BUDAYA ORGANISASI
Oleh: TARQUM AZIZ
A. Pendahuluan
Sebagai makhluk sosial, setiap manusia senantiasa berinteraksi
dengan manusia lainnya, bahkan cenderung hidup berkelompok atau berorganisasi
untuk mencapai tujuan bersama yang tidak mungkin dicapai bila ia sendiri.
Interaksi dan kerja sama ini akan terus berkembang dengan teratur sehingga
membentuk wadah yang disebut dengan organisasi. Interaksi atau hubungan antar
individu-individu dan kelompok/tim dalam setiap organisasi akan memunculkan
harapan-harapan. Harapan ini kemudian akan menimbulkan peranan-peranan tertentu
yang harus diemban oleh masing-masing individu untuk mewujudkan visi, misi, dan
tujuan organisasi/kelompok.
Budaya organisasi berkaitan erat dengan pemeberdayaan karyawan (employee empowerement) di suatu
perusahaan/organisasi. Semakin kuat budaya organisasi, semakin besar dorongan
para karyawan untuk maju bersama dengan organisasi. Berdasarkan hal tersebut,
pengenalan, penciptaan, dan pengembangan budaya organisasi dalam suatu
organisasi mutlak diperlukan dalam rangka membangun perusahaan/organisasi yang
efektif dan efisien sesuai dengan misi dan visi yang hendak dicapai. Dengan
demikian antara budaya organisasi dan kinerja organisasi saling terkait kareana
kedua-keduanya ada kesamaan, meskipun dalam kinerja organisasi terdapat hal-hal
khusus, seperi gaya manajemen dan sistem manajemen dan sebagainya, namun
semuanya masih tetap dalam rangkaian budaya organisasi.
Gibson (1998) menyatakan budaya organisasi menentukan apa yang
boleh dan tidak boleh dilakukan oleh anggota organisasi, menentukan batas-batas
normatif perilaku anggota organisasi, menentukan sifat dan bentuk pengendalian
dan pengawasan organisasi, menentukan gaya manajerial yang dapat diterima oleh
anggota organisasi, menentukan cara kerja yang tepat dan lain sebagainya.
Budaya organisasi adalah salah satu wujud anggapan yang dimiliki,
diterima secara implisit oleh kelompok
dan menentukan bagaimana kelompok tersebut rasakan, pikirkan, dan beraksi
terhadap lingkungannya yang beraneka ragam (Kreitner dan Kinicki, 2003:79).
Oleh karena itu, dalam menjalankan sebuah organisasi tidak lepas dari
kontribusi para karyawan dalam mencapai tujuan organisasi, bahwa sumber daya
manusia pada era sekarang ini semakin besar peranannya dalam mencapai sukses organisasi.
Harriss dan Mossholder (1996), bahwa budaya organisasi berdiri sebagai pusat dari
seluruh faktor yang berasal dari manajemen sumberdaya manusia. Budaya
organisasi dipercaya mempengaruhi setiap individu mengenai hasil seperti
komitmen, motivasi, moral dan kepuasan (Chen,2004). Sedangkan Wallach (1983),
menunjukkan bahwa kinerja karyawan dalam hasil kerja yang menyenangkan termasuk
kepuasan kerja, cenderung untuk tinggal dalam organisasi dan keterlibatan
kerja, tergantung pada kecocokan antara karakteristik individu dan budaya
organisasi.
Budaya organisasi merupakan variabel kunci yang bisa mendorong
keberhasilan perusahaan. Meski tidak sepenuhnya benar, bahwa perusahaan yang
berhasil ternyata mempunyai budaya yang kuat. Bagi Denison (1990), dan Kotter
dan Heskett (1992), perusahaan yang berhasil bukan sekedar mempunyai budaya
yang kuat akan tetapi budaya yang kuat tersebut harus cocok dengan
lingkungannya.
B. Konsep Pokok Budaya
Organisasi
1.
Perspektif budaya organisasi
Perspektif
ini melahirkan kebudayaan sebagai suatu yang bersifat fisik dan konkret yang
melekat pada sistem sosial masyarakat sebagai sebuah struktur dengan
batas-batas yang pasti dalam sistem sosial. Sebaliknya jika ditelaah dari
perspektif subjektif, kebudayaan tersusun atas teori-teori dunia para
anggotanya, yakni makna, lambang dan nilai-nilai yang dimiliki bersama. Dunia
kebudayaan dan dunia sosial dilihat sebagai sesuatu yang berbeda tetapi
berinterelasi. Artinya dimensi kebudayaan suatu masyarakat dapat berkembang
secara tidak serasi dengan dimensi struktur dan proses formalnya. Inti
kajiannya terpusat pada upaya mengungkap sifat simbolik dari struktur dan
peristiwa dalam masyarakat. Yang dicari adalah makna yang bersifat mendalam
dari peristiwa, tindakan, dan segala sesuatu yang menjadi latar belakang di
samping yang bersifat instrumental.
Adanya
dikotomi perspektif budaya sebagaimana di uraikan di atas, menurut Alvesson dan
Berg (1988) yang dikutip Poespadibrata (1993:160), seringkali menimbulkan
kerancuan dalam studi dan pembahasan tentang budaya organisasional. Karena itu,
dalam konteks penelitian pemahaman terhadap pendekatan atau teori mana yang
akan digunakan menjadi penting. Mengingat, bagaimana budaya organisasi
dikonsepsikan akan berpengaruh kepada bagaimana budaya organisasi
didefinisikan.
Kluckhohn
(Pace,1998:90) menjabarkan tiga perspektif budaya secara luas mengenai budaya
yang diterapkan pada situasi organisasi, yaitu: perspektif holistik, perspektif
variabel, dan perspektif kognitif. Perspektif holistik memandang budaya sebagai
cara-cara terpola mengenai berpikir, menggunakan perasaan dan bereaksi. Sedangkan
Perspektif variabel penekanannya pada pengekpresian budaya. Sementara
perspektif kognitif memberi penekanan kepada keyakinan, nilai-nilai, dan
norma-norma, pengetahuan yang diorganisasikan yang ada dalam pikiran
orang-orang untuk memahami realitas. Dalam perspektif kognitif ini, esensi
budaya adalah konstruksi bersama mengenai realitas sosial.
2.
Budaya organisasi sebagai
sub komponen profil kapabilitas manajemen
Budaya organisasi dapat digambarkan
sebagai nilai, norma dan artefak yang
diterima oleh anggota organisasi sebagai iklim organisasi ia akan mempengaruhi
dan dipengaruhi strategi organisasi, struktur dan sistem organisasi, sehingga
dianggap bernilai positif dan pantas diajarkan kepada karyawan baru sebagai
cara yang tepat untuk berpikir dan bertindak
dalam menjalankan tugas. Budaya organisasi selanjutnya menjadi identitas
atau karakter utama organisasi yang dipelihara dan dipertahankan (Mas’ud,
2004:68).
Suatu budaya yang kuat merupakan
perangkat yang sangat bermanfaat untuk mengarahkan perilaku, karena membantu
anggota untuk melakukan pekerjaan yang lebih baik sehingga setiap anggota pada
awal karirnya perlu memahami budaya dan bagaimana budaya tersebut terimplementasikan.
Schenieder menegaskan bahwa budaya organisasi berkaitan dengan konteks
perkembangan organisasi, artinya budaya berakar pada sejarah organisasi,
diyakini bersama-sama dan tidak mudah dimanipulasi secara langsung (Cahyono
2005:68). Budaya organisasi memiliki peran untuk mengubah sikap dan juga
perilaku sumber daya manusia atau karyawan yang ada agar dapat meningkatkan
produktivitas kerja untuk menghadapi berbagai tantangan di masa yang akan
datang, dan tanggap dengan perkembangan dunia luar.
Hofstede (Muljono,2003) mengemukakan
bahwa pada umumnya organisasi yang sukses memiliki budaya yang kuat sekaligus
khas termasuk mitos-mitos yang memperkuat budaya organisasi. Budaya organisasi
yang kuat dapat meningkatkan kompetensi, membangun konsistensi dan komitmen
sehingga dengan demikian seluruh anggota organisasi akan termotivasi untuk
selalu beradaptasi dengan tuntutan lingkungan yang terus berubah.
Budaya
organisasi merupakan falsafah, ideologi, nilai-nilai, anggapan, keyakinan,
harapan, sikap dan norma-norma yang dimiliki secara bersama serta mengikat
dalam suatu komunitas tertentu. Secara spesifik budaya dalam organisasi akan
ditentukan oleh kondisi team work, leaders yang ada dan characteristic
of organization serta administration
process yang berlaku (Koesmono, 2006:86). Budaya organisasi penting, karena
merupakan kebiasaan-kebiasaan yang terjadi dalam hirarki organisasi yang
mewakili norma-norma perilaku yang diikuti oleh para anggota organisasi. Budaya
organisasi yang produktif adalah budaya yang dapat menjadikan organisasi
menjadi kuat dan tujuannya dapat terakomodasi.
Mengingat
budaya organisasi merupakan suatu kesepakatan bersama para anggota dalam suatu
organisasi atau perusahaan sehingga mempermudah lahirnya kesepakatan yang lebih
luas untuk kepentingan perorangan. Keutamaan budaya organisasi merupakan pengendali dan arah dalam membentuk
sikap dan perilaku manusia yang melibatkan diri dalam suatu kegiatan
organisasi. Secara individu maupun kelompok seseorang tidak akan terlepas dengan
budaya organisasi dan pada umumnya mereka akan dipengaruhi oleh keaneka ragaman
sumber-sumber daya yang ada sebagai stimulus seseorang bertindak.
Berdasarkan dari uraian di atas dapat
ditarik kesimpulan bahwa budaya organisasi berfungsi mengubah sikap dan
perilaku karyawan, agar dapat meningkatkan produktivitas kerjanya.
3.
Empat dimensi nilai budaya
organisasi
Davis (2005) menyatakan, budaya
organisasi adalah pola keyakinan dan nilai-nilai yang dipahami dan dijiwai (shared) oleh anggota organisasi sehingga
pola tersebut memberikan makna tersendiri bagi organisasi bersangkutan dan
menjadi dasar aturan berperilaku didalam organisasi. Menurut Luthans (2006),
budaya organisasi merupakan norma-norma dan nilai-nilai yang mengarahkan
perilaku anggota organisasi. Setiap anggota akan berperilaku sesuai dengan
budaya yang berlaku, agar diterima oleh lingkungannya.
Hopstede (Robbin, 2003:55),
mendefinisikan budaya organisasi sebagai keseluruhan pola pemikiran, perasaan
dan tindakan dari suatu kelompok sosial yang membedakan dengan kelompok sosial
yang lain. Setelah mempelajari budaya organisasi di berbagai negara yang
akhirnya melahirkan empat dimensi budaya, yaitu: individu-kolektif (Individualism), jarak kekuasaan (power distance), maskulin-feminin (masculinity), penghindaran
ketidakpastian (uncertainty avoidance).
a.
Power distance mengandung pengertian kalau anggota institusi memiliki
kekuasaan rendah dalam suatu organisasi dimasyarakat tertentu mencerminkan
terjadinya ketimpangan dalamhal distribusi kekuasaan
b.
Individuality menggambarkan pola kerja yang dilakukan anggota-anggota
suatu organisasi. Artinya mereka cenderung bekerja secara individual
ketimbang bekerja secara koletif.
c.
Uncertainly avoidance menggambarkan tingkat perasaan suatu masyarakat atas ancaman
oleh adanya situasi yang tidak pasti dan tidak diketahuinya.
d.
Masculinity mencerminkan adanya nilai-nilai dominan dalam suatu
masyarakat yang memiliki sifat-sifat tegas, keras hati, dan fokus untuk
mencapai prestasi dan keberhasilan tertentu.
Dengan adanya
empat
dimensi itu, kita jadi mengetahui apa-apa saja yang terjadi pada saat
berorganisasi, dan watak-watak manusia yang berbeda-beda juga. Jadi secara
tidak langsung setelah kita membaca empat dimensi di atas, kita mendapat ilmu
pembelajaran dalam berorganisasi yang baik dan benar dan bisa menjadi orang
yang lebih baik lagi dalam kegiatan organisasi dimana pun.
Secara skematis dimensi budaya Hopstede
dapat diiktisarkan sebagai berikut:
Model Dimensi Budaya Hopstede (1990:67)
4.
Sepuluh ciri utama pembeda
budaya organisasi
Budaya organisasi
yang dapat diamati adalah pola-pola perilaku yang merupakan manifestasi atau ungkapan-ungkapan dari
asumsi-asumsi dasar dan nilai-nilai. Sementara itu, Betts dan HalfhiIl (Robbins,
1996:480) menyatakan bahwa karakteristik utama yang menjadi pembeda budaya
organisasi adalah:
a.
Penekanan kelompok (group emphasis). kegiatan-kegiatan
kerja di organisasi dalam suatu kelompok bukannya kerja perseorangan/individu
namun kelompok.
b.
Toleransi terhadap resiko (risk
tolerance). Sejauh mana para pegawai dianjurkan untuk bertindak agresif,
inovatif dan mengambil risiko.
c.
Fokus pada manusia (people focus). Sejauh mana organisasi dalam
mengambil keputusan yang dilakukan oleh manajemen akan selalu memperhatikan
dampak outcome bagi manusia di dalam organisasi.
d.
Integrasi unit-unit (unit integration). Tingkat sejauh mana unit-unit
di dalam organisasi didukung untuk beroperasi dalam suatu koordinasi dan saling
mengisi.
e.
Orientasi pada hasil akhir (means-end
orientation). Tingkat sejauh mana para manajer memusatkan perhatiannya pada
hasil atau outcome, bukannya pada
teknik-teknik dan proses.
f.
Pengawasan (control). Jumlah peraturan dan pengawasan langsung
yang digunakan untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku pegawai.
g.
Identitas Anggota (member identity).
Tingkat sejauh mana para anggota mengidentifikasi dirinya secara keseluruhan
dengan organisasinya ketimbang dengan kelompok kerja tertentu atau dengan
bidang keahlian profesional.
h.
Kriteria penghargaan (reward
criteria), bahwa penghargaan seperti kenaikan upah dan promosi dialokasikan
sesuai dengan prestasi atau kinerja pegawai, dan bukan berdasarkan senioritas,
favoritisme atau faktor-faktor non kinerja lainnya.
i.
Toleransi terhadap konflik (confict tolerance). Tingkat sejauh mana para pegawai didorong untuk mengemukakan
konflik (bersaing sehat) dan
kritik secara terbuka.
j.
Mengutamakan sistem terbuka (open
system focus). Tingkat sejauh mana komunikasi organisasi selalu memantau
dan menanggapi setiap perubahan yang terjadi di luar lingkungan organisasi.
.
Tiap
kharakteristik ini berlangsung pada
suatu kontinum dan rendah ke tinggi,
maka dengan menilai organisasi inti berdasarkan karakteristik-karakteristik ini
akan diperoleh gambaran majemuk dan budaya organisasi yaitu dan yang paling konservatif hingga
paling inovatif.
C.
Empat jenis budaya
a.
Kooperatif, di mana para
manajer berperan untuk mendorong karyawan untuk
mengidentifikasi diri yang pada akhirnya akan menginternalisasi keyakinan,
nilai, dan asumsi organisasi, sehingga lebih
mudah menggerakkan sumber daya manusia untuk mencapai kemajuan dari suatu
perusahaan.
b.
Kompetitif, di mana para anggota dituntun mampu
menjadi aset yang menciptakan nilai tambah buat kehidupan stakeholdernya.
c.
Pasif, di mana para anggota percaya bahwa
mereka harus berinteraksi dengan orang-orang dengan cara yang tidak akan
mengancam keamanan mereka sendiri.
d.
Agresif, di mana para anggota diharapkan untuk
tugas-tugas pendekatan dalam cara-cara yang kuat untuk melindungi status dan
keamanan.
D.
Fungsi dan elemen budaya organisasi
1.
Fungsi Budaya Organisasi
Budaya organisasi
sebagai pedoman untuk mengontrol perilaku anggota organisasi memiliki fungsi
dan manfaat yang berguna bagi organisasi. Budaya organisasi berfungsi sebagai
perekat, pemersatu, identitas, citra, motivator bagi seluruh karyawan dan
orang-orang yang ada di dalamnya (Arifin, 2010: 174).
Budaya organisasi
sebagai pedoman untuk mengontrol perilaku anggota organisasi, pasti memiliki
fungsi dan manfaat yang berguna bagi organisasi. Robbins (2003: 311),
menyatakan bahwa fungsi budaya organisasi
sebagai (a). pembedaan yang jelas antara satu organisasi dan yang lain.
(b). suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi. (c). media untuk mempermudah
timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri
individual seseorang. (d). perekat sosial yang membantu mempersatukan
organisasi itu dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk dilakukan
oleh karyawan. (e). mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan
membentuk sikap serta perilaku karyawan.
Kelima fungsi
tersebut menunjukkan bahwa budaya organisasi dapat membentuk perilaku dan
tindakan karyawan dalam menjalankan aktivitasnya di dalam organisasi, sehingga
nilai-nilai yang ada dalam budaya organisasi perlu ditanamkan sejak dini pada
setiap individu.
Ndraha (2010: 45)
mengemukakan fungsi budaya organisasi sebagai: (a). identitas dan citra suatu
masyarakat. (b). pengikat suatu
masyarakat. (c). sumber inspirasi,
kebanggaan dan sumber daya. (d). kekuatan penggerak..(e). kemampuan untuk membentuk nilai tambah.
(f). pola perilaku. (g). warisan. (h).
pengganti formalisasi. (i). mekanisme adaptasi terhadap perubahan. (j). proses menjadikan bangsa kongruen dengan
negara sehingga terbentuk nation state.
Menurut Robbins (2003:525)
ada tujuh karakteristik dari budaya organisasi, antara lain:
a)
Inovasi dan pengambilan resiko (Innovation
and risk taking). Sejauh mana
para karyawan didorong untuk inovatif dan mengambil resiko.
b)
Perhatian ke rincian (Attention to detail). Sejauh mana karyawan diharapkan memperlihatkan kecermatan (precision), analisis, dan perhatian kepada rincian.
c)
Orientasi hasil (Outcome
orientation). Sejauh mana manajemen memfokuskan
pada hasil bukannya pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil
itu.
d)
Orientasi orang (People
orientation). Sejauh mana keputusan manajemen
memperhitungkan efek hasil pada orang-orang di dalam organisasi itu.
e)
Orientasi tim (Team orientation). Sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan sekitar tim-tim,
bukannya individu-individu.
f)
Keagresifan (Aggressiveness). Sejauh mana orang-orang itu agresif dan kompetitif dan
bukannya santai-santai.
g)
Kemantapan (Stability). Sejauh mana kegiatan organisasi menekankan
dipertahankannya status quo sebagai kontras dari pertumbuhan.
Tiap karakteristik
ini berlangsung pada suatu kontinuitas dari rendah ke tinggi, maka dengan
menilai organisasi itu berdasarkan tujuh karakteristik ini, akan diperoleh
gambaran majemuk dari budaya organisasi itu. Gambaran ini menjadi dasar untuk
perasaan pemahaman bersama yang dimiliki para anggota mengenai organisasi, bagaimana
urusan diselesaikan di dalamnya, dan cara para anggota diharapkan berperilaku.
2.
Elemen Budaya Organisasi
Budaya organisasi
terdiri dari beberapa elemen yang berbeda, di mana masing-masing elemen
memerlukan pengetahuan tersendiri agar setiap manusia dapat memahami budaya
secara utuh. Secara umum dapat disimpulkan bahwa elemen budaya organisasi
terdiri dari dua elemen pokok, yaitu:
a.
Elemen yang idealistik
F. Landa Jocano
(Achmad, 2007:152) mengatakan bahwa elemen ini dikatakan idealistik karena
elemen ini menjadi idiologi organisasi yang tidak mudah berubah walaupun di
sisi lain organisasi secara natural selalu harus berubah beradaptasi dengan
lingkungannya. Elemen inijuga bersifat terselubung (eklusive), tidak tampak ke permukaan (hidden) dan hanya orang-orang tertentu saja (elit organisasi) yang
tahu apa sesungguhnya idiologi mereka dan mengapa organisasi tersebut
didirikan.
Stanley Davis
(Achmad, 2007:154) menyebut elemen idealistik sebagai keyakinan menjadi
penuntun kehidupan sehari-hari organisasi (guiding
belief). Sedangkan Hofstede, menyebutnya sebagai nilai-nilai organisasi (organizational values). Sementara Schein
dan Rousseau, mengatakan bahwa elemen yang idealistik tidak hanya terdiri dari
nilai-nilai organisasi tetapi masih ada komponen yang lebih esensial, yaitu
asumsi dasar (basic assumptions) yang
bersifat dapat diterima apa adanya (taken
for granted) dan dilakukan di luar kesadaran (unconscious).
b.
Elemen Behavioral
F. Landa Jocano
menyatakan bahwa elemen yang bersifat behavioral adalah elemen yang kasat mata,
muncul ke permukaan dalam bentuk perilaku sehari-hari para anggotanya dan
bentuk-bentuk lain seperti desain dan arsitektur organisasi (Achmad, 2007:152).
Itu sebabnya ketika orang luar organisasi mencoba mengidentifikasi dan memahami
budaya sebuah organisasi, maka cara yang paling mudah yang dapat mereka lakukan
adalah dengan mengamati bagaimana para anggotanya berperilaku dan kebiasaan
lain yang mereka lakukan.
Davis (Achmad,
2007:155) menyebutnya sebagai praktek sehari-hari sebuah organisasi (daily belief). Hofstede mengatakan bahwa
kebiasaan tersebut muncul dalam bentuk praktek-praktek manajemen, apakah sebuah
organisasi lebih berorientasi pada proses atau hasil, lebih peduli pada
kepentingan karyawan atau pekerjaan, lebih professional, lebih terbuka atau
tertutup, dan lebih pragmatis atau normatif (Achmad, 2007:156).
Schein dan Rousseau
(Achmad, 2007:156), mengatakan bahwa kebiasaan sehari-hari muncul dalam bentuk
artefak, termasuk di dalamnya adalah perilaku para anggota organisasi. Artefak
bisa berupa bentuk atau arsitektur bangunan, logo, cara berkomunikasi, cara
berpakaian atau cara bertindak yang bisa dipahami oleh orang luar organisasi.
Elemen budaya organisasi menurut berbagai sumber
Sumber
|
Elemen Budaya
Organisasi
|
||||
F. Landa Jocano
(1988,1990)
|
Idealistik
|
Behavioral
|
|||
Stanley Davis
(1984)
|
Guiding belief
|
Daily belief
|
|||
Geert Hofstede
(1980, 1997)
|
Nilai-nilai
organisasi
|
Praktek-praktek
manajemen
|
|||
Edgar Schein (1985,
1997)
|
Asumsi dasar
|
Nilai-nilai
organisasi
|
Artefak
|
||
Denise Rousseau
(1990)
|
Asumsi dasar
|
Nilai-nilai
Organisasi
|
Norma
perilaku
|
Perilaku
organisasi
|
Artefak
|
Bath C.G. (1996)
|
Motivational Roots
|
Emotional Ground
|
Mindset
|
Perilaku
Organisasi
|
Artefak
|
Sumber:
Sobirin 2007
E.
Siklus hidup organisasi
Siklus hidup
organisasi adalah suatu tahapan perkembangan yang dialami oleh setiap
organisasi beserta kondisi, kesulitan dan masalah-masalah transisi serta
implikasi yang mengikuti dari setiap perkembangan tersebut. Seperti juga
kehidupan organisme, pertumbuhan dan kemunduran setiap organisasi terutama
disebabkan oleh dua factor, yaitu fleksibilitas dalam merespon setiap perubahan
lingkungan dan kekakuan (controllability)
dalam merespon setiap perubahan (Adizes, 1996).
Setiap
tahapan-tahapan yang dilalui oleh organisasi akan selalu memunculkan kesulitan
atau masalah yang memerlukan penanganan baik secara internal maupun intervensi
dari pihak luar (eksternal). Tahapan perkembangan organisasi sendiri sebenarnya
dapat diprediksi dan bersifat repetitif (Adizes, 1999). Oleh karena itu,
pemahaman terhadap setiap perkembangan tahapan organisasi memberikan kemampuan
kepada pimpinan organisasi untuk secara proaktif dan preventif dan menyongsong
persoalan-persoalan organisasi di masa datang, atau jika tidak mampu, bagaimana
sebisa mungkin menghindari masalah-masalah tersebut.
Siklus Hidup Organisasi : Suatu Analisis Perkembangan Organisasi
Ichak Adizes (1989) menguraikan
tiga tahapan utama yaitu; (1). Tahap pertumbuhan (growing stages) yang meliputi masa pengenalan (courtship), masa bayi (infancy),
dan masa kanak-kanak (go-go); (2).
Masa coming of age yang meliputi masa
kedewasaan (adolescence) dan masa
puncak/keemasan (prime); dan (3).
Tahap Penurunan (aging organizations)
yang meliputi masa kemapanan (stable
organizations), masa aristokrasi (aristoccracy),
masa birokrasi awal (early bureaucracy)
dan masa birokrasi dan mati (bureaucracy
and death).
F.
Konflik organisasi
Konflik berasal
dari kata kerja configere yang artinya saling memukul.
Dilihat dari sisi sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial
antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak
berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak
berdaya. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa
individu. Hal itu lalu menimbulkan perbedaan yang menyangkut ciri fisik,
kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Karena
ciri-ciri individu dibawa dalam hal interaksi sosial, konflik merupakan hal
yang wajar. Dalam kehidupan sehari-hari tidak satu masyarakat pun yang tidak
pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat
lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu
sendiri.
Konflik adalah suatu
proses antara dua orang atau lebih dimana salah satu pihak berusaha
menyingkirkan pihak lain dengan cara menghancurkannya atau membuatnya menjadi
tidak berdaya. Konflik organisasi menurut Robbins (1996) adalah suatu proses
interaksi yang terjadi akibat adanya ketidaksesuaian antara dua pendapat (sudut
pandang) yang berpengaruh terhadap pihak-pihak yang terlibat baik pengaruh
positif maupun pengaruh negatif.
Ada lima jenis
konflik dalam kehidupan organisasi:
1.
Konflik dalam diri individu, yang
terjadi bila seorang individu menghadapi ketidakpastian tentang pekerjaan yang
dia harapkan untuk melaksanakannya. Bila berbagai permintaan pekerjaan saling
bertentangan, atau bila individu diharapkan untuk melakukan lebih dari
kemampuannya.
2.
Konflik antar individu dalam
organisasi yang sama, dimana hal ini sering diakibatkan oleh perbedaan-perbedaan
kepribadian. Konflik ini berasal dari adanya konflik antar peranan (seperti
antara manajer dan bawahan).
3.
Konflik antar individu dan kelompok, yang berhubungan dengan cara
individu menanggapi tekanan untuk keseragaman yang dipaksakan oleh kelompok
kerja mereka. Sebagai contoh, seorang individu mungkin dihukum atau diasingkan
oleh kelompok kerjanya karena melanggar norma-norma kelompok.
4.
Konflik antar kelompok dalam organisasi yang sama, karena terjadi
pertentangan kepentingan antar kelompok atau antar organisasi.
5. Konflik
antar organisasi, yang timbul sebagai akibat bentuk persaingan ekonomi dalam
sistem perekonomian suatu negara. Konflik ini telah mengarahkan timbulnya
pengembangan produk baru, teknologi, dan jasa, harga-harga lebih rendah, dan
penggunaan sumber daya lebih efisien.
Spiegel (1994)
menjelaskan ada lima tindakan yang dapat kita lakukan dalam penanganan konflik:
1.
Berkompetisi
Tindakan ini dilakukan jika kita mencoba memaksakan kepentingan
sendiri di atas kepentingan pihak lain. Pilihan tindakan ini bisa sukses
dilakukan jika situasi saat itu membutuhkan keputusan yang cepat, kepentingan
salah satu pihak lebih utama dan pilihan kita sangat vital. Hanya perlu
diperhatikan situasi menang-kalah (win-lose
solution) akan terjadi disini. Pihak yang kalah akan merasa dirugikan dan
dapat menjadi konflik yang berkepanjangan. Tindakan ini bisa dilakukan dalam
hubungan atasan bawahan, di mana atasan menempatkan kepentingannya (kepentingan
organisasi) di atas kepentingan bawahan.
2.
Menghindari konflik
Tindakan ini dilakukan jika salah satu pihak menghindari dari
situsasi tersebut secara fisik ataupun psikologis. Sifat tindakan ini hanyalah
menunda konflik yang terjadi. Situasi menang kalah terjadi lagi disini.
Menghindari konflik bisa dilakukan jika masing-masing pihak mencoba untuk
mendinginkan suasana, mebekukan konflik untuk sementara. Dampak kurang baik
bisa terjadi jika pada saat yang kurang tepat konflik meletus kembali, ditambah
lagi jika salah satu pihak menjadi stres karena merasa masih memiliki hutang
menyelesaikan persoalan tersebut.
3.
Akomodasi
Yaitu jika kita mengalah dan mengorbankan beberapa kepentingan
sendiri agar pihak lain mendapat keuntungan dari situasi konflik itu. Disebut
juga sebagai self sacrifying behaviour.
Hal ini dilakukan jika kita merasa bahwa kepentingan pihak lain lebih utama
atau kita ingin tetap menjaga hubungan baik dengan pihak tersebut.
Pertimbangan antara kepentingan pribadi dan hubungan baik menjadi
hal yang utama di sini yaitu:
a.
Kompromi
Tindakan ini dapat dilakukan jika ke dua belah pihak merasa bahwa
kedua hal tersebut sama-sama penting dan hubungan baik menjadi yang utama.
Masing-masing pihak akan mengorbankan sebagian kepentingannya untuk mendapatkan
situasi menang-menang (win-win solution).
b.
Berkolaborasi
Menciptakan situasi menang-menang dengan saling bekerja sama.
Pilihan tindakan ada pada diri kita sendiri dengan konsekuensi dari
masing-masing tindakan. Jika terjadi konflik pada lingkungan kerja, kepentingan
dan hubungan antar pribadi menjadai hal yang harus kita pertimbangkan.
G.
Penutup
Budaya organisasi sebagai nilai yang diyakini oleh anggota organisasi
harus dibangun disesuaikan dengan strategi yang akan diterapkan oleh
perusahaan, karena budaya organisasi yang baik dapat dijadikan sebagai
keunggulan kompetitif bagi perusahaan yang akan lebih sulit ditiru oleh pesaing dibandingkan
dengan keunggulan kompetitif yang sifatnya fisik.
Mengetahui
faktor-faktor yang membentuk budaya organisasi sangat penting dilakukan karena
hal tersebut akan menentukan kemampuan suatu organisasi untuk melakukan
tanggapan pada lingkungan organisasi yang selalu mengalami perubahan. Budaya
organisasi bukan satu-satunya hal yang mempengaruhi kinerja organisasi,
kepemimpinan yang efektif juga merupakan faktor penting yang harus diperhatikan
agar budaya yang terbentuk dapat berjalan dengan baik dan berpengaruh positif
pada kinerja organisasi.
Budaya organisasi
berkaitan dengan bagaimana karyawan memahami karakteristik budaya suatu
organisasi, dan tidak terkait dengan apakah karyawan menyukai karakteristik itu
atau tidak. Budaya organisasi adalah suatu sikap deskriptif, bukan seperti
kepuasan kerja yang lebih bersifat evaluatif.
Deskripsi tentang
siklus hidup organisasi dengan analogi makhluk hidup memberikan suatu wacana
dan pengetahuan bahwa pada dasarnya organisasi mengalami perkembangan, di mana
setiap perkembangan akan memunculkan masalah dan tantangan tersendiri bagi
pengelola organisasi. Inspirasi yang dapat ditarik adalah bagaimana mengelola
organisasi dengan baik dengan mengenali tanda-tanda yang akan membawa kepada
kemunduran organisasi pada setiap tahap perkembangan. Dengan mengenali
tanda-tanda yang negatif pimpinan organisasi dapat melakukan perbaikan (treatment), sehinga organisasi dapat
terus bertahan dan berkembang sesuai dengan cita-cita awal.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Sobirin. 2007. Budaya
Organisasi. Yogyakarta: STIE YKPN.
Cahyono Suharto. 2005. “Pengaruh Budaya Organisasi Kepemimpinan
dan Motivasi Kerja terhadap Kinerja Sumber Daya Manusia di Sekretariat DPRD
Provinsi Jawa Tengah”. JRBI. Vol. 1.
Denison. 1990. Cooporate
Culture and Organizational Effectiveness. New York: Willey.
Djokosantoso Moeljono. 2003. Budaya Korporat dan Keunggulan Korporasi. Jakarta: Elex Media
Komputindo.
E.J. Wallach 1983. “Individual and
Organizations: The Culture Match”. Training and Development Journal, 37:
2.
Fred Luthans. 2006. Perilaku
Organisasi. Yogyakarta: Andi Offset.
Fuad Mas’ud. 2004. Survei
Diagnosis Organisasional. Semarang: BP UNDIP.
Geert Hofstede. 1990. Culture‘s
Consequences, International Differences in Work-Related Values. New Delhi:
Sage Publication, Beverly Hills, London.
H. Malayu Hasibuan. 2006. Manajemen
Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara.
Ichak Adizes. 1996. Corporate
Lifecycles: How and Why Corporations Grow and Die and What to do About It.
New Jersey: Prentice Hall Inc.
J.M. Ivancevich dan R. Konopaske. 2005. Perilaku dan Manajemen Organisasi. Jld. I. Jakarta: Erlangga.
J.P. Kotter and J.L. Heskett. 1992. “Corporate Culture and Performance”. The Free Press, New York.
James L. Gibson. 1998. Organisasi
dan Manajemen: Perilaku, Struktur,
Proses. Jakarta: Erlangga.
Keith Davis and John W. Newstrom. 1985. Perilaku Dalam Organisasi. Jilid 2. Jakarta: Erlangga.
Li Yueh Chen. 2004. “Examining The
Effect of Organization Culture and Leadership Behaviors on
Organizational Commitmen, Job Satisfaction, and Job Performance at Small
and Middle-Size Firms of Taiwan”, The Journal of Amerika of American Academy of
Business, Cambridge, September.
Noor Arifin. 2010. “Analisis Budaya Organisasional Terhadap
Komitmen Kerja Karyawan Dalam Peningkatan Kinerja Organisasional Karyawan Pada Koperasi BMT Di
Kecamatan Jepara”. Jurnal Ekonomi dan
Pendidikan STIENU Jepara. Volume 8. No. 2. November 2010.
R. Wayne Pace dan Don F. Faules. 2002. Komunikasi Organisasi, Strategi meningkatkan Kinerja Perusahaan. Bandung:
Remaja Rosdakarya.
Robert Kreitner dan Kinicki. 2003. Perilaku Organisasi. Jakarta: Salemba Empat.
Robert L. Mathis dan John H. Jackson. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Salemba Empat.
S.G. Harris dan K.W Mossholder. 1996. “The Effective Implication
of Perceived Congruence with Cultural Dimensions During Organizational
Transformation”. Journal of Management, 22.
Stephen P. Robbins. 2003. Perilaku
Organisasi. Jilid 1. Jakarta: Gramedia.
Taliziduhu Ndraha. 2010. Budaya Organisasi. Jakarta: Rineka
Cipta.
Teman Koesmono. 2006. “Pengaruh Budaya Organisasi terhadap
Motivasi, Kepuasan Kerja dan Kinerja Karyawan (Studi pada Perusahaan Pengolahan
Kayu Skala Besar di Jawa Timur)”. Jurnal
Ekuitas. Vol. 10. No. 1. Maret 2006.
Wahyudin. 2008. Manajemen Konflik dalam Organisasi. Bandung: Al Fabeta.
Wirawan. 2007. Budaya dan
Iklim Organisasi, Teori Aplikasi dan Penelitian. Jakarta: Salemba Empat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar