Menggugah Semangat Guru untuk Menulis
Abstrak
Penerapan Permenegpan RB nomor 16 tahun 2009 pada awal tahun 2013 mengharuskan guru menuliskan laporan kegiatan pengembangan diri, tidak hanya sekedar mengumpulkan sertifikat kegiatan. Menulis dianggap hal yang sangat sulit dan membutuhkan biaya tinggi. Menulis dikategorikan sebagai pekerjaan orang berbakat menulis. Menulis divonis tidak menghasilkan materi yang dapat segera dimakan anak dan istri. Pendek kata menulis dipatok sebagai pekerjaan seorang penulis dan bukan pekerjaan guru aktif yang setiap hari harus mengajar di depan kelas. Padahal, sesungguhnya karya publikasi ilmiah tergolong jenis karya tulis yang strategis dan efektif untuk mentransformasikan dunia keilmuan kepada masyarakat luas. Keberhasilan seorang penulis bukan dari bakat melainkan dari usaha keras dan bersungguh-sungguh. Budaya menulis dan membaca harus menjadi suatu kebutuhan mutlak bagi guru guna mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terbaru.
Kata kunci: Permenegpan RB, pengembangan diri, publikasi ilmiah, budaya menulis
Pendahuluan
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 tahun 2009 Tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya pasal 17 ayat (2) dinyatakan bahwa Guru Pertama, pangkat Penata Muda Tingkat I, golongan ruang III/b yang akan naik jabatan/pangkat menjadi Guru Muda, pangkat Penata,golongan ruang III/c angka kredit yang dipersyaratkan untuk kenaikan jabatan/pangkat, paling sedikit 4 (empat) angka kredit dari sub unsur publikasi ilmiah dan/atau karya inovatif, dan paling sedikit 3 (tiga) angka kredit dari sub unsur pengembangan diri; demikian juga untuk jabatan guru diatasnya.
Ada 10(sepuluh) macam kegiatan publikasi ilmiah yang dapat dilakukan, yaitu (1)presentasi di forum ilmiah, (2) hasil penelitian, (3) tinjauan ilmiah, (4) tulisan ilmiah populer, (5) artikel ilmiah, (6) buku pelajaran, (7)modul/diktat, (8)buku dalam bidang pendidikan, (9) karya terjemahan, dan (10) buku pedoman guru. Peraturan tersebut berlaku efektif pada tanggal 1 Januari 2013.
Namun, secara jujur harus diakui, karya publikasi ilmiah masih jarang disentuh oleh guru untuk dijadikan sebagai salah satu karya tulis ilmiah, dalam arti guru kurang bersemangat dalam menulis karya ilmiah. Padahal, sesungguhnya karya publikasi ilmiah tergolong jenis karya tulis yang strategis dan efektif untuk mentransformasikan dunia keilmuan kepada masyarakat luas. Jangkauan media mainstraim (media cetak) yang jauh lebih luas sangat memungkinkan bagi seorangguru untuk menyebarluaskan dan mendesiminasikan gagasan-gagasan kreatif dan argumentatifnya kepada khalayak luas. Jika tulisan semacam ini dijadikan sebagai salah satu genre tulisan untuk memperkenalkan dunia akademik kepada masyarakat dari berbagai latar belakang sosial dan budaya, pelan tetapi pasti, kesenjangan informasi keilmuan yang selama ini masih menganga lebar, bisa terjembatani.
Melalui koran atau majalah yang diakui keberadaannya secara nasional, seorang guru bisa mentransfer gagasan-gagasan cemerlang yang relevan dengan dunia pendidikan kepada masyarakat luas. Ini artinya, fungsi pencerdasan dan pencerahan yang dilakukan oleh seorang guru tak hanya sekadar berlangsung di ruang kelas, tetapi juga menyebar di luar tembok sekolah dengan jangkauan yang (nyaris) tanpa batas. Dilain pihak, kalau ditelusuri ternyata kebiasaan guru dalam menulis belum seperti yang diharapkan.
Kendala guru dalam menulis
Ada beberapa alasan guru enggan menulis diantaranya kurang adanya motivasi yang menggiring guru kearah terampil dan biasa melakukan tulis menulis dari orang-orang atau lembaga yang berkompeten dalam pendidikan antara lain kepala sekolah. Untuk menggugah semangat guru dalam menulis lembaga yang berkompeten dalam pendidikan perlu mengadakan perlombaan-perlombaan semacam penulisan karya tulis ilmiah (lomba karya tulis) dan sejenisnya. Kegiatan semacam ini jarang diadakan oleh lembaga-lembaga tertentu atau oleh Dinas Pendidikan pada khususnya sehingga kebiasaan menulis bagi guru semakin terkubur.
Guru merasa sulit menghasilkan karya tulis padahal profesi guru menuntut untuk itu.Disamping alasan tersebut, tampaknya, ada sejumlah kendala yang menjadi penyebabnya yang antara lain (1)kendala psikologis, (2) kendala kemampuan, dan (3) kendala ekonomis/lain-lain.
Sebagai (besar) guru merasa tidak bisa padahal belum berusaha, merasa malu dan takut, atau tidak percaya diri tulisannya kurang baik sehingga ditertawakan orang, tidak percaya diri bahwa pengetahuannya tidak banyak, atau tidak percaya diri bahwa kemampuan bahasanya kurang baik, kurang termotivasi karena berbagai sebab malas, tidak ada keinginan untuk maju dan lain-lain. Guru kurang menguasai pengetahuan, bahkan untuk bidang keilmuannya sendiri (unsur gagasan, isi), tidak tahu apa yang harus atau dapat ditulis untuk penulisan karya ilmiah, kurang menguasai bahasa untuk membahasakan gagasan pada penulisan karya ilmiah (aspek bentuk) dan kurang memahami model serta teknik penulisan karya ilmiah. Sebagian guru tidak ada tantangan dari faktor income, ada persepsi bahwa tidak menulis juga sudah bisa hidup layak, tidak memahami pentingnya berekspresi lewat karya tulis kurang memahami/menghargai pentingnya penyebaran informasi lewat tulisan (kegiatan tulis-baca), dan masih terpaku pada budaya lisan.
Alasan berikutnya karena guru merasa tidak ada waktu lagi untuk menulis karena fikiran dan tenaganya telah tersita oleh kegiatan-kegiatan intrakurikuler di sekolah. Bagi mereka yang kurang biasa menulis, tradisi menulis dirasakan amat berat, karena perlu diimbangi dengan membaca guna menambah keleluasaan dan keluasan cakrawala berfikir. Guru mendapat kesulitan dalam hal menciptakan suatu alur yang sistematis, dan menata kata menjadi kalimat yang mudah dipahami dan dimengerti oleh semua kalangan secara redaksional.
Membudayakan keterampilan menulis memang bukan merupakan hal yang mudah. Ketika banyak kendala, kita harus mampu mencari solusinya. Kemalasan, penyakit menahun, harus dipaksa untuk bisa dikendalikan yaitu dengan cara menggambarkan impian positif: jaminan angka kredit berarti peningkatan prestasi dan prestise dalam karir, publikasi di media massa berarti peningkatan kesejahteraan dan kepuasan batin. Kesibukan, memang selain mengajar dengan berbagai perlengkapan adminitrasi yang memusingkan, guru dibebani oleh tugas-tugas tambahan di sekolah. Kadang sangat menyita waktu, dan tuntutan itu tidak boleh tidak harus dilaksanakan. Apabila pulang ke rumah, pekerjaan rumah tangga sudah menanti yang bersifat rutinitas di dalam keluarga.
Disinyalir, kegagalan guru dalam menulis disebabkan karena kekurangtahuan prosedur kepenulisan, persyaratan pengakuan pemerintah terhadap karya-karya pengembangan profesi sesuai petunjuk teknis, dan penolakan pemuatan dari pihak media massa. Untuk itu, seminar-seminar dan pelatihan-pelatihan dalam hal dalam hal kompetensi dan prosedur teknis kepenulisan selalu ditunggu para guru. Para pakar dalam bidang pengembangan profesi guru dan juga penulis senior yang sudah mendunia harus bisa mendesiminasikan kepada para guru di mana saja. Paling tidak dengan adanya seminar dan pelatihan akan memunculkan keuntungan ganda yaitu kemahiran kompetensi menulis sehingga mampu mengemban tuntutan unsur utama dalam bidang pengembangan profesi dan pemerolehan sertifikat yang bisa digunakan untuk memperlancar pengajuan angka kredit atau untuk pengajuan uji sertifikasi
Budaya menulis
Kegiatan berkomunikasi dapat dilakukan secara lisan dan tulisan. Berkomunikasi secara lisan akan dibatasi oleh ruang dan waktu. Komunikasi tersebut hanya berlaku bagi orang yang berada dalam satu ruangan dan dibatasi oleh waktu, ketika pembicaraan telah selesai maka selesai pula kegiatan komunikasi tersebut. Kegiatan berkomunikasi secara tertulis dapat menembus ruang dan waktu yaitu tidak dibatasi oleh kehadiran pembaca dalam suatu ruangan. Namun, pembaca dapat melakukannya pada waktu yang berbeda, mungkin sehari berikutnya, sebulan, atau setahun yang akan datang.
Guru adalah tokoh profesi yang memungkinkan berkiprah dalam bidang kepenulisan, karena kapasitas intelektual memadai, pengalaman mendukung, dan dari segi waktu atau kesempatan terbuka lebar. Dengan memilih berbagai topik yang biasa digeluti sehari-hari, seperti permasalahan pembelajaran, isu pendidikan, kebijakan pemerintah, bahkan menulis tulisan yang bersifat rekreatif dalam bentuk sastra, karya ilmiah, buku atau artikel di media massa.
Pada umumnya, budaya baca buku pada masyarakat kita masih tergolong sangat rendah, apalagi budaya tulis menulis. Sementara budaya bahasa lisan merupakan suatu keniscayaan. Dengan membudayakan bahasa tulis, dengan sendirinya masyarakat terbiasa untuk membaca buku. Belajar menulis dapat diibaratkan seperti belajar naik sepeda. Mula-mula terasa sulit sekali trial and error (coba-salah) tetapi lama kelamaan akan terasa asyik sekali. Kesulitan memulai menulis acapkali merupakan hambatan yang sering dirasakan oleh penulis pemula entah sudah berapa kali penanya digoreskan di atas kertas, tetapi sebanyak itu pula kertas tersebut dirobek-robek, lalu di lempar ke tempat sampah.
Guru perlu digugah semangatnya untuk menulis. Agar tulisannya tidak merambah kemana-mana tetap fokus, maka mulailah dengan pemilihan topik. Banyak topik yang tersebar di sekitar kita seperti masalah pendidikan, hukum, sosial, agama, teknologi dan sebagainya. Langkah selanjutnya kumpulkan bahan-bahan yang menunjang tema yang dipilih baik literatur penelitian atau bisa juga hasil pengamatan. Maksudnya, agar tulisan menjadi lebih baik tidak asal menggambarkan atau asal menilai, melainkan disertai fakta data atau teori-teori. Setelah itu, perlu dirumuskan masalahnya secara jelas. Rumusan masalah tersebut didesain sedemikian rupa, sehingga tulisan kita menjadi sistematis dan terarah. Untuk itu, perlu dibuatkan kerangka karangan (out line) yang berfungsi sebagai pemandu kemana tulisan kita harus diarahkan.
Kegiatan menulis dapat membantu diri kita untuk menyerap dan memproses informasi. Bila kita akan menulis sebuah topik maka hal itu berarti kita harus belajar tentang topik itu dengan lebih baik. Apabila kegiatan seperti itu kita lakukan terus menerus maka berarti akan dapat mempertajam kemampuan kita dalam menyerap dan memproses informasi.
Manfaat menulis diera kemajuan teknologi seperti sekarang, guru dituntut untuk berpengetahuan dan berwawasan luas di samping selalu siap dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari yaitu mengajar, mendidik, membimbing karena saat ini guru bukanlah satu-satunya sumber informasi dan sumber belajar seperti jaman dulu. Di samping guru, telah banyak media lain di masyarakat seperti media cetak berupa buku, buletin, majalah, surat kabar, tabloid dan seterusnya. Oleh karenanya bukan mustahil peserta didik akan tahu lebih dahulu tentang pengetahuan dan pengalaman baru karena peserta didiknya mengakses dari internet, sedangkan gurunya hanya mendapat informasi melalui televisi saja.
Budaya kreativitas menulis dan membaca harus menjadi suatu kebutuhan mutlak bagi guru guna mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terbaru. Kata kunci untuk bisa mahir menulis perlu latihan secara terus-menerus. Ibaratnya mata pisau, semakin sering diasah akan semakin tajam. Seorang yang sangat cerdas sekalipun bila lama tidak menulis biasanya merasa kesulitan ketika memulai lagi menulis. Menulis perlu dijadikan sebagai kebiasaan dan tidak perlu takut salah. Inilah penyakit umum dalam dunia tulis menulis.
Untuk menghasilkan tulisan yang berbobot, tentunya tidak hanya mengandalkan pada teori, tetapi latihan yang intensif dan sungguh-sungguh merupakan faktor yang berperan dalam meniti karir sebagai penulis yang handal di masa depan. Tradisi menulis jika ditekuni akan menjadi hobi, sehingga kegiatan menulis tidak memberatkan lagi. Di setiap kesempatan akan muncul ide atau gagasan baru secara otomatis. Guru di samping tugasnya untuk mengajar, mendidik dan membimbing peserta didik kearah pendewasaan. Guru juga mempunyai profesi sebagai penulis, kegiatan sampingan guru yang paling dekat dengan profesinya adalah tradisi menulis karena gurulah yang setiap hari yang berhubungan dan berkubang dengan buku.
Beberapa saran lagi agar guru tergugah dalam menulis, yaitu: (1) memperbanyak lomba menulis disertai dengan hadiah yang memotivasi guru untuk menulis, (2) memperbanyak majalah, bulletin, jurnal dan koran harian merupakan wadah tulisan guru yang signifikan, dan (3) para guru mau mengubah diri menghidupkan budaya baca buku, membaca artikel orang lain yang tersebar pada koran harian , mengumpulkan guntingan koran yang berisi warta dan opini tentang pendidikan sebagai sumber data yang akurat. Sudah saatnya ada perhatian khusus dari sekolah maupun lembaga yang berkompeten dalam pendidikan untuk mengasah dan memotivasi guru untuk menulis. Tidak adanya tempat yang representatif inilah yang menyebabkan guru kurang bergairah untuk memacu kreativitasnya. Seperti dengan memberikan sentuhan spirit atau rangsangan berupa penghargaan, diantaranya berupa kredit point untuk menunjang karier guru tersebut. Namun penghargaan itu sangat membutuhkan wadah yang konkrit, wadah itu bisa berupa jurnal atau majalah khusus untuk guru di lingkungan Dinas Pendidikan setempat. Dapat juga ada forum tertentu yang khusus menampung ide-ide mereka dalam meningkatkan kualitas pendidikan, minimal ide tersebut didiskusikan di kelompok kerja baik untuk guru yaitu Kelompok Kerja Guru (KKG), Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP), atau Kelompok Kerja Kepala Sekolah (KKKS) dan Musyawarah Kerja Kepala Sekolah(MKPS). Seperti hasil dari suatu diskusi harus dituangkan dalam bentuk tertulis sehingga guru menjadi terbiasa menuangkan setiap idenya secara tertulis.
Menggugah semangat guru untuk menulis
Menggugah semangat menulis pada guru memang tidak mudah. Namun, tidaklah salah jika kebiasaan menuangkan ide–ide ke dalam tulisan itu mulai diasah dari saat ini. Tidak sedikit guru yang mempunyai profesi sebagai penulis. Gurulah setiap hari berhubungan dan berkubang dengan buku ilmu pengetahuan dan pendidikan pada umumnya. Akan tetapi patut disayangkan masih lemahnya kemampuan guru dalam berkomunikasi dan mempraktekkan dalam kegiatan tulis-menulis, apakah menulis nonfiksi maupun menulis fiksi. Menulis nonfiksi dimaksud adalah menulis karya ilmiah atau artikel ilmiah maupun artikel ilmiah populer. Sedangkan menulis fiksi adalah menulis cerita pendek(cerpen), apalagi novel. Ternyata tidak semua guru bisa menulis, namun demikian ada yang mampu menuangkan idenya.
Profesi guru tidak dapat dilepaskan dari penanganan kependidikan secara luas bahkan guru dapat disebut sebagai dokter pendidikan. Mereka bertindak sebagai praktisi sekaligus sebagai peneliti. Guru sebagai praktisi berkenaan dengan tugasnya untuk mengajar, mendidik, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Guru sebagai peneliti paling tidak mempunyai kepekaan terhadap adanya permasalahan-permasalahan di dalam kegiatan pebelajaran.
Tradisi menulis bagi guru akan membantu dalam menambah pengetahuan dan wawasannya, memacu untuk gemar membaca, tertarik untuk menyimak media dan peka dalam merespon fenomena-fenomena yang muncul didalam tulisannya. Disamping hal tersebut karya tulis guru akan mendapatkan penghargaan berupa penilaian angka kredit yang masuk unsur utama sub unsur pengembangan profesi. Guru bahasa misalnya, dituntut kompetensi yang terkait langsung (inheren) dengan diri pribadi guru, dalam hal ini adalah ketrampilan reseptif dan ketrampilan produktif.
Sebagian besar diantara mereka (guru) bahasa memang seringkali bisa menyampaikan dan mengatakan beragam teori, tetapi tidak dapat melakukan atau menerapkan teori yang disampaikan itu, misalnya para guru sangat terampil menyampaikan bagaimana cara menulis karya ilmiah yang baik, bagaimana cara menulis puisi, cerpen, atau novel yang bagus. Tetapi yang sering dilupakan adalah guru sendiri kurang bahkan tidak mengembangkan keterampilan produktif itu secara intens. Dengan kata lain, guru lebih terampil menunjukkan contoh karya-karya bagus kepada anak-anak, tetapi tidak mampu menjadi contoh bagi anak-anak untuk menghasilkan karya tulis yang bagus. Guru yang demikian tetap saja merasa percaya diri mengajar di hadapan para peserta didik tanpa merasa punya beban atau pikiran untuk mengasah keterampilan produktifnya dalam menghasilkan sebuah karya tulis.
Penutup
Penerapan Permenegpan RB nomor 16 tahun 2009 pada awal tahun 2013 mengharuskan guru menuliskan laporan kegiatan pengembangan diri, tidak hanya sekedar mengumpulkan sertifikat kegiatan. Jika kita hanya bisa terpukau dalam kelelahan, dengan hanya bisa mengeluh berarti kita tidak mampu memahami prinsip ‘sekecil apa pun pekerjaan yang kita lakukan dengan diiringi keikhlasan, niscaya bernilai ibadah’. Perlu kita sempatkan waktu senggang yang ada dengan sebuah target. Setiap hari disisihkan satu-dua jam misalnya, atau ketika ada mood dan inspirasi kita langsung mendokumentasikan. Jangan tunda terlalu lama, karena penundaan akan lebih menjerumuskan pada kegagalan target. Takut gagal, semua manusia pasti pernah dihinggapi ketakutan semacam itu, yang penting tidak mendominasi secara kejiwaan. Sebelum berperang jangan katakan kalah. Usaha dan dicoba dulu, baru boleh bicara sukses atau tidak. Targetkan dalam skala minimum dan pada jenis karya yang lebih mudah dahulu sehingga tidak terjadi gagal total. Dan yang paling penting, jangan pernah malu untuk bertanya dan belajar dari orang lain yang lebih mampu.
Daftar Rujukan
Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 16 tahun 2009 Tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.
Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (P3M) Jayapura. 2009. Tradisi Menulis Bagi Guru Kurang Bergairah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar