Warning


SELAMAT DATANG CALON SANTRI BARU ANGKATAN KEDUA
PESANTREN MBS CILACAP

Kamis, 27 November 2014

Zakat Sarana Pengembang Dakwah islam




Islam adalah agama yang diturunkan Allah SWT untuk mengatur hidup dan kehidupan manusia. Islam adalah agama yang mempunyai ruang lingkup yang amat luas mencakup segenap aspek, baik aspek keagamaan maupun aspek keduniaan. Aspek-aspek tersebut dalam dunia fiqih terkenal dengan ibadah dan muamalah. Dengan kata lain, Islam adalah konsep yang memadukan antara keduanya.Islam adalah suatu sistem aturan ilahi yang bulat dan utuh, antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya mempunyai relasi yang erat dan akrab. Oleh karena itu dalam aktualisasi dan implementasinya tidak boleh dipisah-pisahkan. Islam harus diterapkan dan diamalkan secara bulat dan utuh. Hal ini dikarenakan tujuan Islam untuk membangun kebahagiaan dunia dan akhirat tidak akan terwujud manakala dicampuradukkan dengan sistem lainnya.

Salah satu aktivitas yang diwajibkan bagi setiap muslim untuk mensosialisasikan ajaran Islam adalah dakwah. Aktivitas dakwah bukanlah suatu beban yang memberatkan setiap muslim, kewajiban ini justru akan dapat meringankan beban-beban yang harus dipikul dan akan mengembalikan izzah Islam dimata umat manusia. Dengan kata lain dakwah merupakan proses transformasi ajaran-ajaran Islam terhadap umat ijabah maupun umat dakwah. Tanpa dakwah, aktivitas amar ma’ruf nahi munkar tidak akan berjalan.

Islam merupakan satu-satunya konsep hidup yang bernilai suci dan universal, dimensinya mencakup segala aspek hidup dan kehidupan. Universalisasi inilah yang menjadikan Islam memberi kebebasan kepada setiap individu muslim untuk memilih proses yang sesuai dengan bakat, skill, kemampuan, atau keahliannya yang dapat memberikan suatu penghasilan secara sah dan halal. Penghasilan yang bersih yang telah mencapai nishab wajib dizakati sesuai ketentuan syari’at Islam.

Zakat yang merupakan simbol dari fiscal policy dalam Islam merupakan sarana pertumbuhan ekonomi sekaligus mekanisme yang bersifat built in untuk tujuan pemerataan penghasilan dan kekayaan.[1] Dengan demikian, melalui lembaga zakat akan terjadi konsep keadilan mengenai distribusi yang adil sehingga yang kuat mengangkat yang lemah. Zakat adalah tanggungjawab setiap individu sebagai jaminan sosial dalam masyarakat Muslim.[2] Dengan kata lain, zakat merupakan bentuk peribadatan dan terima kasih Muslim kepada Allah untuk membantu kebutuhan masyarakat yang kurang mampu sebagai purifikasi atau penyucian. Menurut Masjfuk Zuhdi bahwa tujuan utama diwajibkan zakat atas umat Islam adalah untuk memecahkan problem kemiskinan, memeratakan pendapatan, dan meningkatkan kesejahteraan umat dan negara.[3] Ali Yafie bahkan mengkonstantir bahwa zakat berpotensi ikut membentuk proses keadilan sosial dalam bentuk pengentasan kemiskinan manakala digali secara sungguh-sungguh, dikembangkan, dan ditata dengan sebaik-baiknya.[4]

Kohesif dengan hal di atas, Abdul Mughni (almarhum) menyatakan bahwa kepedulian sosial yang diberikan kepada manusia mengarah pada tiga hal pokok. Pertama, lahirnya individu-individu bersih yang merupakan modal dasar bagi terciptanya masyarakat yang berkualitas. Kedua, tegaknya keadilan sosial. Ketiga, meratanya kemaslahatan pada setiap segi kehidupan.[5] Oleh karena itu, pembinaan dan kajian hukum-hukum Islam, terutama zakat sangat signifikan eksistensinya. Pembinaan kesadaran zakat yang intensif akan membantu terciptanya suatu bangsa yang utuh bersatu sehingga kesenjangan sosial yang saat ini menganga tidak akan tercipta. Oleh karena itu sudah barang tentu, dakwah tidak hanya dilakukan secara individu tetapi juga dapat dilakukan secara kolektif.

Keadaan dan kecenderungan manusia secara individual maupun kolektif menjadi pertimbangan dasar bagi dakwah Islam sebagai proses yang paling mempengaruhi antar individu dengan kelompok dan antar kelompok yang melibatkan aspek-aspek dinamika pemahaman dan kesadaran.[6] Sayyid Quthub bahkan mengklaim bahwa jama’ah diperlukan sebagai inti dinamik dalam proses peng-Islaman dan mendorong interaksi para anggota masyarakat dalam mencari suatu kepastian hukum akan nilai-nilai Islam.[7]

Berpijak dari urgensi zakat, maka penulis mencoba mengangkatnya dalam sebuah judul makalah “Zakat Sebagai Sarana Pengembangan Dakwah Islam”. Ketertarikan penulis terhadap judul di atas disebabkan karena dua faktor. Pertama, zakat adalah sistem Islam yang menganjurkan adanya distribusi kekayaan. Kedua, zakat merupakan sarana untuk tolong-menolong sesama umat Islam. 

Urgensi Zakat dalam Dakwah Islam

Zakat secara bahasa atau etimologi berasal dari kata zakā  yang berarti tumbuh, berkah, bersih, dan baik.[8] Menurut kamus Lisān al-Arāb, arti dasar dari zakat ditinjau dari sudut bahasa adalah suci, tumbuh, berkah, dan teruji[9], semuanya digunakan di dalam al-Qur’an dan Hadis. Sedangkan dalam kitab Kifāyatul Akhyār, disebutkan bahwa zakat menurut bahasa artinya tumbuh, berkah, dan banyak kebaikan.[10] Dengan menunaikan kewajiban membayar zakat mengandung maksud membangun kembali sebuah kesadaran umat akan kewajibannya selaku seorang muslim. Para pemberi zakat (muzakki) juga berharap ketika menunaikan zakat mereka dikarunia Allah sebuah keberkahan, jiwa suci, dan hartanya semakin tumbuh dan berkembang. Harapan ini selaras dengan firman Allah dalam surat at-Taubah ayat 103 yang berbunyi:
خُذْ مِنْ أَمْوَا لِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ، إِنَّ صَلَوا تَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ، وَاللهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ

Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui (Q.S. 9: 103).

Yanggo bahkan mengatakan bahwa ayat di atas memiliki sembilan nilai signifikan, yaitu:
1.  Zakat mensucikan jiwa dari sifat kikir dan bakhil.
2.  Zakat mendidik gemar dan suka berinfak dan bershodaqah.
3.  Zakat menjadikan sesorang bersikap dan berakhlak dengan akhlak Allah.
4.  Zakat mengobati hati dari cinta dunia.
5.  Zakat adalah sarana manifestasi rasa syukur atas nikmat Allah.
6.  Zakat mengembangkan kekayaan batin.
7.  Zakat mensucikan harta.
8.  Zakat menarik simpati dan menumbuhkan rasa cinta
9. Zakat mendorong untuk bekerja keras, kreatif, dan proaktif dalam usaha serta efisien dalam waktu.[11]

Zakat adalah piranti untuk membersihkan harta dan mensucikan diri orang kaya dari sifat bakhil, dengki dan dendam. Zakat juga dapat mengembangkan dan menjauhkan harta yang telah diambil zakatnya dari bahaya. Dengan demikian, hati dan harta orang yang membayar zakat tersebut menjadi suci dan bersih serta berkembang secara maknawi. Sedangkan secara terminologi (istilah) syari’at, zakat itu maksudnya mengeluarkan sebagian harta, diberikan kepada yang berhak menerimanya, supaya harta yang tinggal menjadi bersih dari orang-orang yang memperoleh harta menjadi suci jiwa dan tingkah lakunya.[12] Sedangkan Hammuddah Abdalati menyatakan: The tehnical meaning of the word designates the annual amount in kind or coint which a Muslim with means must distribut among the rightfull beneficiaries (Pengertian zakat secara tehnis adalah kewajiban seorang muslim menditribusikan secara benar dan bermanfaat, sejumlah uang atau barang).[13]

Seseorang yang mengeluarkan zakat, berarti dia telah membersihkan diri, jiwa dan hartanya. Dia telah membersihkan jiwanya dari penyakit kikir (bakhil) dan membersihkan hartanya dari orang lain yang ada dalam hartanya itu. Orang yang berhak menerimanya pun akan bersih jiwanya dari penyakit dengki, iri hati terhadap orang mempunyai harta. Dilihat dari satu segi, bila seseorang mengeluarkan zakat, berarti hartanya berkurang. Tetapi dilihat dari sudut pandang Islam, pahala bertambah dan harta yang masih juga membawa berkah. Di samping pahala bertambah, juga harta berkembang karena mendapat ridha dari Allah dan berkat panjatan doa dari fakir miskin, anak-anak yatim dan para mustahiq lainnya yang merasa disantuni dari zakat itu.

Yūsuf Qardhāwī sebagaimana dikutip oleh Didin Hafiduddin (2003: 179) bahkan mengkonstatir bahwa zakat adalah ibadah māliyah ijtimā’iyyah yang memiliki posisi sangat penting, strategis, baik dari sisi ajaran maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat.[14] Zakat merupakan salah satu rukun Islam yang lima, yaitu rukun Islam yang ke-3 sehingga ia adalah salah satu unsur pokok bagi tegaknya syari’at Islam. Menurut Ali Yafie bahwa eksistensi zakat dianggap sebagai malūm min ad-dīn bi adh-dharūrah atau diketahui secara otomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dari ke-Islaman seseorang.[15]

Kesediaan berzakat dipandang sebagai indikator utama ketundukkan seseorang terhadap ajaran Islam sebagaimana terilustrasikan pada surat at-Taubah ayat 11.

فَإِنْ تَبُواْ وَأَقَامُواالصَّلوةَ وَأَتَوُاازَّكَوةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِى الدِّيْنِ، وَنُفَصِّلُ اْلأَيتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُوْنَ          

Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, Maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. dan kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang Mengetahui (Q.S. 9: 11).

Indikator lainnya adalah menjadikan seseorang berkeinginan untuk selalu membersihkan diri dan jiwanya dari berbagai sifat buruk seperti bakhil, egois, dan tamak sekaligus berkeinginan untuk selalu membersihkan, mensucikan, dan mengembangkan harta yang dimilikinya (Q.S. Ar-Rūm ayat 39).

وَمَآ اَتَيْتُمْ مِّنْ رِّبًالِّيَبُوَاْ فِيْ أَمْوَالِ النَّاسِ فَلاَ يَرْ بُواْ عِنْدَ اللهِ، وَمَآ اتَيْتُمْ مِّنْ زَكوةٍ تُرِيْدُوْنَ وَجْهَ اللهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ امُضْعِفُوْنَ                   

Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, Maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya) (Q.S. 30: 39).

Muhammad Sayyid Tanthāwī bahkan mengkonstatir bahwa menunaikan zakat dapat mensucikan jiwa mereka dari penyakit kikir, rakus, dan tamak serta membersihkan hati mereka dari kekerasan, dan sebagai pengembangan harta.[16] Dengan membayar zakat justeru harta akan tumbuh dan berkembang serta melipatkan pahala di hari depan kelak. Membayar zakat menurut, Syafi’i Ma’arif (mantan ketua umum PP Muhammadiyah) merupakan manifestasi pengamalan Islam yang mampu mengangkat derajat seseorang dan masyarakat sekitarnya. Umat Islam yang bersedia membayar zakat jumlahnya besar. Namun demikian, masih banyak yang belum sadar zakat. Hal ini menurutnya disebabkan masih ada asumsi pada sebagian masyarakat yang menilai pengelolanya kurang amanah.[17] Faktor inilah yang menyebabkan lahirnya lembaga zakat, seperti LAZIS, BAZIS dan lain sebagainya. Hal senada diungkapkan oleh Merza Gamal seorang praktisi perbankan Syari’ah yang menyatakan bahwa zakat merupakan manifestasi dari kegotongroyongan antara si kaya dan fakir miskin. Perberdayaan zakat merupakan perlindungan bagi masyarakat dari bencana kemasyarakatan, yaitu kemiskinan, kelemahan baik fisik maupun mental. Oleh karena itu, menurutnya lembaga zakat merupakan sarana distribusi kekayaan di dalam ajaran Islam yang merupakan kewajiban kolektif perekonomian umat Islam.[18] Dengan kata lain, zakat merupakan komitmen seorang muslim dalam bidang sosial ekonomi yang tidak terhindarkan untuk memenuhi kebutuhan pokok bagi semua orang. Fenomena inilah yang sebenarnya memerankan zakat sebagai pelipur lara bagi orang miskin yang amat membutuhkan uluran tangan.

Zakat dalam ajaran Islam memiliki dua makna, teologis-individual dan sosial. Pertama, menyucikan harta dan jiwa. Penyucian harta dan jiwa bermakna teologis-individual bagi seseorang yang menunaikan zakat untuk mereka yang berhak. Jika makna ini dipedomani, ibadah zakat hanya berdampak individual, yakni hubungan vertikal antara seorang hamba dengan Tuhannya. Makna pertama lebih berdimensi individual, menyucikan harta dan jiwa untuk mendapat keberkahan. Kedua, memiliki dimensi sosial, ikut mengentaskan kemiskinan, kefakiran, dan ketidakadilan ekonomi demi keadilan sosial. Karena dengan membayar zakat terjadi sirkulasi kekayaan di masyarakat, yang tidak hanya dinikmati oleh orang kaya, tetapi juga orang miskin.

Konteks itulah yang akan menyebabkan zakat bisa menjadi institusi strategis bagi pembebasan orang miskin yang dimiskinkan penguasa dan pemodal. Inilah yang harus dilihat, penunaian zakat bukan hanya dilakukan secara karikatif sebagai ekspresi keagamaan instan. Islam dengan ajaran zakatnya mengajak adanya perubahan dalam sistem dan perputaran kekayaan yang ada di masyarakat. Inilah tantangan kita agar zakat menjadi institusi strategis bagi penciptaan sistem ekonomi yang adil dan bertanggung jawab, bukan sekadar pemberian untuk menghibur. Dengan demikian, zakat berfungsi lebih luas, bukan sekadar menyucikan harta, jiwa, atau menghibur orang miskin, tetapi mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat berbasis keadilan.

Keadilan sosial ekonomi menekankan adanya keseimbangan dalam ekonomi dan terbebasnya dari berbagai bentuk kepincangan sosial yang berpangkal dari kepincangan ekonomi. Oleh karena itu, penggunaan harta harus mempertimbangkan aspek-aspek keadilan sosial dan tidak menimbulkan kerugian bagi sesamanya. Penunaian zakat adalah contoh konkrit atas rasa keadilan sosial. Hal ini dikarenakan pembayaran zakat berupa pemberian sejumlah harta benda yang sangat dicintai secara cuma-cuma yang berhak menerimanya.

Zakat dalam konteks kesejahteraan sosial mengharuskan keseimbangan antara konsumsi, produksi, dan distribusi di dalam sistem ekonomi. Kesejahteraan sosial dalam Islam merupakan pemurnian dan realitas ajaran agama. Ia adalah hak yang suci yang harus dilaksanakan oleh seluruh masyarakat muslim. Menurut Abdurrahman Qadir, pengaruh sosial dari zakat akan tampak dari dua sisi. Pertama dari sisi orang kaya, para wajib zakat  melalui penunaian zakatnya otomatis membersihkan jiwa mereka dari sifat-sifat asosial seperti bakhil, kikir, egoistis, dan rakus sekaligus mendorong mereka bersikap sosial, suka berkorban, dan menolong kaum dhu’afa. Kedua dari pihak orang miskin, penerimaan zakat berupa harta yang sangat dibutuhkan secara otomatis akan menghilangkan sifat-sifat buruk yang mungkin terpendam dalam hatinya seperti dengki, iri, benci atau rencana jahat terhadap orang kaya yang kikir.[19] Dengan demikian, maka terciptalah hubungan harmonis antara kaya dan miskin.

Untuk menciptakan relasi yang harmonis antara yang kaya dan miskin, maka zakat adalah sarana yang jitu untuk pengembangan dakwah Islam. Engineer bahkan menyatakan bahwa al-Qur’an sangat menekankan keadilan distributif. Zakat adalah konsep keadilan distributif itu, Asghar Ali Engineer menyatakan:

The Qur’an lays great emphasis on distributive justice. It is totally against accumulation and hoarding of wealth. It condemns accumulated wealth as strongly as possible. It also exhorts the people to spend in order to take care of orphans, widows, the needy and the poor.[20] “Al-Qur’an sangat menekankan keadilan distributif. Keadilan ini 100% berseberangan dengan penumpukkan dan penimbunan harta kekayaan. Al-Qur’an sejauh mungkin mengecam penumpukkan harta. Al-Qur’an juga menganjurkan agar orang-orang kaya mendermakan hartanya untuk anak yatim, janda-janda, fakir dan miskin”.[21]

Beredarnya harta kepada para mustahik memberikan beberapa manfaat yang akan diraih, yaitu: Pertama, pemenuhan kebutuhan pokok mustahik. Melalui zakat para fakir miskin akan beroleh haknya. Kesulitan pemenuhan kebutuhan pokok segera terpenuhi. Fisik akan makin kuat. Pikiran pun bakal terbuka. Melalui zakat diharapkan etos kerja mustahik jadi tergugah. Sehingga mereka diharapkan mampu bangkit untuk hidup mandiri. Syukur-syukur dalam jangka waktu yang tidak terlalu lama akan mampu menjadi muzakki sehingga dapat membantu mustahik lainnya. Kedua, menggerakkan roda perekonomian. Salah satu faktor bergeraknya roda perekonomian adalah seberapa besar dana yang berputar. Dana yang tersedia ini akan menimbulkan permintaan barang. Ketiga, daya beli masyarakat akan makin meningkat. Produk-produk banyak yang dibutuhkan sehingga lapangan pekerjaan pun main terbuka. Pengangguran pun makin terberdayakan. Keempat, memupuk empati dan kepedulian sosial.

Ber-zakat tidak hanya sekadar melunasi kewajiban. Lebih dari itu, zakat adalah salah satu upaya menggugah empati dan kepedulian bahwa muzakki sudah bekerja keras untuk mendapat harta benar. Tetapi berempati dan peduli kepada saudara yang belum beruntung merupakan sebuah ibadah berdimensi sosial. Dengan empati dan peduli berarti kita sudah turut di dalam menyelamatkan peradaban manusia. Peradaban yang menjunjung tinggi persaudaraan. Sesama saudara saling menanggung beban. Sebuah peradaban begitu mulia. Dengan demikian, bagi orang-orang beriman harta bukanlah segala-galanya. Jadi membersihkan harta dengan berzakat adalah segala-galanya. Dengan berzakat harta akan termulia kedudukannya, sementara mustahik pun terberdayakan.

Ibrāhīm Muhammad Al-Jāmal menegaskan:
وَمِنْ ذ لِكَ أَمْرُ اْلإِ سْلاَمِ لِلإِ نْسَانِ الْمُسْلِمِ بِالْبَذْلِ وِالْعَطَاءِ فِىْ سَبِيْلِ اللهِ، بِطَرِيْقَةٍ تَثِيْرُفِيْهَا مَعَانِى الْخَيْرَ وَالْبِرِّ وَاْلإِحْسَانِ، وَالرَّأْ فَةِ عَلَى الْفُقَرَاءِ وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِيْنِ، فَيُصْبِحُ بِذلِكَ جَوَادًاكَرِيْمًا فَيُفِيْضُ الْمُجْتَمَعُ بِالْحُبِّ وَالتَآلُّفِ، وَالرَّحْمَةِ الْمُتَبَادِلَةِ بَيْنَ أَفْرَادِهِ، وَالنَّظْرَةِ مِنَ الْفَقِيْرِ إِلىَ أَخِيْهِ الْغَنِى بِالرِّضَاعَنْهُ وَالدُّعَاءِ لَهُ بِالتَّوْفِيْقِ وَالْبَرَكَةِ[22]                         

“ Islam menyuruh manusia muslim berkorban dengan memberi untuk membela agama Allah dengan cara yang menimbulkan makna-makna kebaikan, kebajikan dan belas kasih kepada fakir miskin dan anak-anak yatim. Dengan pendekatan Islam manusia menjadi seorang yang dermawan dan pemurah sehingga masyarakat terpenuhi dengan kecintaan dan kerukunan serta kasih saying timbal balik antara individu-individunya di samping orang fakir ridha kepada saudaranya yang kaya dan mendoakannya agar menadapat taufik dan berkah”.[23]

Zakat merupakan refleksi tekad untuk mensucikan masyarakat dari penyakit kemiskinan, harta benda orang kaya, dan pelanggaran terhadap ajaran-ajaran Islam yang terjadi karena tidak terpenuhinya kebutuhan pokok bagi setiap orang tanpa membedakan suku, ras, dan kelompok. Zakat merupakan komitmen seorang Muslim dalam bidang sosio-ekonomi yang tidak terhindarkan untuk memenuhi kebutuhan pokok bagi semua orang, tanpa harus meletakkan beban pada kas negara semata, seperti yang dilakukan oleh sistem sosialisme dan negara kesejahteraan modern.

Membayar zakat berarti memperluas peredaran harta benda atau uang, karena ketika harta dibelanjakan maka perputarannya akan meluas dan lebih banyak pihak yang mengambil manfaat. Pendistribusian zakat bukan hanya memenuhi kebutuhan konsumtif saja, tetapi ia harus dikelola secara produktif. Pengelolaan secara produktif inilah yang diharapkan dapat membantu mengentaskan kemiskinan. Oleh karena itu, menurut Qardhāwī setiap orang yang bekerja dalam lembaga zakat harus memperhitungkan bahwa dirinya sedang beribadah kepada Allah. Ia harus bersikap adil, amanah dan jujur.[24] Namun demikian, pendayagunaan zakat akan dapat secara tepat dan efektif apabila ada tanggungjawab sosial secara keseluruhan. Hal ini dapat dilakukan jika diri kita masuk pada posisi muzakki dan pengelola zakat dapat melaksanakan manajemen secara terencana sehingga dapat mengembangkan mustahiq secara menyeluruh.[25]

Di satu sisi, tujuan pengumpulan zakat agar terakumulasi dalam jumlah besar, tentu merupakan sebuah keinginan yang perlu didukung. Hal ini penting, karena pemberdayaan masyarakat miskin tidak dapat ditanggulangi dengan dana kecil dan sporadis. Namun, penanganan kemiskinan harus direncanakan, diorganisir dan dilakukan secara strategis dan berjangka panjang. Di sisi lain, pengumpulan yang tidak sesuai dengan aspirasi publik, dianggap tidak adil karena memotong gaji mereka yang sudah berpenghasilan kecil dan pas-pasan pada saat kondisi ekonomi demikian sulit, menjadikan tujuan strategis tersebut kontra-produktif. Terlebih lagi, ketidakpercayaan publik terhadap lembaga pemerintah masih kental. Jika dana zakat tersebut terkumpul, pertanyaannya, dapatkah masyarakat yakin bahwa pengelolaan dan pemanfaatan dana tersebut dilakukan secara transparan dan akuntabel.

Zakat akan menjadi sebuah kebijakan publik manakala dilakukan dengan cara-cara persuasif dan memenuhi rasa keadilan publik, bukan sebaliknya, dianggap sebagai bentuk ketidakadilan. Kasus zakat adalah pembelajaran bagi kita sehingga ke depan, baik elit agamawan maupun pemerintah hendaknya melibatkan masyarakat dalam setiap pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan mereka.

Berpijak dari urgensi nilai zakat, maka dapat dikatakan bahwa zakat adalah refleksi dan realisasi dari rasa keadilan yang bersumber dari akal seserang, di mana ia menyadari bahwa sebagai makhluk sosial, manusia memiliki rasa kemanusiaan, belas kasihan, dan tolong-menolong. Akal yang sehat jelas akan menolak sikap dan perilaku individualistik, egoistis, dan serakah. Oleh karena itu, hukum zakat adalah wajib atas setiap muslim yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu.

Urgensi eksistensi zakat harus disampaikannya kepada para jama’ah hingga kesadaran berzakatnya dapat tumbuh berkembang di masyarakat. Oleh karena itu, semua harus bergerak mengembangkan zakat, baik masyarakatnya maupun pemerintahnya. Dorongan dan perintah untuk selalu berzakat, haruslah dipahami pula sebagai sebuah upaya untuk menumbuhkan kecintaan bekerja dan beramal mencari rezeki yang halal. Dengan demikian wajah dakwah Islam akan menampakkan wajah humanistik dan egalitarianisme.

Berangkat dari paradigma zakat bagi pengembangan dakwah, maka zakat sebgaai salah satu dari rukun Islam akan menghantarkan seorang hamba kepada kebahagiaan dan keselamatan dunia dan akhirat, dan merupakan sarana bagi hamba untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Rabbnya, akan menambah keimanan karena keberadaannya yang memuat beberapa macam ketaatan. Oleh karena itu, pembayar zakat akan mendapatkan pahala besar yang berlipat ganda (Q.S. al-Baqarah: 276), dan sarana penghapus dosa.
Zakat dapat menjadi media untuk menanamkan sifat kemuliaan, rasa toleran dan kelapangan dada kepada pribadi pembayar zakat. Oleh karena itu, pembayar zakat biasanya identik dengan sifat rahmah (belas kasih) dan lembut kepada saudaranya yang tidak punya. Dengan demikian akan lahir adagium bahwa menyumbangkan sesuatu yang bermanfaat baik berupa harta maupun raga bagi kaum muslimin akan melapangkan dada dan meluaskan jiwa. Sebab sudah pasti ia kan menjadi orang yang dicintai dan dihormati sesuai tingkat pengorbanannya, sehingga sikap akhlakul karimah.

Zakat merupakan sarana untuk membantu dalam memenuhi hajat hidup para fakir miskin yang merupakan kelompok mayoritas sebagian besar negara di dunia. Memberikan support kekuatan bagi kaum muslimin dan mengangkat eksistensi mereka.Ini bisa dilihat dalam kelompok penerima zakat, salah satunya adalah Mujahiddīn fī Sabilillāh. Zakat bisa mengurangi kecemburuan sosisal, dendam dan rasa dongkol yang ada dalam dada fakir miskin. Karena masyarakat bawah biasanya jika melihat mereka yang berkelas ekonomi tinggi menghambur-hamburkan harta untuk sesuatu yang tidak bermanfaaat bisa tersulut rasa benci dan permusuhan mereka. Jikalau harta yang demikian melimpah itu dimanfaatkan untuk mengentaskan kemiskinan tentu akan terjalin keharmonisan dan cinta kasih antara si kaya dan si miskin. Zakat akan memacu pertumbuhan ekonomi pelakunya dan yang jelas berkahnya akan melimpah.



[1] Sayyid Qutb, Islam Agama Pembebas, Alih Bahasa Fungky Kusnaedi Timur, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2001), hal. 187.  
[2] John L Esposito, Islam Aktual, Alih Bahasa Norma Arbia Juli Setiawan, (Depok: Inisiasi Press, 2005), hal. 20.  
[3] Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, (Jakarta: Gunung Agung, 1997), hal. 226.  
[4] Ali Yafie, Teologi Sosial, (Yogyakarta: LKPSM, 1997), hal. 119.  
[5] Masruri Abdul Mughni, “ZIS Sebagai Sarana Penanggulangan Kemiskinan”, Majalah Rindang, No. 2, TH. XXVI, September 2000, (Semarang: Kanwil Depag Jawa Tengah, 2000), hal. 11.  
[6] Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Dakwah Kultural Muhammadiyah, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2004), hal. 5.  
[7] Sayyid Quthub, “Perumus Ideologi Kebangkitan Islam”, John L. Esposito (Ed.). Dinamika Kebangkitan Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 1987), hal. 98.  
[8] Ibrāhīm Anis, Mujām al-Wāsith, Juz I, (Kairo: Dār al-Ma’ārif, 1972), hal. 396.  
[9] Abī al-Fādhil Jāmal ad-Dīn Muhammad ibn Mukrim Ibn Mundzir, Lisān al-Arāb, Juz I, (Beirut: Dār Shādar, t.t.), hal. 90-91.  
[10] Imām Taqiyyuddīn Abū Bakar al-Husaini, Kifāyatul Akhyār, Juz I, (Semarang: Usaha Keluarga, t.t.), hal. 172.  
[11] Huzaimah Tahido Yanggo, Masail Fiqhiyah, Kajian Hukum Islam Kontemporer, (Bandung: Angkasa, 2005), hal. 224.  
[12] Fahruddin H.S., Ensiklopedi al-Qur’an, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), hal. 618.  
[13] Hammudah Abdalati, Islam in Focus, (Indiana: American Trust Publication, 1980), hal. 95.  
[14] Didin Hafiduddin, “Zakat Sebagai Implementasi Syari’ah”, http://www.pkpu.or.id, Donwload pada tanggal 19 Juli 2007.  
[15] Ali Yafie, Menggagas Fikih Sosial, (Bandung: Mizan, 1994), hal. 231.  
[16] Muhammad Sayyid Tanthāwī, “Islam dan Perekonomian”, Muhammad Tanthāwī, Problematika Pemikiran Muslim, Sebuah Analisis Syar’iyyah, (Yogyakarta: Adi Wacana, 1997), hal. 30.  
[17] Ahmad Syafi’i Ma’arif, “Berzakat Merupakan Wujud Ketaatan pada Allah”, Republika, Rabu 18 September 2002, hal. 8.  
[18] Merza Gamal, “Zakat Versus Riba”, http://ayah-tercinta.blogspot.com, Donwload pada tanggal 19 Juni 2007.  
[19] Abdurrahman Qadir, Zakat dalam Dimensi Mahdah dan Sosial, (Jakarta: Srigunting, 1998), hal. 161.  
[20] Asghar Ali Engineer, Islam and Liberation Theology: Essays on Liberative Elements in Islam, (New Delhi: Sterling Publisher Private Limited, 1990), hal. 35.  
[21] Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, Alih Bahasa Agung Prihantoro, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hal. 52-53.  
[22] Ibrāhīm Muhammad Al-Jamal, Fiqh al-Mar'ah al-Muslimah, (Jedah: Dār al-Riyādh, 1986), hal. 163.  
[23] Ibrāhīm Muhammad Al-Jamal, Fiqh Muslimah, Alih Bahasa Zaid Husain Al-Hamid, (Jakarta: Pustaka Amani, 1999), hal. 155.  
[24] Yūsuf Qardhāwī, Manajemen Zakat Profesional, Alih Bahasa Jasiman, dan Fauzan, (Solo: Media Insani Press, 2004), hal. 58-59.  
[25] Syahrin Harahap, Islam, Konsep dan Implementasi Pemberdayaan, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), hal. 102-103.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar