Warning


SELAMAT DATANG CALON SANTRI BARU ANGKATAN KEDUA
PESANTREN MBS CILACAP

Kamis, 27 November 2014

Peranan Orang Tua dalam Pendidikan Anak





  

A.    Latar Belakang Masalah

Pendidikan yang baik merupakan wahana untuk membangun sumber daya manusia (human resource). Hal ini disebabkan sumber daya manusia adalah salah satu faktor determinan bagi keberhasilan pembangunan dan kemajuan suatu bangsa. Oleh karena itu, pengembangan kualitas sumber daya manusia menempati kedudukan yang sentral dalam proses pembangunan. Pendidikan adalah proses secara sadar dalam membentuk anak didik untuk mencapai perkembangannya menuju kedewasaan jasmani maupun rohani. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yang berbunyi:
“Mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab” (UU Sisdiknas, 2003: 5-6).

Pendidikan merupakan suatu proses atau upaya untuk membina sumber daya manusia seutuhnya secara fungsional. Hal ini disebabkan dalam pendidikan sekurang-kurangnya mengandung lima unsur penting. Pertama, usaha atau kegiatan yang bersifat bimbingan atau pertolongan yang dilakukan secara sadar. Kedua,  pembimbing atau penolong (pendidik). Ketiga, ada yang dididik atau si terdidik. Keempat, bimbingan yang memiliki dasar dan tujuan. Kelima, ada alat-alat yang dipergunakan dalam menempuh suatu usaha.
Tersedianya sumber daya manusia (SDM) yang handal dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi sangat dibutuhkkan bagi sebuah bangsa. Bangsa yang tidak menguasai iptek serta tidak dibarengi dengan moral (Agama) akan tertinggal dan terlibas dalam percaturan antar bangsa yang competitive. Bangsa yang demikian tidak mustahil akan menjadi penonton dalam percaturan dan kancah persaingan global, bahkan menjadi penonton pada ajang pergulatan di berbagai sektor kehidupan di negerinya sendiri.
Sumber daya manusia yang berkualitas yang lazim bagi bangsa Indonesia dikenal dengan istilah manusia Indonesia seutuhnya, yakni manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, berkepribadian yang mantap dan mandiri, memiliki pengetahuan dan ketrampilan, sehat jasmani dan rohani, dan memiliki rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Tipologi manusia seperti itulah yang diharapkan akan terwujud melalui upaya pendidikan yang diselenggarakan di Indonesia.
Salah satu jalan untuk mencapai terbentuknya manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa adalah dengan dimulainya proses belajar-mengajar Pendidikan Agama Islam, baik secara formal maupun non formal. Menurut Amir Faisal (1995: 27), pendidikan agama ditetapkan sebagai bagian dari kurikulum yang wajib diajarkan kepada setiap jalur  dan jenjang pendidikan di Indonesia, baik negeri maupun swasta. Oleh karena itu, pelaksanaan proses belajar mengajar tentu harus di dukung oleh beberapa beberapa komponen seperti orang tua, guru, materi, murid, sarana dan prasarana serta lingkungan. Komponen-komponen tersebut sangat vital keberadaannya karena tanpa ada salah satu unsur pendukung itu, maka kegiatan belajar mengajar di sekolah tidak akan terselenggara secara optimal.
Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah (baik sekolah umum atau madrasah) merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem pendidikan nasional. Menurut Marimba (1989: 23), pendidikan agama Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum Islam dalam rangka membentuk pribadi utama yang sesuai dengan aturan Islam. Oleh karena itu, keluarga memegang peranan utama dalam proses pendidikan agama Islam. Hal ini sejalan dengan statemen Zakiyah Daradjat (1995: 45) yang menyatakan:
“Keluarga merupakan lembaga pendidikan yang penting untuk meletakkan dasar keyakinan agama bagi anak. Keluarga merupakan lingkungan pendidikan yang pertama kali diperoleh anak yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan mental anak di masa mendatang”.

Keluarga merupakan lembaga pendidikan yang sangat menentukan masa depan seorang anak. Di samping itu, anak adalah pelita hati, pancaran jiwa dan amanah dari Allah bagi setiap orang tua. Oleh karena itu, memberikan pendidikan yang terbaik untuk anak adalah kewajiban utama bagi setiap orang tua. Anak merupakan harapan dan milik yang berharga bagi orang tua, di tangan orang tualah anak-anak tumbuh menemukan jalan hidupnya. Hal ini dikarenakan anak adalah makhluk indipenden, sedangkan orang tua hanyalah perawat, pengasuh dan pendidik anak. Letak independensi anak menurut Abdul Halim (2003: 20) adalah untuk memisahkan antara individu orang tua dengan individu anak. Keberhasilan pendidikan yang dijalani seorang anak tidak terlepas dari peran orang tua. Orang tua memiliki peranan yang penting dalam menentukan dan mengarahkan sekolah yang tepat buat anaknya. Jadi bukan suatu hal yang bijak jika pendidikan sepenuhnya diserahkan hanya pada pihak sekolah saja.
Masa usia emas (golden age) bagi pada anak usia dini (early childhood) merupakan waktu paling tepat untuk memberikan bekal yang kuat kepada anak. Pada masa itu, anak melakukan proses pertumbuhan dan perkembangan. Pendidikan pada usia ini adalah peletak dasar bagi pendidikan anak selanjutnya. Oleh karena itu, maka keberhasilan pendidikan usia dini ini sangat berperan besar bagi keberhasilan anak di masa-masa selanjutnya. Dengan kata lain, masa kecil merupakan fase terpenting tentang perihal perkembangan intelektualitas maupun perkembangan emosional anak. Kematangan anak itulah yang dikatakan oleh Mansur (2006: 60) akan mengantarkan anak menjadi investasi unggul untuk melanjutkan kelestarian peradaban umat manusia.

B.     Reposisi Peran Orang Tua terhadap Pendidikan Anak

Secara fungsional, pendidikan pada dasarnya ditujukan untuk menyiapkan manusia menghadapi masa depan agar hidup lebih sejahtera, baik sebagai individu maupun secara kolektif sebagai warga masyarakat, bangsa maupun antar bangsa. Bagi pemeluk agama, masa depan mencakup kehidupan di dunia dan pandangan tentang kehidupan hari kemudian yang bahagia (Umaedi, 2004: 11). Namun saat ini dunia pendidikan kita belum sepenuhnya dapat memenuhi harapan masyarakat.
Dunia pendidikan tak luput dari paradoks, yang berarti pujian semu. Pendidikan dipuja-puji sebagai solusi terhadap masalah kemiskinan, keterbelakangan, kebodohan, diskriminasi, ketidakadilan, perkosaan terhadap martabat manusia, kesewenang-wenangan, kebohongan, dan konflik sosial. Pendidikan pun seringkali diharapkan dapat bemilai sebagai proses pembelajaran sekaligus sebagai pemberdayaan kemampuan dan kesanggupan peserta didiknya. Namun pada kenyataannya yang sampai kini terjadi adalah proses pendidikan di negeri ini seringkali justru menjadi sebuah beban bagi peserta didiknya. Se1ain melalui muatan-muatan kurikulum dan pendekatannya yang cenderung bersifat satu arah dan mengutamakan adanya pemaksaan keyakinan.
Proses pendidikan semacam itu seringkali membuat peserta didik dijadikan obyek dari sebuah proses tranfer pengetahuan dengan menghafal muatan-muatan pelajaran yang sangat padat. Pendekatan yang digunakan dalam proses pendidikan pun lebih menempatkan guru sebagai obyek dan peserta didik sebagai obyek, sehingga proses yang terjadi seringkali tidak memungkinkan adanya komunikasi dua arah yang sebenarnyaya antara guru dan peserta didiknya. Tentu ada banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan sebuah pendidikan. Salah satu kunci dalam pendidikan ialah peranan orang tua.
Kalau kita me1ihat keterlibatan orang tua sampai saat ini masih sangat kurang, terutama orang tua dari kota yang sibuk dengan aktivitas di kantor, sehingga terlihat sekali bahwa anak tersebut seolah-olah itu semua tanggung jawab guru. Padahal orang tua juga harus terlibat di dalam hal itu karena anak tersebut tidak hanya bisa dikreatifkan selama di sekolah saja. Anak tidak akan bisa kreatif jika tidak ada pantauan secara langsung dari orang tuanya.
Keterkaitan orang tua dalam hal ini sangat penting, apalagi kalau dilihat dalam proses belajar mengajar, ada pekerjaan rumah yang tidak bisa dijawab, harusnya orang tua juga kreatif mencari dari buku yang lain atau pun membimbing anak mencarikan hal-hal yang lain sehingga dia merasa bahwa orang tuanya tidak sekadar memberikan uang jajan atau menyekolahkan dia, tetapi juga ikut meningkatkan kreativitas atau meningkatkan pendidikan. Dengan kata lain, dalam penggunaan pendidikan maka semua pihak terlibat, dan oleh karenanya, baik guru, siswa, maupun orang tua mesti kreatif.
Selama ini sebagian orang berpikir bahwa pendidikan itu hanya merupakan tanggung jawab sekolah. Oleh sebab itu, ketika orang tua memasukan anaknya ke sekolah, mereka seolah-olah berpikir bahwa masalah telah selesai. Padahal mereka lupa bahwa orang tua merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keberhasilan pendidikan itu sendiri. Menurut Psikolog, Bibiana Dyah Cahyani (http://joksarsmagna.blogspot.com), justru pendidikan sebenarnya diperoleh anak melalui sosialisasi keluarga. Oleh karena itu, keluarga menyampaikan beberapa hal yang menjadi poin penting yang perlu ditekankan pada anak, di antaranya pendidikan agama, pendidikan moral, life skill, bahkan sampai pendidikan formal di rumah seperti model homeschooling.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Bab IV tentang Kewajiban dan Tangung Jawab, khususnya bagian keempat tentang kewajiban dan Tanggung Jawab Keluarga dan Orang Tua, pada pasal Pasal 26 ayat 1 (UUPA, 2006: 13) menyebutkan bahwa orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk:
1.       Mengasuh, meme1ihara, mendidik, dan melindungi anak;
2.       Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan
3.       Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.
Pernyataan di atas nampak jelas menunjukkan bahwa negara memberi peran kepada orang tua agar sungguh-sungguh dalam mmeberi perhatian kepada anak, termasuk dalam masalah pendidikan. Oleh karenanya, jika orang tua mengabaikan hal tersebut, maka mereka dapat dikenakan sanksi dan hukuman sesuai peraturan yang berlaku.
Beberapa peneliti seperti Rahabeat mencatat bahwa keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak di sekolah berpengaruh positif pada hal-hal berikut yakni;
a.       Membantu penumbuhan rasa percaya diri dari perhargaan pada diri sendiri.
b.       Meningkatkan capaian prestasi akademik
c.       Meningkatkan hubungan orang tua-anak
d.      Membantu orang tua bersikap positif terhadap sekolah
e.       Menjadikan orang tua memiliki pemahaman yang lebih baik terhadap proses pembelajaran di sekolah (http://forumpendidikan.com).

Pada sisi lain, untuk mendorong keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak, maka pihak sekolah dapat menyiapkan beberapa metoda untuk dapat me1ibatkan orang tua pada pendidikan anak, di antaranya dengan acara pertemuan guru-orang tua, komunikasi tertulis guru-orang tua, meminta orang tua memeriksa dan menandatangani Pekerjaan Rumah (PR), mendukung tumbuhnya forum orang tua murid yang aktif diikuti para orang tua. Selain itu kegiatan rumah yang melibatkan orang tua dengan anak dikombinasikan dengan kunjungan guru ke rumah, terus membuka hubungan komunikasi (telepon, sms, e-mail, portal interaktif dan lain-lain) serta dorongan agar orang tua aktif berkomunikasi dengan anak.
Keluarga merupakan fokus utama yang harus mendapat perhatian lebih. Hal ini dikarenakan anak lebih banyak berada di rumah. Pendidikan anak pada hakikatnya adalah tanggung jawab para orang tua. Uhbiyati (1997: 237) bahkan mengkonstatir bahwa keluarga merupakan wahana pertama dan utama untuk mengadakan interaksi dan pondasi pendidikan bagi anak. Oleh karena itu keterlibatan orang tua dalam mendukung sukses anak menuntut ilmu di sekolah merupakan kewajiban. Untuk menjadi pendidik yang baik, orang tua mesti menghiasi dirinya dengan keteladanan. Sebagai contoh dapat diingat semboyan Tut Wuri Handayani.
Peran penting orang tua adalah membangun dan menyempurnakan kepribadian dan moral anak. Untuk itu perlu sikap-sikap orang tua sebagai pendidik yang sabar, lembut, dan kasih sayang. Dengan berbuat demikian, diharapkan akan tampil anak-anak yang cerdas dan berkualitas baik secara jasmaniah maupun rohaniah. Oleh karena itu, keluarga berkewajiban mentransformasikan tradisi-tradisi yang baik dan nilai yang positif sehingga hal tersebut dapat menjadi pijakan awal bagi anak dalam berinteraksi dengan lingkungan masyarakat sekitarnya. Hal ini sejalan dengan ungkapan Abdullah Nashih Ulwan (1994: 1076) dalam Karyanya Tarbiyatul Aulad fil Islam yang menyatakan:
وَحَبَ عَلَى كُلِّ مَنْ يُهِيْمُّهُ أَمْرَ الْوَلَدِ فِكْرِيًّا، وَتَكْوِيْنِهِ عِلْمِيًّا وِثَقِافِيًّ أَنْ يُعَرِّفُوْا الْوَلَدَ مُنْذُ أَنْ يَبْلُغَ سِنَّ الْوَعْيِ وَالتَّمْيِيْزِ: بِاْلإِسْلاَمِ دِيْنً وَدَوْلَةً، وَبِالْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ نِظَامًا وَتَشْرِيْعًا، وَبِاتَّارِيْغِ اْلإِسْلاَمِيْ عِزَّةً وَقُوَةً، وَبِالثِّقَافَةِ اْلإِسْلاَمِيَّةِ تَنُّوْعًاوَشُمُوْلاً، وَبِاْلإِرْتِبَاطِ الْحَرَكِيِّ لِلدَّعْوَةِ اْلإِسْلاَمِيَّةِ اِنْدِفَاعًا وَحَمِسَةً  

Sebagai bukti atas rasa tanggungjawab kesadaran berpikir yang merupakan amanat bagi para ayah dan pendidik, maka adalah kewajiban atas setiap orang yang mementingkan perkembangan berpikir anak, perkembangan intelektual dan kulturalnya untuk memperkenalkan kepada mereka sejak dini hal-hal dibawah ini:
1. Islam sebagai agama dan negara
2. Al-Qur’an sebagai peraturan dan hukum
3. Sejarah Islam sebagai kebanggaan dan teladan
4. Kebudayaan Islam yang beragam dan universal
5.      Keterikatan gerakan untuk dakwah Islam dengan penuh semangat (Ulwan, 1999: 685).

Pendidikan yang diberikan untuk anak sejak lahir merupakan pondasi untuk masa depannya, Oleh karenanya orang tua bisa memperhatikan hal-hal yang berkenaan dengan perkembangan anak sehingga setiap orang tua dituntut untuk dapat bereksplorasi, kreatif dan inovatif dalam menyiapkan anak terutama dalam Pendidikan Agama Islam (PAI). Dengan kata lain, keluarga menurut Purwanto (1998: 79) adalah suatu lembaga yang memegang peranan dan tanggungjawab pertama dan utama dalam pendidikan anak. Maria Ulfah (http://www.fatayat.or.id/?q=article/11) bahkan menyatakan bahwa berkualitas atau tidaknya seseorang di masa dewasa sangat dipengaruhi oleh proses pengasuhan dan pendidikan yang diterima di masa anak-anak.
Ubes Nur Islam (2004: 31) dalam bukunya Mendidik Anak dalam Kandungan bahkan menyatakan bahwa:
“Jalinan keluarga yang harmonis akan dapat menciptakan kerukunan, ketentraman, keamanan, kenyamanan, ketenangan, dan kedamaian sehingga membentuk kerjasama yang baik dalam rangka menyukseskan program pendidik anak sejak dini. Oleh karena itu, peran aktif semua anggota keluarga merupakan faktor sangat penting untuk untuk menciptakan orientasi anak sehingga ia dapat tumbuh dan berkembang serta memiliki kemampuan bersosialisasi tinggi dan efektivitas komunikasi yang baik dan handal”.
Masa anak-anak merupakan fase penanaman dasar kepribadian dan karakter anak yang akan terbangun sepanjang usianya. Paradigma dalam mendidik anak pada hakikatnya adalah mempersiapkan generasi masa depan yang kokoh dan kuat. Itulah sebabnya pendidikan dalam keluarga disebut sebagai pendidikan yang pertama dan utama dalam meletakkan pondasi dari watak dan pendidikan anak. Sementara, perkembangan kecerdasan anak memerlukan arahan yang baik dan benar sehingga potensi dasar anak dapat digali dan dikembangkan secara maksimal. Menurut Dimas (2007: 103), pertumbuhan afeksi dan kemampuan anak beradaptasi dengan lingkungan sosial akan berjalan secara baik manakala ada kekompakan kedua orang tua dalam menentukan tujuan, manajemen pendidikan dan pertumbuhan anak-anaknya.
Untuk mencapai semua tujuan ideal tersebut supaya dapat terwujud, maka peran orang tua mesti ditampilkan secara optimal dalam mengajarkan pendidikan atau ilmu pengetahuan kepada anaknya. Orang tua mesti membangun kerjasama dengan pihak sekolah, demikian sebaliknya, sehingga dari kerjasama tersebut anak mendapat ruang yang cukup luas untuk mengembangkan dirinya. Kesimpulannya adalah bahwa pendidikan yang berhasil, bukan saja karena keaktifan anak sebagai peserta didik, tetapi para pendidik, sarana prasarana, dukungan pemerintah melalui kebijakan dan peraturan, maupun peran orang tua merupakan elemen-elemen yang saling menopang dan melengkapi dalam keberhasilan pendidikan itu sendiri.
Melihat kenyataan tersebut, maka bimbingan terhadap pendidikan anak oleh setiap orang tua terhadap anaknya merupakan suatu upaya dalam rangka membentuk sikap, tindakan, cara berfikir yang selaras dengan ajaran agama yang dianutnya. Oleh karena itu, perhatian orang tua yang dilakukan secara intensif kepada anak di dalam suatu keluarga adalah suatu keniscayaan. Dengan demikian, orang tua hendaknya memperhatikan konsep-konsep dasar yang dapat menumbuhkan kepribadian anak didik, dan menjadikannya termasuk kelompok orang-orang yang paling mulia. Hal ini sejalan dengan tugas orang tua sebagai pendidik utama dalam keluarga sebagaimana disebutkan oleh Abdur Rahman Shad (1993: 140) dalam karyanya The Rights of Allah and Human Rights yang berbunyi:
  Teachers are responsible for guiding, moulding and improving the career of community. They are like torch-light in darkness. As the earth derives light and energy from the sun, similliary the pupils receive knowledge and guidance from their teachers. The teachers are like the moon and the students are just like the stars. So the seekers of knowledge and the learned teachers occupy an exceptionally prominent place in society.

Berangkat dari konsep itulah, anak akan dapat meningkatkan semangat belajar Pendidikan Agama Islam sebelum mereka memasuki jenjang pendidikan dasar sebagaimana pernyataan Asghar Ali Engineer (1990: 9) dalam karyanya Islam and Liberation Theology yang menyebutkan:
  Without rootedness in faith, mere words and ideas can become power into themselves and over reducing them to mere servitude….words and thought systems, says Erich Fromm, are dangerous because they easily turn into authorities whom we worship. Life itself must be grasped experienced as it flows and in this lies virtue. It is faith with allits value implications which make words and thought systems useful rather than oppressive structures.

“Tanpa dilatarbelakangi dengan iman, kata-kata dan gagasan hanya akan berarti bagi dirinya sendiri dan akan memperbudak orang lain. Erich Fromm berkata bahwa kata dan pola pikir itu berbahaya, karena bissa dengan mudah berubah menjadi kekuasaan yang kita sembah. Hidup itu sendiri harus dipahami dan dialami sebab hidupo itu mengalir dan bersandarkan pada kebenaran. Itulah yang namanya keyakinan dengan segala implikasi nilainya yang membuat kata dan pola pikir menjadi bermanfaat bukanya menjadi struktur yang menindas” (Engineer, 1999: 13).

C.    Kesimpulan

Tidak dapat diragukan lagi bahwa orang tua (ayah dan ibu) memiliki peranan yang sangat penting bagi kehidupan anak dalam keluarga. Mulai sejak kandungan sampai lahir ke dunia, orang tua harus memberikan perhatiannya secara penuh kepada anak. Menjaga anak dan merawat anak dengan penuh kasih sayang, keihklasan, dan kesabaran harus senantiasa diberikan agar anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.
Bapak sebagai kepala dari seluruh keluarganya, memimpin, membimbing dan melindungi serta memberi nafkah, pakaian dan menyelamatkan mereka dari gangguan lahir batin, bertindak sebagai teman, guru, pemimpin dan memberi suri tauladan. Ibu membantu ayah menyelamatkan keluarga, mengatur rumah, menyediakan makanan dan segala keperluan sehari-hari serta mengasuh dan mendidik anak. Ibu menjaga kebersihan, memelihara kesehatan, membuat peraturan yang harus ditaati, waktu makan dan istirahat, waktu tidur dan bangun bahkan waktu untuk rekreasi.
Selain pekerjaan rutin sebagaimana tersebut di atas, tugas dan tanggung jawab orang tua yang tidak kalah beratnya, adalah memberikan pendidikan dalam keluarga terutama pendidikan agama sangat penting bagi anak, sebab baik buruknya kelakuan seorang anak hal ini banyak bergantung kepada baik buruknya proses pendidikan yang ada dan berlangsung dalam rumah tangga.
Orang tua yang yakin bahwa mereka harus mengorbankan minat dan kegiatan pribadi mereka untuk mencurahkan waktu dan perhatian kepada anak, akan menciptakan rumah tangga yang berpusat kepada anak, tempat anak diperlukan sebagai anggota keluarga yang paling penting. Selain itu, orang tua yang percaya bahwa anak “harus dilihat tetapi tidak didengar”, menciptakan rumah tangga yang berpusat pada orang dewasa. Orang dewasa menjadi anggota yang paling penting dan anak diharapkan memegang peran bawahan. Upaya membentuk anak yang shaleh yang memiliki kepribadian dan akhlak yang tinggi dapat dilakukan dengan membiasakan anak-anaknya dengan perbuatan-perbuatan baik, agar perbuatan-perbuatan yang baik yang menurut agama tersebut dapat dijadikan pegangan dan petunjuk dalam hidup anak. Oleh karena itu, orang tua harus memperkenalkan secara dini pendidikan agama Islam dengan jalan membiasakan kepada prilaku yang baik dalam rumah tangga.
Pendidikan agama pada masa kanak-kanak seharusnya dilakukan oleh orang tua yaitu dengan jalan membiasakannya kepada tingkah laku dan akhlak yang diajarkan oleh agama. Di samping hal tersebut di atas, orang tua sebagai orang yang terdekat dalam kehidupan anak, juga harus selalu memotivasi dan menjadikan keteladanan sebagai bagian dari kebutuhan hidupnya, baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap anaknya. Keteladanan merupakan salah satu unsur yang menentukan dan mewarnai terhadap kelangsungan hidup anak dalam keluarga. Anak dengan berbagai karakteristiknya tidak akan terlepas dari cerminan keteladanan yang ditanamkan baik secara sengaja atau tidak oleh orang tua dalam keluarga.
Tugas selanjutnya dari orang tua adalah melakukan pengawsan terhadap segala perbuatan anak dalam hidupnya. Pengawasan dari orang tua ini penting artinya mengingat pesatnya kemajuan arus komunikasi dan informasi dewasa ini yang telah mengirimkan sebagian besar anak kepada bentuk-bentuk peniruan sistem moral yang sama sekali mereka tidak mengerti akan makna dan hakekat dari semua itu yang sebagian besar telah menjadi bagian dari kebiasaan hidupnya sehari-hari.
Kecendrungan ini akan terus meningkat sesuai dengan masa kepekaan yang anak alami dan bersamaan pula intensitas pengaruh yang silih berganti itu akan mempengaruhi gerak gerik dan tingkah laku anak. Namun kenyataan tidak dapat dipungkiri bahwa pada dewasa ini tindakan dan perbuatan sebagian besar anak sudah begitu memprihatinkan. Segala tindakan dan perbuatannya ada kecendrungan menyimpang dari nilai-nilai dan moral agama.
Timbulnya prilaku anak yang cenderung bersikap menyimpang dari noram-norma susila dan agama tersebut disebabkan karena kurang perhatian, perlakuan, dan kasih sayang yang baik dari orang tua. Nilai-nilai akhlak terabaikan sama sekali, dan anak dibiarkan bebas bergaul dengan siapa saja tanpa adanya pengawasan yang ketat dari orang tua.

DAFTAR PUSTAKA
 

Abdul Halim, M. Nipan. 2003. Anak Saleh Dambaan Keluarga. Cet. ke-3, Yogyakarta: Mitra Pustaka.

Abudin Nata. 2001. Paradigma Pendidikan Islam. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Amir Faisal, Jusuf. 1995. Reorientasi Pendidikan. Jakarta: Gema Insani Press.

Anonim. 2003. UU RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Sinar Grafika.

_______. 2006. Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindung Anak. Cet. ke-4. Bandung:  Citra Umbara.

Daradjat, Zakiyah. 1995. Pendidikan Islam dalam Keluarga dan Sekolah. Bandung: Ruhama.

Dyah Cahyani, Bibiana. 2009. “Peran Orang Tua terhadap Pendidikan Anak”. http://joksarsmagna.blogspot.com. Download pada hari kamis, 26 Mei 2009.

Engineer, Asghar Ali. 1990. Islam and Liberation Theology. New Delhi: Sterling Publishers Private Limited.

_________________. 1999. Islam dan Teologi Pembebasan. Alih Bahasa Agung Prihantoro. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mansur. 2006. Mendidik Anak Sejak dalam Kandungan. Cet.ke-3. Yogyakarta: Mitra Pustaka.

Maria Ulfah Anshor. 2009. “Pendidikan dan pengasuhan anak dengan perspektif jender”. http://www.fatayat.or.id/?q=article/11. Download pada hari kamis, 26 Me 2009.

Marimba, Ahmad D. 1989. Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: al-Ma’arif.

Nashih Ulwan, Abdulah. 1994. Tarbiyatul Aulad fil Islam. Juz II.  Beirut: Darus Salam.

____________________.1999. Pendidikan Anak dalam Islam. Cet. ke-2. Alih Bahasa Jamaludin Miri. Jakarta: Pustaka Amani.
Ngalim Purwanto, M. 1998. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Nur Islam, Ubes. 2004. Mendidik Anak dalam Kandungan. Jakarta: Gema Insani Press.

Rahabeat, R. A. 2009. “Peran Orang Tua dalam Pendidikan Anak”. http://forumpendidikan.com. Download pada hari kamis, 26 Mei 2009.

Rasyid Dimas, Muhammad. 2007. Langkah Salah Mendidik Anak. Cet. ke-4. Bandung: Syaamil Cipta Media.

Shad, Abdur Rahman. 1993. The Rights of Allah and Human Rights. Cet. ke-2, India: S. Sajid Ali for Adam Publishers.

Uhbiyati, Nur. 1997. Ilmu Pendidikan Islam. Bandung: Pustaka Setia.

Umaedi. 2004. Manajemen Mutu berbasis Sekolah/Madrasah. Jakarta: CEQM.






Peran Guri PAI dalam Meningkatkan Motivasi Belajar Siswa



Pendidikan adalah proses secara sadar dalam membentuk anak didik untuk mencapai perkembangannya menuju kedewasaan jasmani maupun rohani, dan proses ini merupakan usaha pendidik membimbing anak didik dalam arti khusus misalnya memberikan dorongan atau motivasi dan mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi siswa.

Menurut Mc Donald, motivasi adalah suatu perubahan energi di dalam pribadi seseorang yang ditandai dengan timbulnya afektif dan reaksi untuk mencapai tujuan (Hamalik, 2007: 173). Oleh karena itu, motivasi merupakan salah satu faktor penunjang dalam menentukan intensitas usaha untuk belajar dan juga dapat dipandang sebagai suatu usaha yang membawa anak didik ke arah pengalaman belajar sehingga dapat menimbulkan tenaga dan aktivitas siswa serta memusatkan perhatian siswa pada suatu waktu tertentu untuk mencapai suatu tujuan.

Motivasi bukan saja menggerakkan tingkah laku tetapi juga dapat mengarahkan dan memperkuat tingkah laku. Hal ini dikarenakan siswa yang mempunyai motivasi dalam pembelajarannya akan menunjukkan minat, semangat dan ketekunan yang tinggi dalam belajarnya, tanpa banyak bergantung kepada guru. Hasil belajar akan menjadi optimal kalau ada motivasi, semakin tepat motivasi yang diberikan, maka akan semakin berhasil pula pelajarannya.

Motivasi belajar adalah faktor psikis yang bersifat non intelektual. Peranannya yang khas yaitu dalam hal menumbuhkan gairah dalam belajar, merasa senang dan mempunyai semangat untuk belajar sehingga proses belajar mengajar dapat berhasil secara optimal (Sardiman, 2001: 73). Dengan demikian, guru yang dapat memberikan motivasi kepada siswa menurut Yamin berarti telah memberdayakan afeksi mereka supaya dapat melakukan sesuatu melalui penguatan langsung, penguatan pengganti,dan pengutan diri sendiri (Yamin, 2006: 177).

Motivasi belajar dapat timbul karena faktor intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi instrinsik adalah motivasi yang tercakup di dalam situasi belajar untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan-tujuan murid. Sedangkan motivasi ekstrinsik merupakan motivasi yang disebabkan oleh faktor-faktor dari luar situasi belajar seperti ijazah, hadiah maupun hukuman (Hamalik, 2007: 162-163). Dengan kata lain, motivasi intrinsik adalah motivasi yang hidup dalam diri siswa yang berguna dalam situasi belajar fungsional. Sementara motivasi ekstrinsik merupakan motivasi yang menghendaki lingkungan yang kondusif dan proses pembelajaran yang menarik. Menurut Uno (2007: 23), munculnya kedua motivasi tersebut sesungguhnya berkenaan dengan rangsangan yang membuat seseorang berkeinginan untuk melakukan aktivitas belajar yang lebih giat dan bersemangat.

Mengingat betapa pentingnya faktor intrinsik dan ekstrinsik dalam menumbuhkan motivasi belajar siswa, maka pengembangan pembelajaran pendidikan agama Islam di sekolah perlu diupayakan bagaimana agar dapat mempengaruhi dan menimbulkan motivasi intrinsik melalui penataan metode pembelajaran yang dapat mendorong tumbuhnya motivasi ekstrinsik dan dapat mendorong tumbuhnya motivasi belajar dalam diri siswa. Sedangkan untuk menumbuhkan motivasi ekstrinsik dapat diciptakan suasana lingkungan yang religius sehingga tumbuh motivasi untuk mencapai tujuan PAI sebagaimana yang telah ditetapkan (Muhaimin, 2001: 138). Dengan kata lain, seseorang yang melakukan aktivitas belajar secara terus menerus tanpa motivasi dari luar dirinya merupakan motivasi intrinsik yang sangat penting dalam aktivitas belajar. Namun, seseorang yang tidak mempunyai keinginan untuk belajar, dorongan dari luar dirinya merupakan motivasi ekstrinsik yang diharapkan. Oleh karena itu, motivasi ekstrinsik diperlukan bila motivasi intrinsik tidak ada dalam diri seseorang sebagai subjek belajar.

Motivasi sebagai suatu proses yang mengantarkan anak didik kepada pengalaman yang memungkinkan mereka dapat belajar, maka proses motivasi menurut Ramayulis (1998: 171-172) mempunyai fungsi:
1. Memberi semangat dan mengaktifkan siswa agar tetap berminat dan siaga.
2. Memusatkan perhatian kepada anak didik pada tugas-tugas tertentu yang berhubungan dengan penciptaan dengan pencapaian belajar.
3. Membantu memenuhi kebutuhan akan hasil jangka pendek dan jangka panjang.

Memperhatikan fungsi motivasi yang sangat besar faedahnya bagi siswa dalam proses pembelajaran, maka jelas fungsi guru agama sebagai motivator sangat dibutuhkan terlebih jika dikaitkan dengan proses pembelajaran yang terjadi di sekolah umum khususnya di mana waktu yang digunakan adalah sangat terbatas, yaitu 2 X 45 menit dalam seminggu. Hal ini menjadi kendala dan problem dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar pendidikan agama Islam. Problem lain yang terjadi bahwa siswa cenderung kurang berminat terhadap mata pelajaran pendidikan agama Islam, di samping proses pembelajaran yang kelihatan kurang maksimal diminati siswa sehingga hasilnya tidak sesuai dengan tujuan yang dirumuskan.

Berkaitan dengan masalah pendidikan tersebut, maka peranan guru agama Islam sangat besar sekali pengaruhnya terhadap keberhasilan pelaksanaan proses belajar mengajar pendidikan agama. Sebagai seorang guru agama Islam, hal tersebut merupakan tantangan pertama dalam menumbuhkan peningkatan minat dan motivasi belajar siswa terhadap mata pelajaran agama serta membantu memecahkan kesulitan siswa terutama dalam kegiatan kurikuler.

Tugas guru agama sebagai seorang pendidik tidak hanya terbatas pada penyampaian materi/pengetahuan agama kepada siswa, tetapi guru juga mempunyai tanggung jawab dalam membimbing dan mengarahkan siswanya serta mengetahui keadaan siswa dengan kepekaan untuk memperkirakan kebutuhan siswanya. Oleh karena itu, guru agama Islam dituntut tanggap terhadap berbagai kondisi dan perkembangan yang mempengaruhi jiwa, keyakinan, dan pola pikir siswa. Hal ini dapat diupayakan dengan disertai wawasan tertulis serta keterampilan bertindak, serta mengkaji berbagai informasi dan keluhan mereka yang mungkin menimbulkan keresahan.

Guru agama dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar juga di tuntut untuk menciptakan kondisi-kondisi kelas kondusif yang dapat mendorong siswa untuk melakukan kegiatan belajar agama Islam dengan sungguh-sungguh, baik itu di lingkungan yang bersifat formal maupun secara luas belajar agama di lingkungan non formal secara mandiri. Di samping itu, guru juga harus mempunyai keterampilan dalam memotivasi siswa, karena dengan adanya motivasi itu kosentrasi dan antusiasme siswa dalam belajar dapat meningkat.

Sesungguhnya permasalahan di atas yang menjadi kendala dalam usaha guru agama Islam dalam melaksanakan proses belajar mengajar khususnya dalam bidang studi pendidikan agama Islam di lembaga pendidikan umum, walaupun sudah melaksanakan kegiatan-kegiatan keagamaan seperti praktek shalat, tadarusan al-Qur`an dan lain-lain. Oleh karena itu, usaha guru agama untuk menumbuhkan motivasi yang besar untuk belajar agama Islam masih perlu untuk disempurnakan lagi. Namun demikian, karena  meningkatkan motivasi belajar agama Islam bukanlah hal yang mudah, melainkan masih banyak problem-problem yang dihadapi guru agama Islam, maka kreatifitas dan profesionalitas guru-guru agama dan ketekunan serta keuletan dengan berbagai usaha yang dapat mengantarkan pada tumbuhnya motivasi belajar agama dengan baik.
Berdasarkan studi elaborasi di atas, maka penulis tertarik permasalahan tersebut yang terfokus pada usaha-usaha yang telah ditempuh oleh guru agama Islam dalam meningkatkan motivasi belajar Pendidikan Agama Islam (PAI) siswa.

Guru Sebagai Motivator Pembelajaran

Keberhasilan suatu proses kegiatan belajar mengajar bukan hanya ditentukan oleh faktor intelektual, tetapi juga faktor-faktor yang non-intelektual, termasuk salah satunya ialah motivasi (Abror, 1993: 114). Kata motivasi di dalam Islam lebih dikenal dengan istilah niat yaitu dorongan yang tumbuh dalam hati manusia yang menggerakkan untuk melakukan suatu aktivitas tertentu dalam niat ada ketergantungan antara niat dengan perbuatan, dalam arti jika niat baik maka imbasnya juga baik dan sebaliknya.

Motivasi adalah dorongan yang timbul dari dalam jiwa seseorang untuk melakukan tindakan dengan sadar guna memenuhi satu kebutuhan atau mencapai suatu tujuan sehingga besar sekali peranan motivasi dalam upaya peningkatan pengembangan kegiatan belajar mengajar, khususnya bidang studi PAI bagi siswa.

Motivasi belajar dapat diartikan sebagai keseluruhan daya penggerak psikis di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, menjamin kelangsungan kegiatan belajar dan memberikan arah pada kegiatan belajar demi mencapai satu tujuan (Winkel, 1996: 92). Motivasi juga dapat berfungsi sebagai pendorong usaha dan pencapaian prestasi seseorang melakukan suatu usaha karena adanya motivasi. Adanya motivasi yang baik akan menunjukkkan hasil yang baik. Dengan kata lain bahwa dengan adanya usaha yang tekun dan terutrama didasari adanya motivasi, maka seorang yang belajar itu akan mendapat prestasi yang baik. Intensitas motivasi seorang siswa akan sangat menentukan tingkat pencapaian prestasi belajarnya.

Menurut A. Tabrani (1994: 127), pada garis besarnya motivasi mengandung nilai-nilai sebagai berikut:

1. Motivasi menentukan tingkat keberhasilan atau kegagalan perbuatan belajar siswa. Belajar tanpa adanya motivasi sulit untuk berhasil.
2.Pengajaran yang bermotivasi pada hakekatnya adalah pengajaran yang disesuaikan dengan kebutuhan, dorongan, motif dan minat yang ada pada siswa. Pengajaran yang demikian sesuai dengan tuntutan demokrasi dalam pendidikan.
3.Pengajaran yang bermotivasi menurut kreatifitas dan imajinitas pada guru untuk berusaha secara sungguh-sungguh mencari cara-cara yang relevan dan serasi guna membangkitkan dan memelihara motivasi belajar pada siswa. Guru senantiasa berusaha agar siswa pada akhirnya mempunyai motivasi yang baik.
4.Berhasil atau tidaknya dalam menumbuhkan dan menggunakan motivasi dalam pengajaran erat kaitannya dengan pengaturan dalam kelas.
5. Asas motivasi menjadi salah satu bagian yang integral dari asas- asas mengajar. Penggunaan motivasi dalam mengajar tidak saja melengkapi prosedur mengajar, tetapi juga menjadi faktor yang menentukan pengajaran yang efektif. Dengan demikian, penggunaan asas motivasi sangat esensial dalam proses belajar mengajar.

Motivasi adalah gejala psikologis dalam bentuk dorongan yang timbul pada diri sesorang sadar atau tidak sadar untuk melakukan suatu tindakan dengan tujuan tertentu. Motivasi bisa juga dalam bentuk usaha-usaha yang dapat menyebabkan seseorang atau kelompok orang tertentu tergerak melakukan sesuatu karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya atau mendapat kepuasan dengan perbuatannya.

Peranan guru sebagai motivator ini sangat penting artinya dalam rangka meningkatkan kegairahan dan pengembangan kegiatan belajar siswa. Guru harus dapat merangsang dan memberikan dorongan reinforcement untuk mendinamisasikan potensi siswa, menumbuhkan swadaya (aktivitas) dan daya cipta (kreatifitas), sehingga akan terjadinya dinamika dalam proses belajar mengajar.

Berkaitan dengan pentingnya guru sebagai motivator, maka Slameto (1992: 100) menjelaskan:
“Guru hanya merupakan salah satu di antara berbagai sumber dan media belajar, maka dengan demikian peranan guru dalam belajar ini menjadi lebih luas dan lebih mengarah kepada peningkatan motivasi belajar anak. Melalui perannya sebagai pengajar, guru diharapkan mampu mendorong anak untuk senantiasa belajar dalam berbagai kesempatan melalui berbagai sumber dan media”.

Kesalahan dalam memberikan motivasi ekstrinsik akan berakibat merugikan prestasi belajar anak didik dalam kondisi tertentu. Interaksi belajar mengajar menjadi kurang harmonis. Tujuan pendidikan dan pengajaran pun tidak akan tercapai dalam waktu yang relatif singkat, sesuai dengan target yang dirumuskan. Oleh karena itu, pemahaman mengenai kondisi psikologis anak didik sangat diperlukan guna mengetahui segala apa yang sedang dihadapi anak didik sehingga gairah belajarnya menurun. Hal ini selaras dengan statemen yang menyatakan bahwa pendidikan adalah proses yang komprehensif sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Tarbiyatu wa al-Ta’lim  (tt: 7) yang berbunyi :
فَالتَّرْ بِيَةُ بِاْلمَعْنَ اْلعَامِ هِىَ كُلُّ مُؤَ ثِّرٍ فىِ تَكْوِيْنِ الشَخْصِ الجَسْمَانِىِّ وَاْلجَسْمَانىِ وَاْلخُلُقِىَّ مِنْ حَيْنَ وِلاَدَتِهِ إِلىَ مَوْتِهِ, وَتَشْمِلُ جَمِيْعُ الْعَوَامِلِ سَوَاءٌ أَكَانَتْ مَقْصُوْدَةٌ كَالتَرْ بِيَةِ وَاْلمَتْرِلِيَّةِ وَاْلمَدْرَسِيَّةِ, اَمْ غَيْرُمَقْصُوْدَةٌ كَالتَرْبِيَةِ الَّتِى تَجِيْئُ عَرْضًاوَمَنْ تَأ ثِيْرِ البِيْئَةِ الطَبِيْعِيَّةَ وَاْلاِجْتِمَاعِيَّةِ وَغَيْرِذَلِكَ       

Pendidikan secara umum adalah setiap pengaruh dalam menjadikan seseorang secara badaniyah, akliyah (akhlak), semenjak lahir sampai pendidikan di rumah dan di sekolah, ataupun tidak seperti tujuan pendidikan yang datang karena pengaruh tabiat (sifat) serta pengaruh masyarakat dan lain sebagainya.

Guru agama perlu meningkatkan perannya sebagai motivator, yakni sebagai pendorong agar siswa melakukan kegiatan belajar agama Islam dengan menciptakan kondisi kelas yang dapat merangsang siswa untuk melakukan kegiatan belajar agama, baik secara individual maupun secara kelompok.

Untuk dapat berperan sebagai motivator, guru agama harus memiliki    kemampuan  tertentu, baik  sebagai  guru  maupun  sebagai motivator, syarat yang harus dimiliki oleh guru agama di antaranya adalah:

1.       Syarat formil: mempunyai ijazah S1 PAI, sehat jasmani dan rohani, tidak   memiliki  cacat yang menyolok, memiliki pengetahuan agama yang mendalam, bertaqwa dan berakhlak mulia, warga negara yang baik dan di angkat oleh pejabat yang berwenang.
2.       Syarat materiil: memiliki pengetahuan agama Islam secara luas, menguasai didaktik dan metodik, memiliki ilmu methodologi pengajaran, memiliki pengetahuan pelengkap terutama yang ada hubungannya dengan profesinya.
3.       Syarat non formil: mengamalkan ajaran agama, berkepribadian yang muslim, memiliki sikap demokratis, tenggang rasa, bersikap positif terhadap ilmu, disiplin. Berinisiatif dan kreatif, kritis, objektif, menghargai dan waktu serta produktif (Zein, 1995: 57).

Nana Sudjana (1989: 34-35) menegaskan beberapa syarat yang harus dimiliki guru dalam menjalankan tugasnya sebagai seorang motivator belajar yaitu:
a.       Menjalin hubungan baik dan harmonis dengan siswa agar kepatuhan dan kepercayaan pada guru tertanam pada siswa.
b.       Kaya akan berbagai bentuk dan jenis upaya untuk melakukan motivasi pada siswa baik yang bersifat intrinsik maupun yang bersifat ekstrinsik.
c.       Mempunyai perasaan humor yang positif dan normatif sehingga tetap disegani dan disenangi siswa.
d.      Menampilkan sosok kepribadian guru yang menjadi panutan siswa, baik dalam prilaku di kelas maupun di luar kelas.

Mengupayakan agar motivasi belajar siswa lebih meningkat sangat penting artinya karena akan mempengaruhi kelangsungan kegiatan belajar mengajar. Tugas guru adalah memotivasi siswa untuk belajar, demi tercapainya tujuan yang diharapkan. Kegiatan belajar akan tercipta apabila motivasi belajar yang ada di dalam diri siswa itu akan memperkuat ke arah tingkah laku tertentu (belajar). Adapun motivasi dapat ditumbuhkan dengan cara:

a.       Membangkitkan suatu kebutuhan, yaitu kebutuhan untuk menghargai suatu keindahan, untuk mendapat penghargaan dan sebagainya;
b.       Menghubungkannya dengan pengalaman-pengalaman yang lampau;
c.       Memberikan kesempatan untuk mendapatkan hasil yang baik, knowing success like success atau mengetahui sukses yang diperoleh individu itu, sebab sukses akan menimbulkan rasa puas (Tabrani, 1994: 121).

Guru juga dapat menggunakan bermacam-macam motivasi agar siswa dapat belajar dengan baik. Adapun cara yang digunakan guru untuk meningkatkan motivasi belajar siswa antara lain memberi angka, memberi hadiah/ reward, menciptakan kompetisi/kemampuan, menunjukkan  pentingnya tugas, memberikan ulangan, memberitahukan hasil yang telah dicapai, memberi pujian dan hukuman, menumbuhkan hasrat untuk belajar, dan minat (Sardiman, 2001 : 92-94).

Guru juga dapat mengembangkan motivasi belajar pada siswa di dalam kelas yaitu dengan cara motivasi tugas, motivasi aspirasi, motivasi afiliasi, motivasi penguatan, dan motivasi yang diarahkan oleh diri sendiri. Dengan demikian, jelaslah bahwa banyak sekali cara yang dapat digunakan untuk meningkatkan motivasi belajar siswa. Hanya yang penting bagi guru adanya bermacam-macam motivasi itu dapat dikembangkan dan diarahkan untuk dapat melahirkan hasil belajar yang bermakna.

Guru agama Islam merupakan pendidik yang mempunyai tanggung jawab dalam membentuk kepribadian Islam anak didik, serta bertanggung jawab terhadap Allah Swt (Zuhairini, 1983: 84). Oleh karena itu, ia mempunyai tugas untuk mengajarkan ilmu pengetahuan Islam, menanamkan keimanan dalam jiwa anak, mendidik anak agar taat menjalankan agama dan berbudi pekerti yang mulia.
Statemen tersebut sejalan dengan ungkapan Syaikh Az-Zarnujiy (1978: 16) dalam kitabnya yang berjudul Ta'limul Muta'alim:
وَاَمَّااخْتِيَارُاْلاُسْتَاذِ, فَيَنْبَغِى اَنْ يَخْتَارَ اْلاَعْلَمَ وَاْلاَوْرَعَ وَاْلاَسَنَّ, كَمَااخْتَارَاَبُوْحَنِيْفَةَ حِيْنَئِذٍحَمَّادَبْنَ اَبِى سُلَيْمَانَ بَعْدَ التَّأَمّ‍ُلِ وَالتَّفَكُّرِ.
Dalam memilih guru, hendaklah mengambil yang lebih 'alim, waro' dan juga lebih tua usianya. Sebagaimana Abu Hanifah setelah lebih dahulu memikir dan mempertimbangkan lebih lanjut, maka menentukan pilihannya kepada Tuan Hammad Bin Abu Sulaiman.

Tugas berat seorang guru inilah yang menjadikannya niat karena Allah semata, mencintai siswa sebagaimana ia mencintai diri sendiri, memotivasi siswa untuk menuntut ilmu seluas mungkin, menyampaikan pelajaran dengan bahasa yang mudah dipahami oleh siswa, melakukan evaluasi terhadap kegiatan belajar mengajar yang dilakukannya, bersikap adil terhadap semua siswa, membantu memenuhi kemaslahatan murid baik dengan kedudukan ataupun hartanya dan memantau perkembangan murid, baik intelektual maupun akhlaknya.

Teacher are responsible for guiding, moulding and improving the career of the community. They are like torch-light in darkness. As the earth derives tight and energy from the sun, similiarly the pupils receive knowledge and guidence from their teacher. The teacher are like the moon and the students are just like the star so the seekers of  knowledge and the learned teacher accupy on exceptionally prominent place in society-Pendidik bertanggung jawab penuh untuk menuntun, mencetak (karir) dan meningkatkan karier (jenjang karier) dari suatu masyarakat. Pendidik diibaratkan sebagai suatu lampu yang menyala di tengah kegelapan, sedangkan murid adalah individu yang menerima ilmu pengetahuan dan bimbingan dari pendidik mereka. Dengan demikian dalam dunia pendidikan dan pencarian ilmu, pendidik menempati posisi yang tertinggi dalam kehidupan masyarakat (AR Sahad, 1987: 14).  

 Kesimpulan

Motivasi merupakan keadaan internal organisme yang mendorong untuk berbuat sesuatu. Motivasi dapat dibedakan kedalam motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi intrinsik merupakan keadaan yang berasal dari dalam diri siswa sendiri yang dapat mendorongnya untuk belajar,misalnya perasaan menyenangi materi dan kebutuhannya terhadap materi tersebut, apakah untuk kehidupannya masa depan siswa yang bersangkutan atau untuk yang lain. Sedangkan motivasi ekstrinsik merupakan keadaan yang datang dari individu siswa yang juga mendorongnya untuk melakukan kegiatan belajar. Pujian dan hadiah, peraturan atau tata tertib sekolah, keteladanan orangtua, guru merupakan contoh-contoh kongkret motivasi ekstrinsik yang dapat mendorong siswa untuk belajar.

Kekurangan atau ketiadaan motivasi baik yang intrinsic maupun ekstrinsik akan menyebabkan siswa kurang bersemangat untuk melakukan kegiatan belajar baik di sekolah maupun di rumah. Dampak lanjutnya adalah pencapaian hasil belajar yang kurang memuaskan. Motif atau keinginan untuk berprestasi sangat menentukan prestasi yang dicapainya.dengan demikian,keinginan seseorang atau siswa untuk berhasil dalam belajar juga akan menentukan hasil belajarnya motif erat sekali hubungannya dengan tujuan yang akan dicapai.untuk mencapai suatu tujuan perlu dibuat sesuatu. Yang menyebabkan seseorang berbuat adalah motifnya. Dengan demikian, motif berfungsi sebagai daya penggerak atau pendorong.
Motif belajar atau menuntut ilmu dalam perspektif Islam hendaklah motifnya semata-mata mencari ilmu, bukan mencari pangkat atau pekerjaan. Sebab, apabila motifnya mencari ilmu, pangkat, dan pekerjaan akan mengiringinya, tetapi apabila motifnya mencari pangkat atau pekerjaan, ilmu belum tentu diperoleh dan pekerjaan pun belum tentu didapat. Itulah tujuan belajar atau menuntut ilmu secara ideal di dalam perspektif Islam. Perhatian, minat, bakat,dan motif atau motivasi siswa terhadap bahan pelajaran akan membentuk sikapnya dalam belajar. Oleh karena itu, sikap juga mempengaruhi belajar atau hasil belajar siswa.

* Isteri dari Tarqum Aziz (Mantan aktivis AMM Jawa Tengah) ini adalah Alumni Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) Jurusan Tarbiyah STAIN Purwokerto tahun 2004 dan Ketua Umum NA Cabang Gandrungmangu Cilacap yang sekarang mengabdi sebgagai Guru PAI SMP Islam Al-Irsyad Gandrungmangu Cilacap.


DAFTAR PUSTAKA
 

Abror, Abdul Rahman. 1993. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Az-Zarnujiy, Syaikh. t.t. Ta'limul Muta'alim. Semarang: Toha Putra.

Hamalik, Oemar. 2007. Psikologi Belajar Mengajar. Cet. ke-5. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

______________. 2008. Proses Belajar Mengajar. Cet. ke-7. Jakarta: Bumi Aksara.

Muhaimin, dkk. 2001. Paradigma Pendidikan Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Muhammad Qasim Bakr. t.t. al-Tarbiyatu wa al-Ta’lim. Surabaya: Maktabah al-Hidayah.

Nasution, S. 1986. Didaktik Asas-Asas Mengajar. Bandung: Jemmars.

Ramayulis. 1998. Ilmu Pendidikan Islam. Cet. ke-2. Jakarta: Kalam Mulia.

Sahad A.R. 1987. The Rights of Allah and Human Rights. India: Syah Offset Printer.

Sardiman, A.M. 2001. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Cet. ke-8. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Slameto. 1992. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: Bina Aksara.

Sudjana, Nana. 1989. CBSA. Bandung: Sinar Baru Algensindo.

Tabrani R. A. 1994. Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Uno, Hamzah B. 2007. Teori Motivasi dan Pengukurannya. Cet. ke-2. Jakarta: Bumi Aksara.

Winkel, W. S. 1996. Psikologi Pengajaran. Jakarta: Gramedia.

Yamin, Martinis. 2006. Sertifikasi Profesi Keguruan di Indonesia. Jakarta: Gaung Persada Press.

Zein, Moh. 1995.  Metodologi Pengajaran Agama. Yogyakarta: AK. Group.

Zuhairini. 1983. Metodik Khusus Pendidikan Agama. Surabaya: Usaha Nasional.


Urgensi Peran Dai dalam Dakwah Islam




Islam adalah agama yang diturunkan Allah SWT untuk mengatur hidup dan kehidupan manusia. Islam adalah agama yang mempunyai ruang lingkup yang amat luas mencakup segenap aspek, baik aspek keagamaan maupun aspek keduniaan. Aspek-aspek tersebut dalam dunia fiqih terkenal dengan ibadah dan muamalah. Dengan kata lain, Islam adalah konsep yang memadukan antara keduanya. Islam adalah suatu sistem aturan ilahi yang bulat dan utuh, antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya mempunyai relasi yang erat dan akrab. Oleh karena itu dalam aktualisasi dan implementasinya tidak boleh dipisah-pisahkan. Islam harus diterapkan dan diamalkan secara bulat dan utuh. Hal ini dikarenakan tujuan Islam untuk membangun kebahagiaan dunia dan akhirat tidak akan terwujud manakala dicampuradukkan dengan sistem lainnya.

Islam adalah agama yang memandang setiap pemeluknya sebagai Dai bagi dirinya sendiri dan orang lain. Hal ini menurut Thomas  W Arnold (1981: 1) dalam bukunya The Preacing of Islam disebabkan Islam tidak menganut sistem hierarki religius. Dengan kata lain, Islam merupakan sebuah ajaran yang bersifat universal dan holistik. Universalisasi Islam inilah yang menuntut setiap Muslim berkewajiban menyampaikan visi dan misi Islam kepada seluruh umat manusia sepanjang peradaban manusia masih eksis.

Salah satu aktivitas yang diwajibkan bagi setiap muslim untuk mensosialisasikan ajaran Islam adalah dakwah. Aktivitas dakwah bukanlah suatu beban yang memberatkan setiap muslim, kewajiban ini justru akan dapat meringankan beban-beban yang harus dipikul dan akan mengembalikan izzah Islam dimata umat manusia. Dengan kata lain dakwah merupakan proses transformasi ajaran-ajaran Islam terhadap umat ijabah maupun umat dakwah. Tanpa dakwah, aktivitas amar ma’ruf nahi munkar tidak akan berjalan.

Dakwah Islam merupakan suatu usaha yang tidak pernah mengenal batas finish, selama planet bumi ini masih didiami manusia dengan segala corak permasalahannya, maka selama itu pulalah proses dakwah menjadi bahan perbincangan yang wajib ditindaklanjuti, karena ia merupakan satu wahana spiritual bagi kelangsungan keberagamaan umat Islam yang pada diri mereka terdapat satu pedoman sarat dengan nilai dan norma sebagai doktrin yang wajib dilaksanakan (Jakfar Puteh, 2006: 100). Dakwah adalah sebuah ikhtiar dalam rangka sosialisasi ajaran Islam. Menerima atau menolak ajaran Islam yang telah didakwahkan kepadanya adalah urusan Allah, manusia sekedar berusaha semaksimal mungkin sehingga ia tidak berhak menentukan keberhasilan sebuah misi dakwah. Di samping itu, tujuan dari dakwah itu sendiri untuk melakukan perubahan masyarakat menuju kebaikan dan keselarasan hidup serta transformasi kontinyu untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah. Oleh karena itu, urgensitas dakwah harus tetap ditumbuhkembangkan seiring sejalan dengan modernisasi.

Keterbukaan terhadap arus modernisasi yang menyangkut perkembangan peradaban dalam era globalisasi ini memberikan dampak terhadap lingkungan dan masyarakat. Derasnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi harus diantisipasi oleh dunia dakwah sebagai agen penyebar dan pembangunan umat. Hal ini selaras dengan statemen Machendrawaty (2001: 79)  yang menyatakan bahwa Islam sebagai agama wahyu selalu berhadapan dengan zaman yang terus berubah. Oleh karena itu, umat Islam selalu ditantang bagaimana mensintesakan keabadian wahyu dengan kesementaraan zaman. Dengan kata lain, dakwah harus merespon kondisi perkembangan luar dan tentunya harus beradaptasi terhadap sesuatu yang baru.

Dakwah Islam berlangsung pada semua lapisan masyarakat, baik masyarakat yang peradabannya telah maju maupun masyarakat yang sedang mengalami transisi, pribumi maupun non pribumi. Dakwah harus dimaknai sebagai jawaban Islam terhadap berbagai permasalahan umat. Hal ini sesuai dengan hakikat dakwah yang selalu terpanggil untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang sedang dan akan dihadapi oleh umat manusia.

Misi dakwah dari dulu sampai sekarang tetap sama, yaitu mengajak umat manusia ke dalam sistem Islam dengan landasan berpikir yang senantiasa berubah dari waktu ke waktu. Permasalahan yang dihadapi oleh umat selalu berbeda baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Namun demikian, permasalahan umat tersebut perlu diidentifikasi dan dicarikan alternatif solusi yang relevan dan strategis melalui pendekatan-pendekatan dakwah yang sistematis, smart, dan profesional, atau perlu adanya ideologi gerakan dakwah meminjam bahasa Munir Mulkan (1996: 52).

Reposisi Peran Dai dalam Dakwah

Manusia yang hidup sesuai dengan fitrahnya akan selalu mengalami perubahan-perubahan, baik perubahan yang alami maupun yang dirancang oleh manusia sendiri. Perubahan itu tidak selamanya menjadi lebih baik, bahkan sering terjadi sebaliknya, manusia akan mengalami krisis identitas dirinya sebagai makhluk yang mulia di sisi Allah mau pun bagi sesamanya. Di sinilah dakwah akan berfungsi sebagai alat untuk mempertahankan dan bahkan mengembangkan kemuliaan manusia. Oleh karena itu, dakwah juga mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan transformasi sosial yang berkembang seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Tingkat dinamisasi kehidupan global yang semakin tinggi dan kompetitif telah menggiring umat manusia untuk memandang persoalan hidup secara pragmatis, logis, serba instans, matematis. Hal ini berimplikasi pada lemahnya semangat transendental dan memudarkan relasi-relasi sosial sehingga pada akhirnya lahirlah berbagai kenyataan sosial yang paradoksal dengan cita ideal Islam. Menurut K.H. MA Sahal Mahfudz (http://pcinu-mesir.tripod.com),  dalam tulisannya yang berjudul Dakwah Yang Partispatif, menyebutkan bahwa dari sisi lain, kualitas keberagamaan masyarakat Indonesia cenderung melemah, akibat perubahan nilai yang berkembang. Nilai-nilai spiritual Islami tidak lagi manjadi rujukan baku bagi kehidupan. Solidaritas Islam sebagai nilai Islami dalam masyarakat dan berbangsa mulai berhadapan dengan kecenderungan sikap individualistik yang mulai menggejala akibat kemajuan dunia usaha yang memacu pada watak kompetitif. Nilai ekonomis makin dominan, berpengaruh besar bagi makin berkembangnya etos ikhtiar yang pada gilirannya akan menghilangkan sikap tawakal, dan lebih dari itu akan mengganggu keimanan.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi srta dampak hasil pembangunan dewasa ini, memberikan pengaruh kuat atas munculnya dua fenomena yang saling berlawanan. Di satu sisi orang semakin bersikap sekuler, sementara di sisi lain justru lebih bersifat agamis, bahkan senderung sufistik atau fundamentalistik. Ini terlihat dari radikalisme berlebihan, yang sering disebut gerakan sempalan dan sikap ekstrim sebagian masyarakat. Timbul juga kelompok yang sering disebut para-normal yang menjadi tempat pelarian bagi orang-orang yangmengalami keputusasaan. Semua ini terjadi akibat lemahnya kualitas keberagamaan mereka. Pemahaman mereka terhadap agama Islam tidak utuh dan tuntas, karena hanya menggunakan salah satu dari paradigma rasional dan mistikal, atau hanya secara eksklusif terpaku pada norma statis saja atau pada yang kontekstual dinamis saja. Padahal Islam merupakan kesatuan utuh dan bulat dari beberapa komponen, yang astu dengan lainnya saling mempengaruhi, misalnya aqidah, syari'ah, akhlak, mu'asyarah, dan lain sebagainya.

Faktor lain yang juga mempengaruhi rendahnya kualitas keberagamaan Islam di Indonesia adalah adanya sifat ambivalen dalam proses kulturisasi nilai-nilai Pancasila di satu pihak dan penghayatan serta pengamalan norma agama Islam di lain pihak. Hal ini senderung membuat rancu orientasi nilai dalam kehidupan. Disintegrasi dari dua sumber nilai ini tentu saja sangat tidak menguntungkan dalam kehidupan, sementara itu upaya pengembangan pemahaman integratif yang memperjelas hubungan simbiosis dari keduanya sering mengundang kesalahpahaman.

Kegiatan dakwa Islamiyah tidak bisa lepas dari dai sebagai orator dakwah, di mana kegiatan dakwah itu sendiri merupakan proses interaksi antara pelaku dakwah (da'i) dan sasaran dakwah (masyarakat) dengan strata sosialnya yang berkembang. Antara sasaran dakwah dan pelaku dakwah saling mempengaruhi, bahkan saling menentukan keberhasilan dakwah sehingga keduanya sama-sama menuntut porsi materi,metode dan media tertentu.

Strategi dakwah akan berhasil apabila ke lima unsur di atas berjalan seimbang. Ini berarti, kegiatan dakwah bukan sekadar memberikan “pengajian” di atas mimbar dengan berbagai bumbu penyedapnya di hadapan massa luas dan heterogen yang menyambutnya dengan tepukantangan menggema di tengah-tengah lapangan. Namun lebih dari itu, ia menuntut tumbuhnya kesadaran bagi audiens, agar pada gilirannya melakukan perubahan positif dari sisi pengamalan dan wawasan agamanya. Adalah sangat naif, mengukur keberhasilan dakwah hana dari banyaknya jumlah pengunjung yang melimpah ruah pada forum pengajian dan hebatnya mubaligh yang lucu, kocak, dan lincah. Sementara itu biaya yang keluar relatif banyak, tidak pernah diimbangi dengan evaluasi massa pengunjungnya. Apakah mereka makin meningkatkan kesadaran dan wawasan keberagamaannya? Ataukah biasa-biasa saja, mereka pulang hanya membawa kesan kagum dan puas terhadap pembawaan mubaligh?

Pengembangan dakwah Islamiyah merupakan proses interaksi dari serangkaian kegiatan terencana yang mengarah pada peningkatan kualitas keberagamaan Islam. Kualitas itu meliputi pemahaman ajaran Islam secara utuh dan tuntas, wawasan keberagamaan, penghayatan dan pengalamannya. Sebagai proses, maka tuntutan dasarnya adalah peubahan sikap da perilaku yang akan diorientasikan pada sumber nilai yang Islami. Dari dimensi lain pengembangan itu merupakan alat untuk mencapai tujuan dakwah Islamiyah. Di sini kebutuhan dasarnya adalah proyeksi dan kontekstualisasi ajaran Islam dalam proses transformasi sosial. Ini memerlukan kejelian dan kepekaan sosial bagi setiap da'i/mubaligh, agar mampu melakukan pendekatan kebutuhan, yang dipandu oleh sumber nilai Islami.

Melihat realitas di atas, maka diperlukan paradigma baru dalam melakukan dakwah Islam yang dijalankan secara sistematis dan profesional melalui langkah-langkah yang strategis. Oleh karena itu, profesionalisme, langkah strategis dan pro aktif senantiasa dibumikan, di samping model dakwah konvensional, sporadis, dan reaktif. Hal ini dikarenakan mad’u semakin kritis dan tantangan dunia global semakin kompleks sehingga strategi dakwah yang mantap insya Allah akan mampu bersaing di tengah bursa informasi yang kompetitif.

Untuk mengatasi problematika umat tersebut, maka aktivitas dakwah menurut Usman Jasad (2004: 38-39), harus difokuskan pada beberapa hal. Pertama, pengentasan kemiskinan. Kedua, persiapan suplai elit muslim ke berbagai jalur kepemimpinan bangsa sesuai dengan skillnya masing-masing. Ketiga, mapping sosial umat sebagai langkah pengembangan dakwah. Keempat, pengintegrasian wawasan etika, estetika, logika, dan budaya dalam berbagai planning dakwah, Kelima, pendirian pusat-pusat studi dan informasi umat secara profesional yang berorientasi pada dinamisasi iptek. Keenam, menjadikan masjid sebagai pusat aktivitas ekonomi, kesehatan, dan syia’ar Islam. Ketujuh, menjadikan Islam sebagai pelopor yang profetis, humanis, dan transformatif. Dengan bahasa lain, dakwah Islam tidak boleh dijadikan obyek dan alat legitimasi bagi pembangunan yang semata-mata bersifat ekonomis-pragmatis (Muhammad Azhar, 2003: 12-13). Langkah-langkah tersebutlah yang akan membawa Islam menjadi sebuah gerakan dakwah yang progresif dan inklusif.

Pengembangan dakwah Islamiyah merupakan proses interaksi dari serangkaian kegiatan terencana yang mengarah pada peningkatan kualitas keberagamaan Islam. Kualitas itu meliputi pemahaman ajaran Islam secara utuh dan tuntas, wawasan keberagamaan, penghayatan dan pengalamannya. Sebagai proses, maka tuntutan dasarnya adalah peubahan sikap da perilaku yang akan diorientasikan pada sumber nilai yang Islami. Dari dimensi lain pengembangan itu merupakan alat untuk mencapai tujuan dakwah Islamiyah. Di sini kebutuhan dasarnya adalah proyeksi dan kontekstualisasi ajaran Islam dalam proses transformasi sosial. Ini memerlukan kejelian dan kepekaan sosial bagi setiap da'i/mubaligh, agar mampu melakukan pendekatan kebutuhan, yang dipandu oleh sumber nilai Islami.

Aktivitas dakwah dipandang sebagai kegiatan yang memerlukan sebuah keahlian khusus. Oleh karena itu, seorang juru dakwah seharusnya memiliki kualitas sesuai dengan tuntutan zaman. Mengingat suatu skill memerlukan penguasaan pengetahuan, maka dai atau muballigh harus memiliki kualifikasi dan persyaratan akademik dan empirik dalam melaksanakan kewajiban dakwah (Asep Muhyiddin, 2002: 34). Mulkan (1996: 237) bahkan mengatakan bahwa juru dakwah harus memiliki dua kompetensi, yaitu kompetensi substansif dan kompetensi metodologis. Sinergitas antara pribadi dan kelompok mengarah pada lahirnya sebuah perubahan yang lebih baik dan mulia. Perubahan tersebut menyangkut sikap hidup dan perilaku manusia secara individu maupun menyangkut tata kehidupan masyarakat agar senantiasa diliputi rasa kebahagiaan, kesejahteraan, ketentraman, dan kedamaian, baik lahir maupun batin di dunia dan di akherat dalam semua aspek kehidupan.

Dakwah itu sendiri sesungguhnya adalah usaha untuk melakukan perbaikan guna meningkatkan kualitas diri manusia yang sebagaimana dikehendaki oleh Allah melalui ajaran-ajaran-Nya yang telah disampaikan kepada para Nabi dan Rasul-Nya. Hal ini menurut A. Hasjmy (1994: 3) karena dakwah memberi pengertian kepada umat manusia agar mengambil segala ajaran Allah yang  terkandung dalam al-Qur’an untuk menjadi jalan hidupnya.

Kecerdasan seorang dai dalam memilih media atau sarana yang tepat merupakan salah satu unsur keberhasilan dakwah. Media dakwah berguna untuk mengantisipasi perkembangan zaman, dimana ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat yang ditandai dengan kemajuan serta kecanggihan teknologi. Ketertinggalan umat Islam dan sifat tertutup dari dunia luar, sedikit banyak menjadi salah satu sebab ketidakberhasilan dakwah.

Sinyalemen di atas sejalan dengan statemen Quraish Shihab (1994: 194) yang menyatakan bahwa dakwah adalah seruan atau ajakan kepada keinsyafan, atau mengubah situasi yang lebih baik dan sempurna, baik terhadap pribadi maupun masyarakat. Hal ini dikarenakan masyarakat sekarang adalah masyarakat majemuk yang berkembang dengan berbagai kebutuhan praktis sehingga kecanggihan teknologi menjadi idaman dalam kehidupannya.

Seorang dai harus dapat mengajak kepada orang lain secara perorangan dengan tujuan memindahkan mad’u kepada keadaan yang lebih baik dan diridlai Allah (Mahmud, 1992: 29). Fungsi al-Qur’an sebagai furqan harus ditanamkan kepada setiap muslim. Petunjuk-petunjuk Allah dalam al-Qur’an harus dijadikan sebagai panduan moral untuk membedakan antara yang haq dan bathil.

Efektifitas dakwah mempunyai dua strategi yang saling mempengaruhi keberhasilannya. Pertama, peningkatan kualitas keberagamaan dengan berbagai cakupannya seperti di atas, dan kedua, sekaligus mampu mendorong perubahan sosial. Ini berarti memerlukan pendekatan partisipatif di samping pendekatan kebutuhan. Dakwah bukan lagi menggunakan pendekatan yang hanya direncanakan sepihak oleh pelaku dakwah dan bukan pula hanya pendekatan tradisional, mengutamakan besarnya massa. Suasana seperti itulah yang membuat dai dan mad’u terlibat diskusi secara dialogis tentang dakwah Islam itu sendiri. Dengan demikian pola pikir antar keduanya dapat disatukan dan dimodifikasikan untuk menjadi pola pikir dan aksi secara konsisten. Pandangan seperti ini sejalan dengan statemen Benedict  (1973: 29) dalam Theories of Man and Culture, di mana ia menyatakan: All thought a culture is the chance accumulation of so many disparate elements for tuitously assembled from all direction by diffusion, the constituent elements a remodified to form a more or less consistent pattern of thought and action. “Semua pikiran adalah suatu kultur akumulasi yang memberi kesempatan sangat banyak bagi unsur-unsur yang berlainan untuk dirakit dari semua arah difusi, unsur-unsur yang konstituen dapat dimodifikasi kembali untuk membentuk suatu contoh pola aksi dan pikiran konsisten yang lebih besar”.

Pada dasarnya semua manusia yang sudah baligh, laki-laki maupun perempuan diperintahkan oleh Allah untuk saling menopang demi terlaksana dan tegaknya amar ma’ruf dan nahi munkar. Penegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar akan menjadi parameter kualitas khaira ummah. Menurut Ibnu Katsir Umat yang terbaik adalah umat yang terbaik bagi manusia dari sisi kemanfaatan mereka (Aunur Rahim Faqih, 2006: 52). Dengan kata lain, kebaikan umat itu hanya ada pada implementasi dakwah yang berwujud amar ma’ruf dan nahi munkar secara konsisten dan berkesinambungan.

Imam Abdullah an-Nasafi (2001: 194) dalam kitabnya Tafsir an-Nasafi menjelaskan mengenai amar ma’ruf dan nahi munkar sebagai berikut:
اَلْمَعْرُوْفُ مَااسْتَحْسَنَ الشَّرْعُ وَالْعَقْلُ وَالْمُنْكَرُ مَااسْتَقْجَهُ الشَّرْعُ وَالْعَقْلُ، أَوِالْمَعْرُوْفُ مَاوَافَقَ الْكِتَابَ وَالسُّنَةَ. وَالْمُنْكَرُمَاخَالَفَهُمَا، أَوِالْمَعْرُوْفُ الطَّاعَةُ وَالْمُنْكَرُالْمَعَاصِيْ                                     

Al-Ma’ruf adalah apa yang dinyatakan baik oleh syara’ dan akal, sedangkan al-munkar adalah apa yang dinyatakan buruk oleh syara’ dan akal. Bisa juga, al-ma’ruf ialah sesuatu yang bersesuain dengan al-kitab dan as-sunnah, sedangkan al-munkar adalah yang berseberangan dengan keduanya. Atau bisa juga al-ma’ruf adalah ketaatan kepada Allah, sementara al-munkar adalah kemaksiatan kepada-Nya”.

Kesimpulan

Munculnya kesenjangan sosial dan keterbelakangan umat Islam dalam penguasaan ekonomi dan tekhnologi membutuhkan gerakan dakwah yang bersifat aplikatif bukan teoritis. Dakwah sebagai agen penyebaran dan pembangunan umat dituntut harus dapat merespon, menjawab atau memberikan solusi atas munculnya persoalan umat. Dakwah sebagai konsep dan gerakan yang menekankan prinsip bi al-hikmah wa al-mau'idzatul al-khasanah dapat memasuki wilayah spektrum kegiatan manusia yang sangat luas sehingga fungsi penyelenggaraan dakwah harus mampu mentransformasikan ide-ide atau konsep agama ke dalam dataran praksis. Dakwah yang menekankan adanya perubahan dan perbaikan kehidupan masyarakat inilah yang selama ini dikenal dengan dakwah bil hal.

Era informasi sekarang ini merupakan tantangan sekaligus peluang bagi syi’ar Islam yang harus mampu untuk melakukan dakwah melalui tulisan di media cetak, melalui rubrik, kolom opini yang umumnya terdapat dalam surat kabar harian tabloid mingguan, majalah atau buletin internal masjid. Penyampaian pesan dakwah keagamaan adalah kewajiban setiap manusia untuk menuju ke arah kebenaran yang dalam penyampaian kebenaran tersebut sangat beragam metode dan caranya, baik melalui lisan, tauladan yang baik dan dengan melalui tulisan di media massa, baik cetak maupun elektronik.

Da’i adalah orang yang melaksanakan dakwah baik lisan maupun tulisan ataupun perbuatan, dan baik secara individu, kelompok atau berbentuk  organisasi atau lembaga. Secara umum adalah setiap muslimin atau muslimat yang mukallaf (dewasa) dimana bagi mereka kewajiban dakwah adalah sesuatu yang melekat tidak terpisahkan dari misinya sebagai penganut Islam, sesuai dengan perintah: “sampaikan walaupun satu ayat”. Sedangkan secara khusus orang yang menjadi dai yaitu orang-orang yang mengambil spesialisasi khusus (mutakhasis) dalam bidang agama Islam yang dikenal dengan panggilan ulama.

Proses dakwah sangat memerlukan da’i sebagai unsur yang akan mensosialisasikan ajaran-ajaran agama. Tanpa da’i bagaimanapun baiknya ajaran agama pasti tidak mungkin bisa tersebar. Begitu pentingnya unsur da’i dalam dakwah, maka diperlukan orang-orang yang bisa mengemban tugas mulia itu. Oleh karena itu untuk mendukung proses dakwah agar dapat berjalan dengan baik, maka seorang dai memiliki kemampuan-kemampuan atau kompetensi-kompetensi yang menunjang demi suksesnya kegiatan dakwah yang dilakukannya. Memang hal ini tidak mudah, memerlukan da'i-da'i berkualitas, sebagai personifikasi sikap dan erilaku dalam kehidupan Islami, yang mampu mengaktualisasikan dirinya di tengah-tengah pluralitas masyarakat. Dalam hal ini Allah telah mengisyaratkan dalam surat Ali Imran ayat 110. Bahwa para da'i harus menjadi khaira ummah yang punya kemampuan menampilkan dirinya di tengah dan untuk masyarakat (ukhrijat li al-naas). Ini berarti pelaku dakwah (da'i) harus memiliki kemampuan menjawab sekaligus menerapkan jawaban atas pertanyaan apa, siapa di mana dan kapan ia berada. Kemampuan ini bisa menumbuhkan kesadaran akan potensi dirinya, posisinya, situasi dan kondisi yang sedang dan akan dihadapinya. Barulah ia mampu menggunakan pilihan-pilihan penerapan metode hikmah, mau'dhah hasanah, mujadalah bi ihsan dan lain sebagainya yang tepat dan mendukung strategi dakwah.

Dakwah Islamiyah menuntut adanya kemampuan seorang dai untuk meletakkan Islam pada posisi pendamai dan pemberi makna terhadap kotradiksi dan konflik dalam kehidupan manusia akibat globalisasi di segala bidang. Di samping itu, manusia dalam kehidupannya selalu menjumpai berbagai macam kontradiksi dan dikotomi yang inhern dalam eksistensinya, seperti mati-hidup, sementara-permanen, kebebasan-keterbatasan dan lain-lain. Secara historis, manusia juga menghadapi kontradiksi, seperti kaya-miskin, bodoh-pandai dan sebagainya. Di sini dakwah secara konseptual harus merumuskan keseimbangan-keseimbangan yang secara implementatif mampu menumbuhkan sistem manajemen konflik. Dengan demikian ajaran Islam menjadi alternatif terhadap upaya mencari solusi pengembangan sumber daya manusia seutuhnya

Kompetensi mubaligh atau mubalighot adalah sejumlah pemahaman, pengetahuan, penghayatan dan perilaku serta ketrampilan tertentu yang harus ada pada diri mereka agar mereka dapat melaksanakan fungsinya dengan memadai. Dengan demikian, kompetensi bagi seorang dai adalah suatu penggambaran ideal dan sekaligus sebagai target yang harus mereka penuhi. Kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang da’i meliputi kompetensi substantif dan kompetensi metodologis. Kompetensi substantif  berupa kondisi-kondisi mubaligh dalam dimensi idealnya atau kompetensi dasar bagi mubaligh atau da’i. Sedangkan kompetensi metodologis adalah sejumlah kemampuan yang dituntut ada pada diri seorang mubaligh atau mubalighot yang terkait dengan masalah perencanaan dan metodologi dakwah. Dengan ungkapan lain, kompetensi metodologis ialah kemampuan yang ada pada diri mubaligh sehingga ia: (a) mampu membuat perencanaan dakwah (persiapan kegiatan dakwah) yang akan dilakukan dengan baik, dan (b) sekaligus mampu melaksanakan perencanaan tersebut..


Penulis adalah suami dari Wenny Nurul 'Aini, S.Pd.I (Guru Tahfidzul Qur'an SMP Islam al-Irsyad Gandrungamngu Cilacap/Ketua Umum Pimpinan Cabang Nasyiatul 'Aisyiyah Kecamatan Gandrungmangu Cilacap) sekaligus ayah dari sasa dan Debi (Siswi SDN gandrungmangu 01) yang sekarang sedang menempuh pendidikan di Program Pascasarjana Universitas Wiralodra Indramayu Jawa Barat

DAFTAR PUSTAKA
An-Nasafi, Abdullah ibn Ahmad ibn Mahmud. 2001. Tafsir an-Nasafi Madarik at-Tanzil wa Haqa’iq at-Ta’wil. Juz I. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.

Arnold, Thomas W. 1981. Sejarah Da’wah Islam (The Preacing of Islam). Cet. Kedua. Alih Bahasa A. Nawawi Rambe. Jakarta: Widjaya.

Azhar, Muhammad. 2003. “Beberapa Catatan tentang Problematika Dakwah”, Suara Aisyiyah, No. 02, Th. Ke-80, Februari 2003.

Faqih, Aunur Rahim. 2006. Esensi, Urgensi & Problem Dakwah. Yogyakarta: LPPAI UII.

Hasjmy, A. 1994. Dustur Dakwah Menurut al-Qur’an. Jakarta: Bulan Bintang.

Hatch, Elvin. 1973. Theories of Man and Culture. New York: Columbia University Press.

Jasad, Usman. 2004.Problematika Dakwah dan Alternatif Pemecahannya”, Muhammadiyah, No. 09. Th. Ke-89, 1-15 Mei 2004.

KH. MA Sahal Mahfudz, “Dakwah Yang Partispatif”, http://pcinu-mesir.tripod.com/ilmiah/pusaka/ispustaka/buku07/011.htm. Donwload pada tanggal 21 Maret 2009.

Machendrawaty, Nanih dan Agus Ahmad Safei. 2001. Pengembangan Masyarakat Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mahmud, Ali Abdul Halim. 1992. Dakwah Fardhiyah, Metode Membentuk Pribadi Muslim. Jakarta: Gema Insani Press.

Muhyiddin, Asep. 2002. Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia.

Munir Mulkan, Abdul. 1996. Ideologisasi Gerakan Dakwah. Yogyakarta: Sipress.

Puteh, Jakfar. 2006. Dakwah Tekstual dan Kontekstual. Yogyakarta: Group.

Shihab, Quraish. 1994.  Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan.