Warning


SELAMAT DATANG CALON SANTRI BARU ANGKATAN KEDUA
PESANTREN MBS CILACAP

Kamis, 20 November 2014

BUDAYA ORGANISASI


BUDAYA ORGANISASI
Oleh: TARQUM AZIZ

A.     Pendahuluan
Sebagai makhluk sosial, setiap manusia senantiasa berinteraksi dengan manusia lainnya, bahkan cenderung hidup berkelompok atau berorganisasi untuk mencapai tujuan bersama yang tidak mungkin dicapai bila ia sendiri. Interaksi dan kerja sama ini akan terus berkembang dengan teratur sehingga membentuk wadah yang disebut dengan organisasi. Interaksi atau hubungan antar individu-individu dan kelompok/tim dalam setiap organisasi akan memunculkan harapan-harapan. Harapan ini kemudian akan menimbulkan peranan-peranan tertentu yang harus diemban oleh masing-masing individu untuk mewujudkan visi, misi, dan tujuan organisasi/kelompok.
Budaya organisasi berkaitan erat dengan pemeberdayaan karyawan (employee empowerement) di suatu perusahaan/organisasi. Semakin kuat budaya organisasi, semakin besar dorongan para karyawan untuk maju bersama dengan organisasi. Berdasarkan hal tersebut, pengenalan, penciptaan, dan pengembangan budaya organisasi dalam suatu organisasi mutlak diperlukan dalam rangka membangun perusahaan/organisasi yang efektif dan efisien sesuai dengan misi dan visi yang hendak dicapai. Dengan demikian antara budaya organisasi dan kinerja organisasi saling terkait kareana kedua-keduanya ada kesamaan, meskipun dalam kinerja organisasi terdapat hal-hal khusus, seperi gaya manajemen dan sistem manajemen dan sebagainya, namun semuanya masih tetap dalam rangkaian budaya organisasi.
Gibson (1998) menyatakan budaya organisasi menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh anggota organisasi, menentukan batas-batas normatif perilaku anggota organisasi, menentukan sifat dan bentuk pengendalian dan pengawasan organisasi, menentukan gaya manajerial yang dapat diterima oleh anggota organisasi, menentukan cara kerja yang tepat dan lain sebagainya.
Budaya organisasi adalah salah satu wujud anggapan yang dimiliki, diterima secara implisit oleh  kelompok dan menentukan bagaimana kelompok tersebut rasakan, pikirkan, dan beraksi terhadap lingkungannya yang beraneka ragam (Kreitner dan Kinicki, 2003:79). Oleh karena itu, dalam menjalankan sebuah organisasi tidak lepas dari kontribusi para karyawan dalam mencapai tujuan organisasi, bahwa sumber daya manusia pada era sekarang ini semakin besar peranannya dalam mencapai sukses organisasi.
Harriss dan Mossholder (1996), bahwa  budaya organisasi berdiri sebagai pusat dari seluruh faktor yang berasal dari manajemen sumberdaya manusia. Budaya organisasi dipercaya mempengaruhi setiap individu mengenai hasil seperti komitmen, motivasi, moral dan kepuasan (Chen,2004). Sedangkan Wallach (1983), menunjukkan bahwa kinerja karyawan dalam hasil kerja yang menyenangkan termasuk kepuasan kerja, cenderung untuk tinggal dalam organisasi dan keterlibatan kerja, tergantung pada kecocokan antara karakteristik individu dan budaya organisasi.
Budaya organisasi merupakan variabel kunci yang bisa mendorong keberhasilan perusahaan. Meski tidak sepenuhnya benar, bahwa perusahaan yang berhasil ternyata mempunyai budaya yang kuat. Bagi Denison (1990), dan Kotter dan Heskett (1992), perusahaan yang berhasil bukan sekedar mempunyai budaya yang kuat akan tetapi budaya yang kuat tersebut harus cocok dengan lingkungannya. 

B.  Konsep Pokok Budaya Organisasi
1.    Perspektif budaya organisasi
Perspektif ini melahirkan kebudayaan sebagai suatu yang bersifat fisik dan konkret yang melekat pada sistem sosial masyarakat sebagai sebuah struktur dengan batas-batas yang pasti dalam sistem sosial. Sebaliknya jika ditelaah dari perspektif subjektif, kebudayaan tersusun atas teori-teori dunia para anggotanya, yakni makna, lambang dan nilai-nilai yang dimiliki bersama. Dunia kebudayaan dan dunia sosial dilihat sebagai sesuatu yang berbeda tetapi berinterelasi. Artinya dimensi kebudayaan suatu masyarakat dapat berkembang secara tidak serasi dengan dimensi struktur dan proses formalnya. Inti kajiannya terpusat pada upaya mengungkap sifat simbolik dari struktur dan peristiwa dalam masyarakat. Yang dicari adalah makna yang bersifat mendalam dari peristiwa, tindakan, dan segala sesuatu yang menjadi latar belakang di samping yang bersifat instrumental.
Adanya dikotomi perspektif budaya sebagaimana di uraikan di atas, menurut Alvesson dan Berg (1988) yang dikutip Poespadibrata (1993:160), seringkali menimbulkan kerancuan dalam studi dan pembahasan tentang budaya organisasional. Karena itu, dalam konteks penelitian pemahaman terhadap pendekatan atau teori mana yang akan digunakan menjadi penting. Mengingat, bagaimana budaya organisasi dikonsepsikan akan berpengaruh kepada bagaimana budaya organisasi didefinisikan.
Kluckhohn (Pace,1998:90) menjabarkan tiga perspektif budaya secara luas mengenai budaya yang diterapkan pada situasi organisasi, yaitu: perspektif holistik, perspektif variabel, dan perspektif kognitif. Perspektif holistik memandang budaya sebagai cara-cara terpola mengenai berpikir, menggunakan perasaan dan bereaksi. Sedangkan Perspektif variabel penekanannya pada pengekpresian budaya. Sementara perspektif kognitif memberi penekanan kepada keyakinan, nilai-nilai, dan norma-norma, pengetahuan yang diorganisasikan yang ada dalam pikiran orang-orang untuk memahami realitas. Dalam perspektif kognitif ini, esensi budaya adalah konstruksi bersama mengenai realitas sosial.
2.    Budaya organisasi sebagai sub komponen profil kapabilitas manajemen
Budaya organisasi dapat digambarkan sebagai nilai, norma dan artefak    yang diterima oleh anggota organisasi sebagai iklim organisasi ia akan mempengaruhi dan dipengaruhi strategi organisasi, struktur dan sistem organisasi, sehingga dianggap bernilai positif dan pantas diajarkan kepada karyawan baru sebagai cara yang tepat untuk berpikir dan bertindak  dalam menjalankan tugas. Budaya organisasi selanjutnya menjadi identitas atau karakter utama organisasi yang dipelihara dan dipertahankan (Mas’ud, 2004:68).
Suatu budaya yang kuat merupakan perangkat yang sangat bermanfaat untuk mengarahkan perilaku, karena membantu anggota untuk melakukan pekerjaan yang lebih baik sehingga setiap anggota pada awal karirnya perlu memahami budaya dan bagaimana budaya tersebut terimplementasikan. Schenieder menegaskan bahwa budaya organisasi berkaitan dengan konteks perkembangan organisasi, artinya budaya berakar pada sejarah organisasi, diyakini bersama-sama dan tidak mudah dimanipulasi secara langsung (Cahyono 2005:68). Budaya organisasi memiliki peran untuk mengubah sikap dan juga perilaku sumber daya manusia atau karyawan yang ada agar dapat meningkatkan produktivitas kerja untuk menghadapi berbagai tantangan di masa yang akan datang, dan tanggap dengan perkembangan dunia luar.       
Hofstede (Muljono,2003) mengemukakan bahwa pada umumnya organisasi yang sukses memiliki budaya yang kuat sekaligus khas termasuk mitos-mitos yang memperkuat budaya organisasi. Budaya organisasi yang kuat dapat meningkatkan kompetensi, membangun konsistensi dan komitmen sehingga dengan demikian seluruh anggota organisasi akan termotivasi untuk selalu beradaptasi dengan tuntutan lingkungan yang terus berubah.
Budaya organisasi merupakan falsafah, ideologi, nilai-nilai, anggapan, keyakinan, harapan, sikap dan norma-norma yang dimiliki secara bersama serta mengikat dalam suatu komunitas tertentu. Secara spesifik budaya dalam organisasi akan ditentukan oleh kondisi team work, leaders yang ada dan  characteristic of organization serta administration process yang berlaku (Koesmono, 2006:86). Budaya organisasi penting, karena merupakan kebiasaan-kebiasaan yang terjadi dalam hirarki organisasi yang mewakili norma-norma perilaku yang diikuti oleh para anggota organisasi. Budaya organisasi yang produktif adalah budaya yang dapat menjadikan organisasi menjadi kuat dan tujuannya dapat terakomodasi.
Mengingat budaya organisasi merupakan suatu kesepakatan bersama para anggota dalam suatu organisasi atau perusahaan sehingga mempermudah lahirnya kesepakatan yang lebih luas untuk kepentingan perorangan. Keutamaan budaya organisasi  merupakan pengendali dan arah dalam membentuk sikap dan perilaku manusia yang melibatkan diri dalam suatu kegiatan organisasi. Secara individu maupun kelompok seseorang tidak akan terlepas dengan budaya organisasi dan pada umumnya mereka akan dipengaruhi oleh keaneka ragaman sumber-sumber daya yang ada sebagai stimulus seseorang bertindak.
Berdasarkan dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa budaya organisasi berfungsi mengubah sikap dan perilaku karyawan, agar dapat meningkatkan produktivitas kerjanya.
3.    Empat dimensi nilai budaya organisasi
Davis (2005) menyatakan, budaya organisasi adalah pola keyakinan dan nilai-nilai yang dipahami dan dijiwai (shared) oleh anggota organisasi sehingga pola tersebut memberikan makna tersendiri bagi organisasi bersangkutan dan menjadi dasar aturan berperilaku didalam organisasi. Menurut Luthans (2006), budaya organisasi merupakan norma-norma dan nilai-nilai yang mengarahkan perilaku anggota organisasi. Setiap anggota akan berperilaku sesuai dengan budaya yang berlaku, agar diterima oleh lingkungannya.
Hopstede (Robbin, 2003:55), mendefinisikan budaya organisasi sebagai keseluruhan pola pemikiran, perasaan dan tindakan dari suatu kelompok sosial yang membedakan dengan kelompok sosial yang lain. Setelah mempelajari budaya organisasi di berbagai negara yang akhirnya melahirkan empat dimensi budaya, yaitu: individu-kolektif (Individualism), jarak kekuasaan (power distance), maskulin-feminin (masculinity), penghindaran ketidakpastian (uncertainty avoidance).
a.    Power distance mengandung pengertian kalau anggota institusi memiliki kekuasaan rendah dalam suatu organisasi dimasyarakat tertentu mencerminkan terjadinya ketimpangan dalamhal distribusi kekuasaan
b.    Individuality menggambarkan pola kerja yang dilakukan anggota-anggota suatu  organisasi. Artinya mereka cenderung bekerja secara individual ketimbang bekerja secara koletif.
c.    Uncertainly avoidance menggambarkan tingkat perasaan suatu masyarakat atas ancaman oleh adanya situasi yang tidak pasti dan tidak diketahuinya.
d.   Masculinity mencerminkan adanya nilai-nilai dominan dalam suatu masyarakat yang memiliki sifat-sifat tegas, keras hati, dan fokus untuk mencapai prestasi dan keberhasilan tertentu.
Dengan adanya empat dimensi itu, kita jadi mengetahui apa-apa saja yang terjadi pada saat berorganisasi, dan watak-watak manusia yang berbeda-beda juga. Jadi secara tidak langsung setelah kita membaca empat dimensi di atas, kita mendapat ilmu pembelajaran dalam berorganisasi yang baik dan benar dan bisa menjadi orang yang lebih baik lagi dalam kegiatan organisasi dimana pun.
Secara skematis dimensi budaya Hopstede dapat diiktisarkan sebagai berikut:
Model Dimensi Budaya Hopstede (1990:67)
4.    Sepuluh ciri utama pembeda budaya organisasi
Budaya organisasi yang dapat diamati adalah pola-pola perilaku yang merupakan  manifestasi atau ungkapan-ungkapan dari asumsi-asumsi dasar dan nilai-nilai. Sementara itu, Betts dan HalfhiIl (Robbins, 1996:480) menyatakan bahwa karakteristik utama yang menjadi pembeda budaya organisasi adalah:
a.    Penekanan kelompok (group emphasis). kegiatan-kegiatan kerja di organisasi dalam suatu kelompok bukannya kerja perseorangan/individu namun kelompok
b.    Toleransi terhadap resiko (risk tolerance). Sejauh mana para pegawai dianjurkan untuk bertindak agresif, inovatif dan mengambil risiko.
c.    Fokus pada manusia (people focus). Sejauh mana organisasi dalam mengambil keputusan yang dilakukan oleh manajemen akan selalu memperhatikan dampak outcome bagi manusia di dalam organisasi.
d.   Integrasi unit-unit (unit integration). Tingkat sejauh mana unit-unit di dalam organisasi didukung untuk beroperasi dalam suatu koordinasi dan saling mengisi. 
e.    Orientasi pada hasil akhir (means-end orientation). Tingkat sejauh mana para manajer memusatkan perhatiannya pada hasil  atau outcome, bukannya pada teknik-teknik dan proses.
f.     Pengawasan (control). Jumlah peraturan dan pengawasan langsung yang digunakan untuk mengawasi dan mengendalikan perilaku pegawai.
g.    Identitas Anggota (member identity). Tingkat sejauh mana para anggota mengidentifikasi dirinya secara keseluruhan dengan organisasinya ketimbang dengan kelompok kerja tertentu atau dengan bidang keahlian profesional. 
h.    Kriteria penghargaan (reward criteria), bahwa penghargaan seperti kenaikan upah dan promosi dialokasikan sesuai dengan prestasi atau kinerja pegawai, dan bukan berdasarkan senioritas, favoritisme atau faktor-faktor non kinerja lainnya. 
i.      Toleransi terhadap konflik (confict tolerance). Tingkat sejauh mana para pegawai didorong untuk mengemukakan konflik (bersaing sehat) dan kritik secara terbuka.
j.      Mengutamakan sistem terbuka (open system focus). Tingkat sejauh mana komunikasi organisasi selalu memantau dan menanggapi setiap perubahan yang terjadi di luar lingkungan organisasi.  
.
Tiap kharakteristik  ini berlangsung pada suatu kontinum dan  rendah ke tinggi, maka dengan menilai organisasi inti berdasarkan karakteristik-karakteristik ini akan diperoleh gambaran majemuk dan budaya organisasi  yaitu dan yang paling konservatif hingga paling inovatif.

C.     Empat jenis budaya
a.    Kooperatif, di mana para manajer berperan untuk mendorong karyawan untuk mengidentifikasi diri yang pada akhirnya akan menginternalisasi keyakinan, nilai, dan asumsi organisasi, sehingga lebih mudah menggerakkan sumber daya manusia untuk mencapai kemajuan dari suatu perusahaan.
b.    Kompetitif, di mana para anggota dituntun mampu menjadi aset yang menciptakan nilai tambah buat kehidupan stakeholdernya.
c.    Pasif, di mana para anggota percaya bahwa mereka harus berinteraksi dengan orang-orang dengan cara yang tidak akan mengancam keamanan mereka sendiri.
d.   Agresif, di mana para anggota diharapkan untuk tugas-tugas pendekatan dalam cara-cara yang kuat untuk melindungi status dan keamanan.
D.     Fungsi dan elemen budaya organisasi
1.    Fungsi Budaya Organisasi
Budaya organisasi sebagai pedoman untuk mengontrol perilaku anggota organisasi memiliki fungsi dan manfaat yang berguna bagi organisasi. Budaya organisasi berfungsi sebagai perekat, pemersatu, identitas, citra, motivator bagi seluruh karyawan dan orang-orang yang ada di dalamnya (Arifin, 2010: 174).
Budaya organisasi sebagai pedoman untuk mengontrol perilaku anggota organisasi, pasti memiliki fungsi dan manfaat yang berguna bagi organisasi. Robbins (2003: 311), menyatakan bahwa fungsi budaya organisasi  sebagai (a). pembedaan yang jelas antara satu organisasi dan yang lain. (b). suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi. (c). media untuk mempermudah timbulnya komitmen pada sesuatu yang lebih luas daripada kepentingan diri individual seseorang. (d). perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi itu dengan memberikan standar-standar yang tepat untuk dilakukan oleh karyawan. (e). mekanisme pembuat makna dan kendali yang memandu dan membentuk sikap serta perilaku karyawan.
Kelima fungsi tersebut menunjukkan bahwa budaya organisasi dapat membentuk perilaku dan tindakan karyawan dalam menjalankan aktivitasnya di dalam organisasi, sehingga nilai-nilai yang ada dalam budaya organisasi perlu ditanamkan sejak dini pada setiap individu.
Ndraha (2010: 45) mengemukakan fungsi budaya organisasi sebagai: (a). identitas dan citra suatu masyarakat. (b).  pengikat suatu masyarakat. (c).  sumber inspirasi, kebanggaan dan sumber daya. (d). kekuatan penggerak..(e).  kemampuan untuk membentuk nilai tambah. (f).  pola perilaku. (g). warisan. (h). pengganti formalisasi. (i). mekanisme adaptasi terhadap perubahan. (j).  proses menjadikan bangsa kongruen dengan negara sehingga terbentuk nation state.
Menurut Robbins (2003:525) ada tujuh karakteristik dari budaya organisasi, antara lain:
a)    Inovasi dan pengambilan resiko (Innovation and risk taking). Sejauh mana para karyawan didorong untuk inovatif dan mengambil resiko.
b)   Perhatian ke rincian (Attention to detail). Sejauh mana karyawan diharapkan memperlihatkan kecermatan (precision), analisis, dan perhatian kepada rincian.
c)    Orientasi hasil (Outcome orientation). Sejauh mana manajemen memfokuskan pada hasil bukannya pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil itu.
d)   Orientasi orang (People orientation). Sejauh mana keputusan manajemen memperhitungkan efek hasil pada orang-orang di dalam organisasi itu.
e)    Orientasi tim (Team orientation). Sejauh mana kegiatan kerja diorganisasikan sekitar tim-tim, bukannya individu-individu.
f)    Keagresifan (Aggressiveness). Sejauh mana orang-orang itu agresif dan kompetitif dan bukannya santai-santai.
g)   Kemantapan (Stability). Sejauh mana kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo sebagai kontras dari pertumbuhan.
Tiap karakteristik ini berlangsung pada suatu kontinuitas dari rendah ke tinggi, maka dengan menilai organisasi itu berdasarkan tujuh karakteristik ini, akan diperoleh gambaran majemuk dari budaya organisasi itu. Gambaran ini menjadi dasar untuk perasaan pemahaman bersama yang dimiliki para anggota mengenai organisasi, bagaimana urusan diselesaikan di dalamnya, dan cara para anggota diharapkan berperilaku.

 


2.    Elemen Budaya Organisasi
Budaya organisasi terdiri dari beberapa elemen yang berbeda, di mana masing-masing elemen memerlukan pengetahuan tersendiri agar setiap manusia dapat memahami budaya secara utuh. Secara umum dapat disimpulkan bahwa elemen budaya organisasi terdiri dari dua elemen pokok, yaitu:
a.    Elemen yang idealistik
F. Landa Jocano (Achmad, 2007:152) mengatakan bahwa elemen ini dikatakan idealistik karena elemen ini menjadi idiologi organisasi yang tidak mudah berubah walaupun di sisi lain organisasi secara natural selalu harus berubah beradaptasi dengan lingkungannya. Elemen inijuga bersifat terselubung (eklusive), tidak tampak ke permukaan (hidden) dan hanya orang-orang tertentu saja (elit organisasi) yang tahu apa sesungguhnya idiologi mereka dan mengapa organisasi tersebut didirikan.
Stanley Davis (Achmad, 2007:154) menyebut elemen idealistik sebagai keyakinan menjadi penuntun kehidupan sehari-hari organisasi (guiding belief). Sedangkan Hofstede, menyebutnya sebagai nilai-nilai organisasi (organizational values). Sementara Schein dan Rousseau, mengatakan bahwa elemen yang idealistik tidak hanya terdiri dari nilai-nilai organisasi tetapi masih ada komponen yang lebih esensial, yaitu asumsi dasar (basic assumptions) yang bersifat dapat diterima apa adanya (taken for granted) dan dilakukan di luar kesadaran (unconscious). 
b.    Elemen Behavioral
F. Landa Jocano menyatakan bahwa elemen yang bersifat behavioral adalah elemen yang kasat mata, muncul ke permukaan dalam bentuk perilaku sehari-hari para anggotanya dan bentuk-bentuk lain seperti desain dan arsitektur organisasi (Achmad, 2007:152). Itu sebabnya ketika orang luar organisasi mencoba mengidentifikasi dan memahami budaya sebuah organisasi, maka cara yang paling mudah yang dapat mereka lakukan adalah dengan mengamati bagaimana para anggotanya berperilaku dan kebiasaan lain yang mereka lakukan.
Davis (Achmad, 2007:155) menyebutnya sebagai praktek sehari-hari sebuah organisasi (daily belief). Hofstede mengatakan bahwa kebiasaan tersebut muncul dalam bentuk praktek-praktek manajemen, apakah sebuah organisasi lebih berorientasi pada proses atau hasil, lebih peduli pada kepentingan karyawan atau pekerjaan, lebih professional, lebih terbuka atau tertutup, dan lebih pragmatis atau normatif (Achmad, 2007:156).
Schein dan Rousseau (Achmad, 2007:156), mengatakan bahwa kebiasaan sehari-hari muncul dalam bentuk artefak, termasuk di dalamnya adalah perilaku para anggota organisasi. Artefak bisa berupa bentuk atau arsitektur bangunan, logo, cara berkomunikasi, cara berpakaian atau cara bertindak yang bisa dipahami oleh orang luar organisasi.
Elemen budaya organisasi menurut berbagai sumber
Sumber
Elemen Budaya Organisasi
F. Landa Jocano (1988,1990)

Idealistik
Behavioral
Stanley Davis (1984)

Guiding belief
Daily belief
Geert Hofstede (1980, 1997)

Nilai-nilai organisasi
Praktek-praktek manajemen
Edgar Schein (1985, 1997)
Asumsi dasar
Nilai-nilai organisasi
Artefak
Denise Rousseau (1990)
Asumsi dasar
Nilai-nilai Organisasi
Norma perilaku
Perilaku organisasi
Artefak
Bath C.G. (1996)
Motivational Roots
Emotional Ground
Mindset
Perilaku Organisasi
Artefak
Sumber: Sobirin 2007
E.     Siklus hidup organisasi
Siklus hidup organisasi adalah suatu tahapan perkembangan yang dialami oleh setiap organisasi beserta kondisi, kesulitan dan masalah-masalah transisi serta implikasi yang mengikuti dari setiap perkembangan tersebut. Seperti juga kehidupan organisme, pertumbuhan dan kemunduran setiap organisasi terutama disebabkan oleh dua factor, yaitu fleksibilitas dalam merespon setiap perubahan lingkungan dan kekakuan (controllability) dalam merespon setiap perubahan (Adizes, 1996).
Setiap tahapan-tahapan yang dilalui oleh organisasi akan selalu memunculkan kesulitan atau masalah yang memerlukan penanganan baik secara internal maupun intervensi dari pihak luar (eksternal). Tahapan perkembangan organisasi sendiri sebenarnya dapat diprediksi dan bersifat repetitif (Adizes, 1999). Oleh karena itu, pemahaman terhadap setiap perkembangan tahapan organisasi memberikan kemampuan kepada pimpinan organisasi untuk secara proaktif dan preventif dan menyongsong persoalan-persoalan organisasi di masa datang, atau jika tidak mampu, bagaimana sebisa mungkin menghindari masalah-masalah tersebut.

Siklus Hidup Organisasi : Suatu Analisis Perkembangan Organisasi

Ichak Adizes (1989) menguraikan tiga tahapan utama yaitu; (1). Tahap pertumbuhan (growing stages) yang meliputi masa pengenalan (courtship), masa bayi (infancy), dan masa kanak-kanak (go-go); (2). Masa coming of age yang meliputi masa kedewasaan (adolescence) dan masa puncak/keemasan (prime); dan (3). Tahap Penurunan (aging organizations) yang meliputi masa kemapanan (stable organizations), masa aristokrasi (aristoccracy), masa birokrasi awal (early bureaucracy) dan masa birokrasi dan mati (bureaucracy and death).

F.      Konflik organisasi
Konflik berasal dari kata kerja  configere yang artinya saling memukul. Dilihat dari sisi sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu. Hal itu lalu menimbulkan perbedaan yang menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan lain sebagainya. Karena ciri-ciri individu dibawa dalam hal interaksi sosial, konflik merupakan hal yang wajar. Dalam kehidupan sehari-hari tidak satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggotanya atau dengan kelompok masyarakat lainnya, konflik hanya akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri.
Konflik adalah suatu proses antara dua orang atau lebih dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan cara menghancurkannya atau membuatnya menjadi tidak berdaya. Konflik organisasi menurut Robbins (1996) adalah suatu proses interaksi yang terjadi akibat adanya ketidaksesuaian antara dua pendapat (sudut pandang) yang berpengaruh terhadap pihak-pihak yang terlibat baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif.
Ada lima jenis konflik dalam kehidupan organisasi:
1.    Konflik dalam diri individu, yang terjadi bila seorang individu menghadapi ketidakpastian tentang pekerjaan yang dia harapkan untuk melaksanakannya. Bila berbagai permintaan pekerjaan saling bertentangan, atau bila individu diharapkan untuk melakukan lebih dari kemampuannya.
2.    Konflik antar individu dalam organisasi yang sama, dimana hal ini sering diakibatkan oleh perbedaan-perbedaan kepribadian. Konflik ini berasal dari adanya konflik antar peranan (seperti antara manajer dan bawahan).
3.    Konflik antar individu dan kelompok, yang berhubungan dengan cara individu menanggapi tekanan untuk keseragaman yang dipaksakan oleh kelompok kerja mereka. Sebagai contoh, seorang individu mungkin dihukum atau diasingkan oleh kelompok kerjanya karena melanggar norma-norma kelompok.
4.    Konflik antar kelompok dalam organisasi yang sama, karena terjadi pertentangan kepentingan antar kelompok atau antar organisasi.
5.    Konflik antar organisasi, yang timbul sebagai akibat bentuk persaingan ekonomi dalam sistem perekonomian suatu negara. Konflik ini telah mengarahkan timbulnya pengembangan produk baru, teknologi, dan jasa, harga-harga lebih rendah, dan penggunaan sumber daya lebih efisien.
Spiegel (1994) menjelaskan ada lima tindakan yang dapat kita lakukan dalam penanganan konflik:
1. Berkompetisi
Tindakan ini dilakukan jika kita mencoba memaksakan kepentingan sendiri di atas kepentingan pihak lain. Pilihan tindakan ini bisa sukses dilakukan jika situasi saat itu membutuhkan keputusan yang cepat, kepentingan salah satu pihak lebih utama dan pilihan kita sangat vital. Hanya perlu diperhatikan situasi menang-kalah (win-lose solution) akan terjadi disini. Pihak yang kalah akan merasa dirugikan dan dapat menjadi konflik yang berkepanjangan. Tindakan ini bisa dilakukan dalam hubungan atasan bawahan, di mana atasan menempatkan kepentingannya (kepentingan organisasi) di atas kepentingan bawahan.
2. Menghindari konflik
Tindakan ini dilakukan jika salah satu pihak menghindari dari situsasi tersebut secara fisik ataupun psikologis. Sifat tindakan ini hanyalah menunda konflik yang terjadi. Situasi menang kalah terjadi lagi disini. Menghindari konflik bisa dilakukan jika masing-masing pihak mencoba untuk mendinginkan suasana, mebekukan konflik untuk sementara. Dampak kurang baik bisa terjadi jika pada saat yang kurang tepat konflik meletus kembali, ditambah lagi jika salah satu pihak menjadi stres karena merasa masih memiliki hutang menyelesaikan persoalan tersebut.
3. Akomodasi
Yaitu jika kita mengalah dan mengorbankan beberapa kepentingan sendiri agar pihak lain mendapat keuntungan dari situasi konflik itu. Disebut juga sebagai self sacrifying behaviour. Hal ini dilakukan jika kita merasa bahwa kepentingan pihak lain lebih utama atau kita ingin tetap menjaga hubungan baik dengan pihak tersebut.
Pertimbangan antara kepentingan pribadi dan hubungan baik menjadi hal yang utama di sini yaitu:
a.    Kompromi
Tindakan ini dapat dilakukan jika ke dua belah pihak merasa bahwa kedua hal tersebut sama-sama penting dan hubungan baik menjadi yang utama. Masing-masing pihak akan mengorbankan sebagian kepentingannya untuk mendapatkan situasi menang-menang (win-win solution).
b.    Berkolaborasi
Menciptakan situasi menang-menang dengan saling bekerja sama. Pilihan tindakan ada pada diri kita sendiri dengan konsekuensi dari masing-masing tindakan. Jika terjadi konflik pada lingkungan kerja, kepentingan dan hubungan antar pribadi menjadai hal yang harus kita pertimbangkan.

G.    Penutup
Budaya organisasi sebagai nilai yang diyakini oleh anggota organisasi harus dibangun disesuaikan dengan strategi yang akan diterapkan oleh perusahaan, karena budaya organisasi yang baik dapat dijadikan sebagai keunggulan kompetitif bagi perusahaan yang akan lebih sulit ditiru oleh pesaing dibandingkan dengan keunggulan kompetitif yang sifatnya fisik.
Mengetahui faktor-faktor yang membentuk budaya organisasi sangat penting dilakukan karena hal tersebut akan menentukan kemampuan suatu organisasi untuk melakukan tanggapan pada lingkungan organisasi yang selalu mengalami perubahan. Budaya organisasi bukan satu-satunya hal yang mempengaruhi kinerja organisasi, kepemimpinan yang efektif juga merupakan faktor penting yang harus diperhatikan agar budaya yang terbentuk dapat berjalan dengan baik dan berpengaruh positif pada kinerja organisasi.
Budaya organisasi berkaitan dengan bagaimana karyawan memahami karakteristik budaya suatu organisasi, dan tidak terkait dengan apakah karyawan menyukai karakteristik itu atau tidak. Budaya organisasi adalah suatu sikap deskriptif, bukan seperti kepuasan kerja yang lebih bersifat evaluatif.
Deskripsi tentang siklus hidup organisasi dengan analogi makhluk hidup memberikan suatu wacana dan pengetahuan bahwa pada dasarnya organisasi mengalami perkembangan, di mana setiap perkembangan akan memunculkan masalah dan tantangan tersendiri bagi pengelola organisasi. Inspirasi yang dapat ditarik adalah bagaimana mengelola organisasi dengan baik dengan mengenali tanda-tanda yang akan membawa kepada kemunduran organisasi pada setiap tahap perkembangan. Dengan mengenali tanda-tanda yang negatif pimpinan organisasi dapat melakukan perbaikan (treatment), sehinga organisasi dapat terus bertahan dan berkembang sesuai dengan cita-cita awal.

DAFTAR PUSTAKA

Achmad Sobirin. 2007. Budaya Organisasi. Yogyakarta: STIE YKPN.

Cahyono Suharto. 2005. “Pengaruh Budaya Organisasi Kepemimpinan dan Motivasi Kerja terhadap Kinerja Sumber Daya Manusia di Sekretariat DPRD Provinsi Jawa Tengah”. JRBI. Vol. 1.

Denison. 1990. Cooporate Culture and Organizational Effectiveness. New York: Willey.

Djokosantoso Moeljono. 2003. Budaya Korporat dan Keunggulan Korporasi. Jakarta: Elex Media Komputindo.

E.J. Wallach 1983. “Individual and  Organizations: The Culture Match”. Training and Development Journal, 37: 2.

Fred Luthans. 2006. Perilaku Organisasi. Yogyakarta: Andi Offset.

Fuad Mas’ud. 2004. Survei Diagnosis Organisasional. Semarang: BP UNDIP.

Geert Hofstede. 1990. Culture‘s Consequences, International Differences in Work-Related Values. New Delhi: Sage Publication, Beverly Hills, London. 

H. Malayu Hasibuan. 2006. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara.

Ichak Adizes. 1996. Corporate Lifecycles: How and Why Corporations Grow and Die and What to do About It. New Jersey: Prentice Hall Inc.

J.M. Ivancevich dan R. Konopaske. 2005. Perilaku dan Manajemen Organisasi. Jld. I. Jakarta: Erlangga.

J.P. Kotter and J.L. Heskett. 1992. “Corporate Culture and Performance”.  The Free Press, New York. 

James L. Gibson. 1998. Organisasi dan Manajemen: Perilaku, Struktur, Proses. Jakarta: Erlangga.

Keith Davis and John W. Newstrom. 1985. Perilaku Dalam Organisasi. Jilid 2. Jakarta: Erlangga.

Li Yueh Chen. 2004. “Examining The  Effect of Organization Culture and Leadership Behaviors on Organizational Commitmen, Job Satisfaction, and Job Performance at Small and Middle-Size Firms of Taiwan”, The Journal of Amerika of American Academy of Business, Cambridge, September. 

Noor Arifin. 2010. “Analisis Budaya Organisasional Terhadap Komitmen Kerja Karyawan Dalam Peningkatan Kinerja Organisasional  Karyawan Pada Koperasi  BMT Di  Kecamatan Jepara”. Jurnal Ekonomi dan  Pendidikan STIENU Jepara. Volume 8. No. 2. November 2010. 

R. Wayne Pace dan Don F. Faules. 2002. Komunikasi Organisasi, Strategi meningkatkan Kinerja Perusahaan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Robert Kreitner dan Kinicki. 2003. Perilaku Organisasi. Jakarta: Salemba Empat.

Robert L. Mathis dan John H. Jackson. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Salemba Empat.

S.G. Harris dan K.W Mossholder. 1996. “The Effective Implication of Perceived Congruence with Cultural Dimensions During Organizational Transformation”. Journal of Management, 22.

Stephen P. Robbins. 2003. Perilaku Organisasi. Jilid 1. Jakarta: Gramedia.

Taliziduhu Ndraha. 2010.  Budaya Organisasi. Jakarta: Rineka Cipta. 

Teman Koesmono. 2006. “Pengaruh Budaya Organisasi terhadap Motivasi, Kepuasan Kerja dan Kinerja Karyawan (Studi pada Perusahaan Pengolahan Kayu Skala Besar di Jawa Timur)”. Jurnal Ekuitas. Vol. 10. No. 1. Maret 2006.
 
Wahyudin. 2008. Manajemen Konflik dalam Organisasi. Bandung: Al Fabeta.

Wirawan. 2007. Budaya dan Iklim Organisasi, Teori Aplikasi dan Penelitian. Jakarta: Salemba Empat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar