ke Mekkah dan Madinah. Tujuannya adalah mendalami beragam keilmuan, terutama ilmu Islam yang sangat variatif. Setelah sekian lama belajar dari berbagai ulama terkemuka, kemudian beliau pergi menuju Gujarat untuk berdakwah dengan jalur perdagangan. Melalui jaringan perdagangan itulah beliau bergumul dengan ulama lainnya yang juga menyebarkan Islam di Jawa.
Kemudian beliau dakwah bersama para ulama’ termasuk para putra-putri dan santrinya menuju tanah Jawa. Mereka menggunakan tiga kendaraan laut, sekaligus terbagi dalam tiga kelompok dakwah. 
Kelompok pertama dipimpin Syeikh Jumadil Kubro memasuki tanah Jawa melalui Semarang dan singgah beberapa waktu di Demak. Selanjutnya perjalanan menuju Majapahit dan berdiam di sebuah desa kecil bernama Trowulan yang berada di dekat kerajaan Majapahit. Kemudian jamaah tersebut membangun sejumlah padepokan untuk mendidik dan mengajarkan beragam ilmu kepada siapa saja yang  hendak mendalami ilmu keislaman.
Kelompok kedua, terdapat cucunya yang bernama al-Imam Ja’far Ibrahim Ibn Barkat Zainal Abidin dibantu saudaranya yakni Malik Ibrahim menuju kota Gresik
Kelompok ketiga adalah jamaah yang dipimpin putranya yakni al-Imam al-Qutb Sayyid Ibrahim Asmoro Qondy menuju Tuban. Namanya masyhur dengan sebutan “Pandhito Ratu” karena beliau memperoleh Ilmu Kasyf (transparansi dan keserba jelasan ilmu/ilmu yang sulit dipahami orang awam, beliau diberi kelebihan memahaminya).
Perjalanan dakwah Syeikh Jumadil Kubro berakhir di Trowulan, Mojokerto. Beliau wafat tahun 1376 M, 15 Muharram 797 H. diperkirakan hidup di antara dua Raja Majapahit (awal Raja Tribhuwana Wijaya Tunggadewi dan pertengahan Prabu Hayam Wuruk). Bermula dari usul yang diajukan Syeikh Jumadil Kubro kepada penguasa Islam di Turki (Sultan Muhammad I) untuk menyebarkan Agama Islam si wilayah Kerajaan Majapahit. Pada saat itu wilayah Majapahit sangat kuat pengaruh Agama Hindu di samping keyakinan masyarakat pada arwah leluhur dan benda-benda suci. Keberadaannya di tanah Majapahit hingga ajal menjelang menunjukkan perjuangan Sayyid Jumadil Kubro untuk menegakkan Agama Islam melawan penguasa Majapahit sangatlah besar.
Karena pengaruh beliau dalam memberikan pencerahan bekehidupan yang berperadaban, Syeikh Jumadil Kubro dikenal dekat dengan pejabat Kerajaan Majapahit. Cara dakwah yang pelan tapi pasti, menjadikan beliau amat disegani. Tak heran, bila pemakaman beliau berada di antara beberapa pejabat kerajaan di antaranya adalah makam Tumenggung Satim Singgo Moyo, Kenconowungu, Anjasmoro, Sunan Ngudung (ayah Sunan Kudus), dan beberapa patih dan senopati yang dimakamkan bersamanya.
Komplek Pemakaman Trowulan
Trowulan adalah kawasan bekas ibukota Kerajaan Mojopahit terletak di pinggir jalur utama Surabaya-Jawa Tengah lewat selatan, tepatnya terletak di antara Mojokerto-Jombang. Dari Mojokero menuju Trowulan hanya berjarak 12 kilometer, dari Jombang jaraknya sekitar 20 kilometer, sedang dari Surabaya sekitar 65 kilometer. Di Trowulan inilah dulu menjadi tempat tinggal Raja Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajahmada yang terkenal dalam memimpin dan memerintah Mojopahit yang jaya. Dan di tempat inilah juga dulu Patih Gajahmada bersumpah Amukti Palapa, sumpah legendaris yang mengantarkan Mojopahit menjadi penguasa wilayah nusantara sampai ke Madagaskar.
Bekas ibukota Mojopahit tersebut, masih dapat kita saksikan sisa-sisanya yang berupa situs-situs purbakala yang tersebar di kawasan Trowulan dan sekitarnya. Baik berupa bangunan candi, gapura, makam, prasasti, area, maupun benda-benda artefak lainnya, serta yang in-situ (di lokasi asal) maupun yang telah dipindahkan ke Museum Trowulan (exsitu) untuk berbagai alasan. Termasuk kompleks makam Syekh Sayid Jumadil Kubro yang terdapat dalam Kompleks Makam Troloyo di Dusun Sidodadi, Desa Sentonorejo, Trowulan, Mojokerto. Lokasi kompleks makam ini berdekatan dengan Pendopo Agung Majapahit dan Pusat Informasi Majapahit yang pembangunannya menuai kontroversi. Hal itu karena proses pembangunannya diindikasikan merusak situs-situs peninggalan Majapahit yang diyakini hingga kini masih terkubur di dalam tanah kawasan Trowulan. Sekali dayung, maka semua tujuan napak tilas sejarah Majapahit dapat terlampaui.
Masyarakat menyakini kompleks makam itu sebagai makam Syekh Jumadil Kubro, Syekh Abdul Qodir Jailani Sini, Syekh Maulana Sekah, dan Syekh Maulana Ibrahim. Selain itu, juga makam Walisongo, makam Sunan Ngudung, makam Putri Kencono Wungu, dan Anjasmoro. Selain itu, penjiarah juga bisa ke makam tujuh yang berisi tujuh buah makam. Para peziarah itu datang dari penjuru kota, baik dari dalam dari luar Mojokerto, serta ada pula yang datang dari luar Jawa. Peziarah datang ke makam teresbut dengan berbagai tujuan. Ada yang datang, hanya ingin tahu keberadaan Makam Troloyo, ada pula yang datang untuk memberikan doa kepada leluhur Walisongo dengan membacakan ayat-ayat suci Al Quran. Tetapi ada juga pezirah yang datang untuk mendapat ilmu relijius dari para leluhur yang berada di makam itu. Menurut Ahmad AHun petugas penjaga makam, yang telah bertugas sejak 2007 mengatakan biasanya penziarah yang datang dan ramai itu bila bertepatan dengan malam Jumat legi. “Pada saat Jumat Legi, pengunjung yang dating bisa mencapai 4.000 hingga 5000 orang lebih, baik perorangan maupun rombongan,” terangnya.
Otomatis fasilitas parkir kendaraan, baik kendaraan bis, mobil pribadi ataupun sepeda motor sangat padat, sehingga para penziarah harus berjalan dengan jarak yang lumayan jauh. Jadi jika anda ingin berkunjung dengan suasana nyaman ya … hindari aja hari tersebut. Untuk bisa masuk, para penziarah terlebih dulu harus membeli tiket masuk atau peron dengan harganyapun sangat murah dan bisa terjangkau oleh semua kalangan. Yaitu antara penziarah  perorangan dan rombongan harga tiketnya dipatok sama Rp 500,-. 
Untuk menjaga  komplek makam, penjaga komplek makam terbagi dalam 2 shift, setiap shift ada 2 orang penjaga. Jadi total penjaganya ada 6 orang. Kami bertugas dari jam 07.00-19.00 wib, Haul Syech Jumadil Kubro adalah peringatan wafatnya Syech Jumadil Kubro yang dilaksanakan setiap tahun Puncak kunjungan wisatawan terjadi pada saat malam Jumat Legi dan setiap malam tanggal15 Suro (Muharram). Dalam Haul Syech Jumadil Kubro, digelar serangkaian kegiatan keagamaan seperti Khotmil Quran, Istighotsah, Pembacaan Tahlil serta pagelaran Seni Hadrah yang diikuti oleh peziarah dari seluruh penjuru Jawa Timur.
Menjelajahi Komplek Makam Kompleks makam Troloyo ada dua kelompok makam. Di bagian depan (tenggara) dan di bagian belakang (barat laut). Makam di bagian depan di antaranya: Kelompok makam petilasan Wali Songo. Kemudian di sebelah barat daya dikenali dengan sebutan Syech Maulana Ibrahim, Syech Maulana Sekah dan Syech Abd, Kadir Jailani. Ada pula Syech Jumadil Kubro. Sedang di utara Masjid terdapat makam Syech Ngudung atau Sunan Ngudung. Kompleks makam di bagian belakang meliputi: Bangunan  cungkup dengan dua makam yaitu Raden Ayu Anjasmara/Kencanawungu, kemudian terdapat pula kelompok makam yang disebut Makam Tujuh atau Kubur Pitu yang dikenal sebagai Pangeran Noto Suryo, Patih Noto Kusumo, Gajah Permodo, Naya Genggong, Sabdo Palon, Emban Kinasih dan Polo Putro.
Di bagian belakang kompleks makam Tralaya masih terdapat kompleks makam Islam lainnya yang terkenal dengan sebutan Kubur Pitu dan secara berturut-turut berikut ini adalah nama-nama mereka yang dimakamkan di sana:
Makam yang dikenal dengan nama Pangeran Noto Sunjo,
Makam yang dikenal dengan nama Patih Noto Kusumo,
Makam yang dikenal dengan sebutan Gajah Permodo
Makam yang dikenal dengan sebutan Naya Genggong,
Makam yang dikenal sebagai Sabdo Palon,
Makam yang dikenal dengan sebutan Emban Kinasih,
Makam yang dikenal dengan sebutan Polo Putro, nisannya polos tanpa hiasan.
Ketujuh orang tersebut merupakan para pejabat di istana kerajaan Majapahit yang menjabat sebagai Patih, Senopati dan Abdi Dalam. Sebagian dari nisan-nisan pada Kubur Pitu tersebut berbentuk Lengkung Kurawal yang tidak asing lagi bagi kesenian Hindu. Melihat kombinasi bentuk dan pahatan yang terdapat pada batu-batu nisan yang merupakan paduan antara unsur-unsur lama dan unsur-unsur pendatang (Islam), nampaknya adanya akultrasi kebudayaan antara Hindu dan Islam.
Sementara itu, bila diperhatikan masih adanya kekurangcermatan dalam penulisan kalimah-kalimah thoyyibah, hal tersebut dapat diduga bahwa para pemahat batu nisan adalah masih pemula dalam mengenal Islam. Demikianlah dapat kita saksikan betapa toleransinya Majapahit terhadap agama Islam, terbukti dari banyaknya makam Islam di desa Tralaya, yang masih termasuk dalam ibu kota kerajaan. Angka tertua yang ada di batu nisan pitu adalah tahun 1369 (saat masa di bawah pemerintahan Raja Hayam Wuruk).
Yang menarik pada kuburan pitu adalah berada pada batu nisannya. Walau kuburan Islam, tetapi bentuk batu nisannya masih seperti kurawal yang mengingatkan kala-makara, dengan tulisan berangka tahun huruf Kawi, yang berarti bahwa di abad XIV Islam adalah agama baru bagi Kerajaan Majapahit. Tetapi sebagai unsur kebudayaan, telah diterima oleh masyarakat. Dapat diketahui, bahwa para pendatang dari barat maupun orang-orang Tionghoa ternyata sebagian besar mereka beragama Islam, dan terus berkembang hingga mencapai puncaknya pada abad XVI saat kerajaan Demak.
Sumber:
Mantan Mufti Johor Sayyid `Alwî b. Tâhir b. `Abdallâh al-Haddâd (meninggal tahun 1962) juga meninggalkan tulisan yang berjudul Sejarah perkembangan Islam di Timur Jauh (Jakarta: Al-Maktab ad-Daimi, 1957). Ia menukil keterangan di antaranya dari Haji `Ali bin Khairuddin, dalam karyanyaKetrangan kedatangan bungsu (sic!) Arab ke tanah Jawi sangking Hadramaut.
Al-Jawahir al-Saniyyah oleh Sayyid Ali bin Abu Bakar Sakran
'Umdat al-Talib oleh al-Dawudi
Syams al-Zahirah oleh Sayyid Abdul Rahman Al-Masyhur 
Menyingkap Misteri Pulau Besar oleh Ana Faqir
Tim Pustaka Jawatimuran dari koleksi Deposit, Prasetya,  Volume III, No. 32, Agustus 2011, hlm. 30. adan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur
12 October 2010)
9 Januari 2011)

Syeh Maulana Maghribi: Antara Sentana Mantingan-Parangtritis dan Danaraja-Margasari-Tegal

Mengenang Sejarah Singkat Syeh Maulana Maghribi

Syekh Atas Angin atau Syekh Muhammad


WISATA ZIARAH SYEKH ATAS ANGIN DI TEGAL

Makam Syekh Atas AnginSyekh Atas Angin atau Syekh Muhammad atau Mbah Atas Angin merupakan putra dari Syekh Maulana Maghribi. Beliau merupakan tokoh penyebar Agama Islam di sekitar wilayah Pedagangan dan Lebaksiu yang pada saat itu mayoritas masih menganut Agama Hindu – Budha.
Kenapa di sebut Syekh Atas Angin? Konon ceritanya di daerah Pedagangan dahulu dikenal dengan para pedagangnya. Namun sayangnya sifatnya sangat pelit untuk membelanjakan hartanya di jalan Allah SWT. Suatu saat, Syekh Muhammad menyerukan agama islam di desa tersebut, akan tetapi warga sekitar mengajukan syarat kepada Syekh Muhammad, apabila Syekh Muhammad bisa membuat sawah diatas udara, maka warga sekitar mau masuk agama islam. dan dengan izin Allah, Syekh Muhammad dapat memenuhi syarat tersebut, beliau dapat membuat sawah diatas udara.
Lokasi Makam Syekh Atas Angin berada di Desa Pedagangan, Kecamatan Dukuhwaru, Kabupaten Tegal. Sekitar 1,5 KM ke barat dari Pusat Kota Slawi. Lokasinya cukup mudah dijumpai, karena hanya sekitar 500 meter dari jalan utama Jalan Raya Slawi – Jatibarang.
Makam Mbah Jaksa
Makam Syekh Atas Angin berada di tengah komplek Makam Mbah Jaksa. Jadi untuk menuju pintu masuk makam, kita bisa melewati gapura Makam Mbah Jaksa dan Masjid Baiturrahman. Ketika melewati jalan setapak (sudah menggunakan paving block), kita akan menemukan Makam Mbah Jaksa, seorang tokoh masyarakat  yang dahulu merupakan seorang jaksa. Sehingga jalan menuju makam dinamakan Jalan Kejaksan.
Komplek Makam Atas Angin dibagi menjadi 4 halaman. Setiap halaman dibatasi dengan pagar batu bata yang tingginya sekitar 2 m. Berikut detail tiap halaman makam tersebut:
a.    Halaman pertama dan kedua terdapat makam yang tidak ditehui namanya karena kondisi nisan yang sudah relatif rusak.
b.    Halaman ketiga berisi beberapa makam Putri Solo dengan Pohon Nagasari. Terdapat gapura bentar.
c.    Halaman keempat merupakan komplek Makam Syeh Atas Angin dan pendampingnya serta terdapat lingga dari batu andesit. Terdapat gapura bentar.
Lingga atau Batu Kalbut
Lingga atau Batu Kalbut
Makam Syekh Atas Angin tidak diberi penutup layaknya makam yang lainnya. Hanya ada cungkup yang dibuat dari daun tebu atau welit. Untuk makamnya sendiri berada di atas kunden setinggi 1 meteran dengan menggunakan batu bata. Makam Syekh Atas Angin sendiri berada di tengah di antara pendampingnya dan diberi pembatas dengan ukiran kayu yang terlihat masih baru. Di depan makamnya sendiri terdapat lingga setinggi sekitar 0,5 meter. Warga sekitar menyebutnya dengan nama Batu Kalbut.
Makam Syekh Atas Angin ini bisa juga disebutCandi Pedagangan atau ada yang menyebutnyaCandi Bulus. Komplek ini ditemukan sekitar bulan Oktober tahun  2005 oleh warga sekitar dalam keadaan tertutup dengan tanah. Namun sebelumnya pada tahun 1960, bangunan candi tersebut masih utuh. Namun sekitar tahun 1965 candi tersebut dirusak.

Makam Syekh Atas Angin ketika ditemukan
Makam Syekh Atas Angin ketika ditemukan
Peta koordinat (6°58’18″S 109°7’17″E):
Map data ©2015 Google
 Traffic
Map
Satellite
Sumber:
http://siputrimahkota.blogspot.com/2011/06/menelusuri-jejak-waliyulloh-di-jawa.html
http://purbakalajawatengah.org
http://www.rakyatmerdeka.co.id/nusantara/2006/07/22/1532/Candi-Bulus-Ditemukan-di-Desa-Pedagangan