Oleh: Tarqum Aziz
Islam adalah agama yang diturunkan Allah SWT untuk
mengatur hidup dan kehidupan manusia. Islam adalah agama yang mempunyai ruang
lingkup yang amat luas mencakup segenap aspek, baik aspek keagamaan maupun
aspek keduniaan. Aspek-aspek tersebut dalam dunia fiqih terkenal dengan ibadah
dan muamalah. Dengan kata lain,
Islam adalah konsep yang memadukan antara keduanya. Islam adalah
suatu sistem aturan ilahi yang bulat dan utuh, antara bagian yang satu dengan
bagian yang lainnya mempunyai relasi yang erat dan akrab. Oleh karena itu dalam
aktualisasi dan implementasinya tidak boleh dipisah-pisahkan. Islam harus
diterapkan dan diamalkan secara bulat dan utuh. Hal ini dikarenakan tujuan
Islam untuk membangun kebahagiaan dunia dan akhirat tidak akan terwujud
manakala dicampuradukkan dengan sistem lainnya.
Islam adalah agama yang memandang setiap pemeluknya
sebagai Dai bagi dirinya sendiri dan orang lain. Hal ini menurut Thomas W Arnold (1981: 1) dalam bukunya The
Preacing of Islam disebabkan Islam tidak menganut sistem hierarki religius.
Dengan kata lain, Islam merupakan sebuah ajaran yang bersifat universal dan
holistik. Universalisasi Islam inilah yang menuntut setiap Muslim berkewajiban
menyampaikan visi dan misi Islam kepada seluruh umat manusia sepanjang
peradaban manusia masih eksis.
Salah satu
aktivitas yang diwajibkan bagi setiap muslim untuk mensosialisasikan ajaran
Islam adalah dakwah. Aktivitas dakwah bukanlah suatu beban yang memberatkan
setiap muslim, kewajiban ini justru akan dapat meringankan beban-beban yang
harus dipikul dan akan mengembalikan izzah
Islam dimata umat manusia. Dengan kata lain dakwah merupakan proses
transformasi ajaran-ajaran Islam terhadap umat
ijabah maupun umat dakwah. Tanpa
dakwah, aktivitas amar ma’ruf nahi munkar
tidak akan berjalan.
Dakwah Islam
merupakan suatu usaha yang tidak pernah mengenal batas finish, selama planet
bumi ini masih didiami manusia dengan segala corak permasalahannya, maka selama
itu pulalah proses dakwah menjadi bahan perbincangan yang wajib
ditindaklanjuti, karena ia merupakan satu wahana spiritual bagi kelangsungan
keberagamaan umat Islam yang pada diri mereka terdapat satu pedoman sarat
dengan nilai dan norma sebagai doktrin yang wajib dilaksanakan (Jakfar Puteh,
2006: 100). Dakwah adalah sebuah ikhtiar dalam rangka sosialisasi ajaran Islam.
Menerima atau menolak ajaran Islam yang telah didakwahkan kepadanya adalah
urusan Allah, manusia sekedar berusaha semaksimal mungkin sehingga ia tidak
berhak menentukan keberhasilan sebuah misi dakwah. Di samping
itu, tujuan dari dakwah itu sendiri untuk melakukan perubahan masyarakat menuju
kebaikan dan keselarasan hidup serta transformasi kontinyu untuk semakin
mendekatkan diri kepada Allah. Oleh karena itu, urgensitas dakwah harus tetap
ditumbuhkembangkan seiring sejalan dengan modernisasi.
Keterbukaan
terhadap arus modernisasi yang menyangkut perkembangan peradaban dalam era
globalisasi ini memberikan dampak terhadap lingkungan dan masyarakat. Derasnya
perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi harus diantisipasi oleh
dunia dakwah sebagai agen penyebar dan pembangunan umat. Hal ini selaras dengan
statemen Machendrawaty (2001:
79) yang menyatakan bahwa Islam sebagai agama
wahyu selalu berhadapan dengan zaman yang terus berubah. Oleh karena itu, umat
Islam selalu ditantang bagaimana mensintesakan keabadian wahyu dengan
kesementaraan zaman. Dengan kata lain, dakwah harus merespon kondisi
perkembangan luar dan tentunya harus beradaptasi terhadap sesuatu yang baru.
Dakwah Islam
berlangsung pada semua lapisan masyarakat, baik masyarakat yang peradabannya
telah maju maupun masyarakat yang sedang mengalami transisi, pribumi maupun non
pribumi. Dakwah harus dimaknai sebagai jawaban Islam terhadap berbagai
permasalahan umat. Hal ini sesuai dengan hakikat dakwah yang selalu terpanggil
untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang sedang dan akan dihadapi oleh umat
manusia.
Misi dakwah
dari dulu sampai sekarang tetap sama, yaitu mengajak umat manusia ke dalam
sistem Islam dengan landasan berpikir yang senantiasa berubah dari waktu ke
waktu. Permasalahan yang dihadapi oleh umat selalu berbeda baik secara
kualitatif maupun kuantitatif. Namun demikian, permasalahan umat tersebut perlu
diidentifikasi dan dicarikan alternatif solusi yang relevan dan strategis
melalui pendekatan-pendekatan dakwah yang sistematis, smart, dan profesional, atau perlu adanya ideologi gerakan
dakwah meminjam bahasa Munir Mulkan (1996: 52).
Reposisi Peran Dai dalam Dakwah
Manusia yang hidup sesuai dengan fitrahnya akan selalu
mengalami perubahan-perubahan, baik perubahan yang alami maupun yang dirancang
oleh manusia sendiri. Perubahan itu tidak selamanya menjadi lebih baik, bahkan
sering terjadi sebaliknya, manusia akan mengalami krisis identitas dirinya
sebagai makhluk yang mulia di sisi Allah mau pun bagi sesamanya. Di sinilah
dakwah akan berfungsi sebagai alat untuk mempertahankan dan bahkan
mengembangkan kemuliaan manusia. Oleh karena itu, dakwah juga mengalami perubahan-perubahan
sesuai dengan transformasi sosial yang berkembang seiring dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Tingkat dinamisasi
kehidupan global yang semakin tinggi dan kompetitif telah menggiring umat
manusia untuk memandang persoalan hidup secara pragmatis, logis, serba instans,
matematis. Hal ini berimplikasi pada lemahnya semangat transendental dan
memudarkan relasi-relasi sosial sehingga pada akhirnya lahirlah berbagai
kenyataan sosial yang paradoksal dengan cita ideal Islam. Menurut K.H. MA Sahal
Mahfudz (http://pcinu-mesir.tripod.com), dalam tulisannya yang berjudul Dakwah Yang
Partispatif, menyebutkan bahwa dari sisi lain, kualitas keberagamaan
masyarakat Indonesia cenderung melemah, akibat perubahan nilai yang berkembang.
Nilai-nilai spiritual Islami tidak lagi manjadi rujukan baku bagi
kehidupan. Solidaritas Islam sebagai nilai Islami dalam masyarakat dan
berbangsa mulai berhadapan dengan kecenderungan sikap individualistik yang
mulai menggejala akibat kemajuan dunia usaha yang memacu pada watak kompetitif.
Nilai ekonomis makin dominan, berpengaruh besar bagi makin berkembangnya etos
ikhtiar yang pada gilirannya akan menghilangkan sikap tawakal, dan lebih dari
itu akan mengganggu keimanan.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi srta dampak hasil
pembangunan dewasa ini, memberikan pengaruh kuat atas munculnya dua fenomena
yang saling berlawanan. Di satu sisi orang semakin bersikap sekuler, sementara
di sisi lain justru lebih bersifat agamis, bahkan senderung sufistik atau
fundamentalistik. Ini terlihat dari radikalisme berlebihan, yang sering disebut
gerakan sempalan dan sikap ekstrim sebagian masyarakat. Timbul juga kelompok
yang sering disebut para-normal yang menjadi tempat pelarian bagi orang-orang
yangmengalami keputusasaan. Semua ini terjadi akibat lemahnya kualitas keberagamaan
mereka. Pemahaman mereka terhadap agama Islam tidak utuh dan tuntas, karena
hanya menggunakan salah satu dari paradigma rasional dan mistikal, atau hanya
secara eksklusif terpaku pada norma statis saja atau pada yang kontekstual
dinamis saja. Padahal Islam merupakan kesatuan utuh dan bulat dari beberapa
komponen, yang astu dengan lainnya saling mempengaruhi, misalnya aqidah,
syari'ah, akhlak, mu'asyarah, dan lain sebagainya.
Faktor lain yang juga mempengaruhi rendahnya kualitas
keberagamaan Islam di Indonesia adalah adanya sifat ambivalen dalam proses
kulturisasi nilai-nilai Pancasila di satu pihak dan penghayatan serta
pengamalan norma agama Islam di lain pihak. Hal ini senderung membuat rancu
orientasi nilai dalam kehidupan. Disintegrasi dari dua sumber nilai ini tentu
saja sangat tidak menguntungkan dalam kehidupan, sementara itu upaya
pengembangan pemahaman integratif yang memperjelas hubungan simbiosis dari
keduanya sering mengundang kesalahpahaman.
Kegiatan dakwa Islamiyah tidak bisa lepas dari dai sebagai
orator dakwah, di mana kegiatan dakwah itu sendiri merupakan proses interaksi
antara pelaku dakwah (da'i) dan sasaran dakwah (masyarakat) dengan strata
sosialnya yang berkembang. Antara sasaran dakwah dan pelaku dakwah saling
mempengaruhi, bahkan saling menentukan keberhasilan dakwah sehingga keduanya
sama-sama menuntut porsi materi,metode dan media tertentu.
Strategi dakwah akan berhasil apabila ke lima unsur di atas
berjalan seimbang. Ini berarti, kegiatan dakwah bukan sekadar memberikan
“pengajian” di atas mimbar dengan berbagai bumbu penyedapnya di hadapan massa
luas dan heterogen yang menyambutnya dengan tepukantangan menggema di
tengah-tengah lapangan. Namun lebih dari itu, ia menuntut tumbuhnya kesadaran
bagi audiens, agar pada gilirannya melakukan perubahan positif dari sisi
pengamalan dan wawasan agamanya. Adalah sangat naif, mengukur keberhasilan
dakwah hana dari banyaknya jumlah pengunjung yang melimpah ruah pada forum
pengajian dan hebatnya mubaligh yang lucu, kocak, dan lincah. Sementara itu
biaya yang keluar relatif banyak, tidak pernah diimbangi dengan evaluasi massa
pengunjungnya. Apakah mereka makin meningkatkan kesadaran dan wawasan
keberagamaannya? Ataukah biasa-biasa saja, mereka pulang hanya membawa kesan
kagum dan puas terhadap pembawaan mubaligh?
Pengembangan dakwah Islamiyah merupakan proses interaksi dari
serangkaian kegiatan terencana yang mengarah pada peningkatan kualitas
keberagamaan Islam. Kualitas itu meliputi pemahaman ajaran Islam secara utuh
dan tuntas, wawasan keberagamaan, penghayatan dan pengalamannya. Sebagai
proses, maka tuntutan dasarnya adalah peubahan sikap da perilaku yang akan
diorientasikan pada sumber nilai yang Islami. Dari dimensi lain pengembangan
itu merupakan alat untuk mencapai tujuan dakwah Islamiyah. Di sini kebutuhan
dasarnya adalah proyeksi dan kontekstualisasi ajaran Islam dalam proses
transformasi sosial. Ini memerlukan kejelian dan kepekaan sosial bagi setiap
da'i/mubaligh, agar mampu melakukan pendekatan kebutuhan, yang dipandu oleh
sumber nilai Islami.
Melihat realitas
di atas, maka diperlukan paradigma baru dalam melakukan dakwah Islam yang
dijalankan secara sistematis dan profesional melalui langkah-langkah yang
strategis. Oleh karena itu, profesionalisme, langkah strategis dan pro aktif
senantiasa dibumikan, di samping model dakwah konvensional, sporadis, dan
reaktif. Hal ini dikarenakan mad’u
semakin kritis dan tantangan dunia global semakin kompleks sehingga strategi
dakwah yang mantap insya Allah akan mampu bersaing di tengah bursa informasi
yang kompetitif.
Untuk mengatasi
problematika umat tersebut, maka aktivitas dakwah menurut Usman Jasad (2004:
38-39), harus difokuskan pada
beberapa hal. Pertama, pengentasan
kemiskinan. Kedua, persiapan suplai
elit muslim ke berbagai jalur kepemimpinan bangsa sesuai dengan skillnya
masing-masing. Ketiga, mapping sosial umat sebagai langkah
pengembangan dakwah. Keempat,
pengintegrasian wawasan etika, estetika, logika, dan budaya dalam berbagai planning dakwah, Kelima, pendirian pusat-pusat studi dan informasi umat secara
profesional yang berorientasi pada dinamisasi iptek. Keenam, menjadikan masjid sebagai pusat aktivitas ekonomi,
kesehatan, dan syia’ar Islam. Ketujuh,
menjadikan Islam sebagai pelopor yang profetis, humanis, dan transformatif.
Dengan bahasa lain, dakwah Islam tidak boleh dijadikan obyek dan alat
legitimasi bagi pembangunan yang semata-mata bersifat ekonomis-pragmatis
(Muhammad Azhar, 2003: 12-13).
Langkah-langkah tersebutlah yang akan membawa Islam menjadi sebuah gerakan
dakwah yang progresif dan inklusif.
Pengembangan dakwah Islamiyah merupakan proses interaksi dari
serangkaian kegiatan terencana yang mengarah pada peningkatan kualitas
keberagamaan Islam. Kualitas itu meliputi pemahaman ajaran Islam secara utuh
dan tuntas, wawasan keberagamaan, penghayatan dan pengalamannya. Sebagai
proses, maka tuntutan dasarnya adalah peubahan sikap da perilaku yang akan
diorientasikan pada sumber nilai yang Islami. Dari dimensi lain pengembangan
itu merupakan alat untuk mencapai tujuan dakwah Islamiyah. Di sini kebutuhan
dasarnya adalah proyeksi dan kontekstualisasi ajaran Islam dalam proses
transformasi sosial. Ini memerlukan kejelian dan kepekaan sosial bagi setiap
da'i/mubaligh, agar mampu melakukan pendekatan kebutuhan, yang dipandu oleh
sumber nilai Islami.
Aktivitas dakwah
dipandang sebagai kegiatan yang memerlukan sebuah keahlian khusus. Oleh karena
itu, seorang juru dakwah seharusnya memiliki kualitas sesuai dengan tuntutan
zaman. Mengingat suatu skill memerlukan
penguasaan pengetahuan, maka dai atau muballigh harus memiliki kualifikasi dan
persyaratan akademik dan empirik dalam melaksanakan kewajiban dakwah (Asep
Muhyiddin, 2002: 34). Mulkan (1996: 237) bahkan mengatakan bahwa juru dakwah harus memiliki dua kompetensi, yaitu
kompetensi substansif dan kompetensi metodologis. Sinergitas antara pribadi dan kelompok mengarah
pada lahirnya sebuah perubahan yang lebih baik dan mulia. Perubahan tersebut
menyangkut sikap hidup dan perilaku manusia secara individu maupun menyangkut
tata kehidupan masyarakat agar senantiasa diliputi rasa kebahagiaan,
kesejahteraan, ketentraman, dan kedamaian, baik lahir maupun batin di dunia dan
di akherat dalam semua aspek kehidupan.
Dakwah itu sendiri
sesungguhnya adalah usaha untuk melakukan perbaikan guna meningkatkan kualitas
diri manusia yang sebagaimana dikehendaki oleh Allah melalui ajaran-ajaran-Nya
yang telah disampaikan kepada para Nabi dan Rasul-Nya. Hal ini menurut A.
Hasjmy (1994: 3) karena dakwah memberi pengertian kepada umat manusia agar
mengambil segala ajaran Allah yang
terkandung dalam al-Qur’an untuk menjadi jalan hidupnya.
Kecerdasan seorang
dai dalam memilih media atau sarana yang tepat merupakan salah satu unsur
keberhasilan dakwah. Media dakwah berguna untuk mengantisipasi perkembangan
zaman, dimana ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat yang ditandai dengan
kemajuan serta kecanggihan teknologi. Ketertinggalan umat Islam dan sifat
tertutup dari dunia luar, sedikit banyak menjadi salah satu sebab ketidakberhasilan
dakwah.
Sinyalemen di atas
sejalan dengan statemen Quraish Shihab (1994: 194) yang menyatakan bahwa dakwah
adalah seruan atau ajakan kepada keinsyafan, atau mengubah situasi yang lebih
baik dan sempurna, baik terhadap pribadi maupun masyarakat. Hal ini dikarenakan
masyarakat sekarang adalah masyarakat majemuk yang berkembang dengan berbagai
kebutuhan praktis sehingga kecanggihan teknologi menjadi idaman dalam
kehidupannya.
Seorang dai harus
dapat mengajak kepada orang lain secara perorangan dengan tujuan memindahkan mad’u kepada keadaan yang lebih baik dan
diridlai Allah (Mahmud, 1992: 29). Fungsi al-Qur’an sebagai furqan harus ditanamkan kepada setiap
muslim. Petunjuk-petunjuk Allah dalam al-Qur’an harus dijadikan sebagai panduan
moral untuk membedakan antara yang haq dan bathil.
Efektifitas dakwah
mempunyai dua strategi yang saling mempengaruhi keberhasilannya. Pertama,
peningkatan kualitas keberagamaan dengan berbagai cakupannya seperti di atas,
dan kedua, sekaligus mampu mendorong perubahan sosial. Ini berarti
memerlukan pendekatan partisipatif di samping pendekatan kebutuhan. Dakwah
bukan lagi menggunakan pendekatan yang hanya direncanakan sepihak oleh pelaku
dakwah dan bukan pula hanya pendekatan tradisional, mengutamakan besarnya
massa. Suasana seperti
itulah yang membuat dai dan mad’u terlibat diskusi secara dialogis tentang
dakwah Islam itu sendiri. Dengan demikian pola pikir antar keduanya dapat disatukan dan dimodifikasikan untuk
menjadi pola pikir dan aksi secara konsisten. Pandangan seperti ini sejalan
dengan statemen Benedict (1973: 29)
dalam Theories of Man and Culture, di
mana ia menyatakan: All thought a
culture is the chance accumulation of so many disparate elements for tuitously assembled from all direction
by diffusion, the constituent elements a remodified to form a more or less
consistent pattern of thought and action. “Semua pikiran adalah suatu kultur akumulasi
yang memberi kesempatan sangat banyak bagi unsur-unsur
yang berlainan untuk dirakit dari semua arah difusi, unsur-unsur yang
konstituen dapat dimodifikasi kembali untuk membentuk suatu contoh pola aksi
dan pikiran konsisten yang lebih besar”.
Pada dasarnya
semua manusia yang sudah baligh, laki-laki maupun perempuan diperintahkan oleh
Allah untuk saling menopang demi terlaksana dan tegaknya amar ma’ruf dan
nahi munkar. Penegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar akan menjadi
parameter kualitas khaira ummah. Menurut Ibnu Katsir Umat yang terbaik
adalah umat yang terbaik bagi manusia dari sisi kemanfaatan mereka (Aunur Rahim
Faqih, 2006: 52). Dengan kata
lain, kebaikan umat itu hanya ada pada implementasi dakwah yang berwujud amar
ma’ruf dan nahi munkar secara konsisten dan berkesinambungan.
Imam Abdullah
an-Nasafi (2001: 194) dalam kitabnya Tafsir an-Nasafi menjelaskan
mengenai amar ma’ruf dan nahi munkar sebagai berikut:
اَلْمَعْرُوْفُ مَااسْتَحْسَنَ
الشَّرْعُ وَالْعَقْلُ وَالْمُنْكَرُ
مَااسْتَقْجَهُ الشَّرْعُ وَالْعَقْلُ، أَوِالْمَعْرُوْفُ مَاوَافَقَ
الْكِتَابَ وَالسُّنَةَ. وَالْمُنْكَرُمَاخَالَفَهُمَا،
أَوِالْمَعْرُوْفُ الطَّاعَةُ وَالْمُنْكَرُالْمَعَاصِيْ
“Al-Ma’ruf
adalah apa yang dinyatakan baik oleh syara’ dan akal, sedangkan al-munkar
adalah apa yang dinyatakan buruk oleh syara’ dan akal. Bisa juga, al-ma’ruf
ialah sesuatu yang bersesuain dengan al-kitab dan as-sunnah, sedangkan al-munkar
adalah yang berseberangan dengan keduanya. Atau bisa juga al-ma’ruf
adalah ketaatan kepada Allah, sementara al-munkar adalah kemaksiatan
kepada-Nya”.
Kesimpulan
Munculnya
kesenjangan sosial dan keterbelakangan umat Islam dalam penguasaan ekonomi dan
tekhnologi membutuhkan gerakan dakwah yang bersifat aplikatif bukan teoritis.
Dakwah sebagai agen penyebaran dan pembangunan umat dituntut harus dapat
merespon, menjawab atau memberikan solusi atas munculnya persoalan umat. Dakwah sebagai konsep dan gerakan yang menekankan
prinsip bi al-hikmah wa al-mau'idzatul al-khasanah dapat memasuki
wilayah spektrum kegiatan manusia yang sangat luas sehingga fungsi
penyelenggaraan dakwah harus mampu mentransformasikan ide-ide atau konsep agama
ke dalam dataran praksis. Dakwah yang menekankan adanya perubahan dan perbaikan
kehidupan masyarakat inilah yang selama ini dikenal dengan dakwah bil hal.
Era informasi sekarang ini merupakan tantangan sekaligus
peluang bagi syi’ar Islam yang harus mampu untuk melakukan dakwah melalui
tulisan di media cetak, melalui rubrik, kolom opini yang umumnya terdapat dalam
surat kabar harian tabloid mingguan, majalah atau buletin internal masjid. Penyampaian pesan dakwah keagamaan adalah kewajiban
setiap manusia untuk menuju ke arah kebenaran yang dalam penyampaian kebenaran
tersebut sangat beragam metode dan caranya, baik melalui lisan, tauladan yang
baik dan dengan melalui tulisan di media massa, baik cetak maupun elektronik.
Da’i adalah orang yang melaksanakan dakwah baik lisan
maupun tulisan ataupun perbuatan, dan baik secara individu, kelompok atau
berbentuk organisasi atau lembaga.
Secara umum adalah setiap muslimin atau muslimat yang mukallaf (dewasa)
dimana bagi mereka kewajiban dakwah adalah sesuatu yang melekat tidak
terpisahkan dari misinya sebagai penganut Islam, sesuai dengan perintah:
“sampaikan walaupun satu ayat”. Sedangkan secara khusus orang yang menjadi dai
yaitu orang-orang yang mengambil spesialisasi khusus (mutakhasis) dalam
bidang agama Islam yang dikenal dengan panggilan ulama.
Proses dakwah sangat memerlukan da’i sebagai unsur yang
akan mensosialisasikan ajaran-ajaran agama. Tanpa da’i bagaimanapun baiknya
ajaran agama pasti tidak mungkin bisa tersebar. Begitu pentingnya unsur da’i
dalam dakwah, maka diperlukan orang-orang yang bisa mengemban tugas mulia itu.
Oleh karena itu untuk mendukung proses dakwah agar dapat berjalan dengan baik,
maka seorang dai memiliki kemampuan-kemampuan atau kompetensi-kompetensi yang
menunjang demi suksesnya kegiatan dakwah yang dilakukannya. Memang hal ini
tidak mudah, memerlukan da'i-da'i berkualitas, sebagai personifikasi sikap dan
erilaku dalam kehidupan Islami, yang mampu mengaktualisasikan dirinya di
tengah-tengah pluralitas masyarakat. Dalam hal ini Allah telah mengisyaratkan
dalam surat Ali Imran ayat 110. Bahwa para da'i harus menjadi khaira
ummah yang punya kemampuan menampilkan dirinya di tengah dan untuk
masyarakat (ukhrijat li al-naas). Ini berarti pelaku dakwah (da'i) harus
memiliki kemampuan menjawab sekaligus menerapkan jawaban atas pertanyaan apa,
siapa di mana dan kapan ia berada. Kemampuan ini bisa menumbuhkan kesadaran
akan potensi dirinya, posisinya, situasi dan kondisi yang sedang dan akan
dihadapinya. Barulah ia mampu menggunakan pilihan-pilihan penerapan metode hikmah,
mau'dhah hasanah, mujadalah bi ihsan dan lain sebagainya yang tepat dan
mendukung strategi dakwah.
Dakwah Islamiyah menuntut adanya kemampuan seorang dai untuk
meletakkan Islam pada posisi pendamai dan pemberi makna terhadap kotradiksi dan
konflik dalam kehidupan manusia akibat globalisasi di segala bidang. Di samping
itu, manusia dalam kehidupannya selalu menjumpai berbagai macam kontradiksi dan
dikotomi yang inhern dalam eksistensinya, seperti mati-hidup, sementara-permanen,
kebebasan-keterbatasan dan lain-lain. Secara historis, manusia juga menghadapi
kontradiksi, seperti kaya-miskin, bodoh-pandai dan sebagainya. Di sini dakwah
secara konseptual harus merumuskan keseimbangan-keseimbangan yang secara
implementatif mampu menumbuhkan sistem manajemen konflik. Dengan demikian
ajaran Islam menjadi alternatif terhadap upaya mencari solusi pengembangan
sumber daya manusia seutuhnya
Kompetensi mubaligh atau mubalighot adalah sejumlah
pemahaman, pengetahuan, penghayatan dan perilaku serta ketrampilan tertentu
yang harus ada pada diri mereka agar mereka dapat melaksanakan fungsinya dengan
memadai. Dengan demikian, kompetensi bagi seorang dai adalah suatu penggambaran
ideal dan sekaligus sebagai target yang harus mereka penuhi.
Kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang da’i meliputi kompetensi substantif
dan kompetensi metodologis. Kompetensi substantif berupa kondisi-kondisi mubaligh dalam dimensi
idealnya atau kompetensi dasar bagi mubaligh atau da’i. Sedangkan kompetensi
metodologis adalah sejumlah kemampuan yang dituntut ada pada diri seorang
mubaligh atau mubalighot yang terkait dengan masalah perencanaan dan metodologi
dakwah. Dengan ungkapan lain, kompetensi metodologis ialah kemampuan yang ada
pada diri mubaligh sehingga ia: (a) mampu membuat perencanaan dakwah (persiapan
kegiatan dakwah) yang akan dilakukan dengan baik, dan (b) sekaligus mampu
melaksanakan perencanaan tersebut..
Penulis adalah suami dari Wenny Nurul 'Aini, S.Pd.I (Guru Tahfidzul Qur'an SMP Islam al-Irsyad Gandrungamngu Cilacap/Ketua Umum Pimpinan Cabang Nasyiatul 'Aisyiyah Kecamatan Gandrungmangu Cilacap) sekaligus ayah dari sasa dan Debi (Siswi SDN gandrungmangu 01) yang sekarang sedang menempuh pendidikan di Program Pascasarjana Universitas Wiralodra Indramayu Jawa Barat
DAFTAR
PUSTAKA
An-Nasafi, Abdullah ibn Ahmad ibn Mahmud. 2001. Tafsir an-Nasafi Madarik
at-Tanzil wa Haqa’iq at-Ta’wil. Juz I. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Arnold, Thomas W. 1981. Sejarah Da’wah Islam (The Preacing
of Islam). Cet. Kedua. Alih Bahasa A. Nawawi Rambe. Jakarta:
Widjaya.
Azhar, Muhammad. 2003. “Beberapa Catatan tentang
Problematika Dakwah”, Suara
Aisyiyah, No. 02, Th. Ke-80, Februari 2003.
Faqih, Aunur Rahim. 2006. Esensi,
Urgensi & Problem Dakwah. Yogyakarta: LPPAI UII.
Hasjmy, A. 1994. Dustur Dakwah Menurut al-Qur’an. Jakarta: Bulan Bintang.
Hatch, Elvin. 1973.
Theories of Man and Culture. New York: Columbia University Press.
Jasad, Usman. 2004. “Problematika Dakwah dan Alternatif Pemecahannya”,
Muhammadiyah, No. 09. Th.
Ke-89, 1-15 Mei 2004.
KH. MA Sahal Mahfudz, “Dakwah Yang Partispatif”, http://pcinu-mesir.tripod.com/ilmiah/pusaka/ispustaka/buku07/011.htm.
Donwload pada tanggal 21 Maret 2009.
Machendrawaty, Nanih dan Agus Ahmad Safei. 2001. Pengembangan Masyarakat Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mahmud, Ali Abdul Halim. 1992.
Dakwah Fardhiyah, Metode Membentuk Pribadi Muslim. Jakarta: Gema Insani Press.
Muhyiddin, Asep. 2002. Dakwah dalam Perspektif al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia.
Munir Mulkan,
Abdul. 1996. Ideologisasi Gerakan
Dakwah. Yogyakarta:
Sipress.
Puteh, Jakfar. 2006. Dakwah Tekstual dan Kontekstual. Yogyakarta:
Group.
Shihab, Quraish. 1994. Membumikan
Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung:
Mizan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar