KH Ahmad Dahlan Hobi Main Bola, KH Hasyim Asy’ari Suka Pencak Silat
Siapa yang tak kenal sosok KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari? Keduanya adalah tokoh pendiri organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia, yaitu Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU). Uniknya, kedua kyai panutan umat itu hidup sejaman, bahkan bersahabat. Namun di antaranya keduaya memiliki sejarah dan keistimewaan hidup masing-masing. Sejarah dan keistimewaan kedua tokoh tersebut terungkap dari kebiasaan-kebiasaan yang dilakukannya, sejak kecil hingga menjelang wafatnya. Kebiasaan-kebiasaan inilah yang kemudian membentuk karakter dan ketokohan sang kyai.
Kisah kebiasaan dan kegemaran KH Ahmad Dahlan dan KH Hasyim Asy’ari sebagaimana judul di atas, merupakan bagian dari kebiasaan-kebiasaan inspiratif kedua tokoh tersebut, yang terangkum dalam sebuah buku yang berjudul“Kebiasaan-kebiasaan Inspiratif KH Ahmad Dahlan & KH Hasyim Asy’ari, Teladan-teladan Kemuliaan Hidup”, karya M. Sanusi, yang diterbitkan oleh Penerbit Diva-Press.
Sampul buku “Kebiasaan-kebiasaan Inspiratif KH Ahmad Dahlan & KH Hasyim Asy’ari” (sumber: dokpri)
Bagi saya, buku ini sangat menarik, karena untuk mengenal kedua tokoh tersebut, tidak hanya dengan menelaah pemikiran-pemikirannya, namun juga dengan menelusuri kisah perjalanan hidupnya, termasuk pada kehidupan sehari-hari yang menjadi inspirasi bagi kita semua untuk meneladaninya.
Dari sekian banyak judul tulisan yang terdapat pada buku tersebut, saya tertarik dengan judul yang menguraikan tentang olahraga yang menjadi kegemaran kedua beliau tersebut. Disebutkan bahwa KH Ahmad Dahlan ternyata hobi main bola. Sedangkan KH Hasyim Asy’ari suka bela diri pencak silat. Menariknya, cerita tentang hobi kedua tokoh tersebut bukan sekedar cerita biasa yang kosong makna. Diceritakan bahwa kesukaan kedua beliau tersebut ternyata sangat berpengaruh dalam perjalanan hidup masing-masing sebagai tokoh pendiri Muhammadiyah dan NU.
Darwis Kecil yang Hobi Main Bola
Darwis, panggilan masa kecil KH Ahmad Dahlan, tak pernah absen bermain bola bersama teman-temannya ketika menjelang sore. Biasanya Darwis dan teman-temannya bermain sepakbola ketika menjelang sore atau sehabis mengaji di sore hari kepada kyai Kamaludiningrat di Masjid Gedhe Kauman. Selain bermain petak umpet dan gobag sodor, Darwis juga sering bermain bola tak jauh dari tempatnya mengaji, yakni di alun-alun utara, atau sesekali di alun-alun selatan yang tak jauh dari rumahnya.
Seperti diceritakan dalam novel “Sang Pencerah”, walaupun permainan yang berlangsung pada suatu sore hari itu tidak berpihak kepada timnya, tidak menjadikan jiwa dan raga Darwis lesu. Darwis kecil tetap semangat walaupun ia telah dicederai pihak lawan. Bahkan ia tidak mendendam akibat permainan curang sore hari itu. Di sinilah etos kedisiplinan dan sportivitas dijunjung tinggi oleh Darwis. Bagi Darwis, sepakbola adalah permainan. Kerja sama dan sportivitas merupakan elemen inti yang tak dapat ditinggalkan. Kalah dan menang bukan yang utama.
Dalam sepakbola, nilai kepemimpinan terlihat dalam diri pelatih dan kapten tim. Pelatih dapat dikatakn sebagai mastermind dalam meracik strategi bagi timnya. Pelatih adalah juga pemimpin dalam tim sepakbola. Karena itu, kewibawaan, kecerdasan, kecerdikan dan kedisiplinan merupakan sikap yang harus tertanam dalam diri setiap pelatih.
Selain pelatih, sikap pemimpin juga terlihat dalam diri kapten tim, yang memimpin reka-rekannya di lapangan. Kapten tim hadir untuk mengganti peran pelatih, untuk memimpin teman-temannya dalam menerapkan strategi yang telah ditetapkan oleh pelatih, dan juga untuk memberikan semangat bagi teman-teman satu tim. Seorang kapten tim harus memiliki kharisma khusus, di mana rekan satu timnya dapat menaruh kepercayaan untuk memimpin mereka di lapangan.
Tak heran jika kelak Darwis (yang kemudian dikenal sebagai KH Ahmad Dahlan) menjadi orang besar dan berkharisma dalam memimpin organisasi Muhammadiyah yang didirikannya. Sejak kecil, beliau secara alamiah memang terlatih sebagai pemimpin yang dicintai. Dalam memimpin, beliau menekankan strategi dan kerja sama, yang dibangun bersama dalam tim. Hingga kini, Muhammadiyah (yang didirikan pada tahun 1912) dikenal sebagai organisasi dengan kepemimpinan secara kolegial. Kepemimpinan model ini tidak menonjolkan kharisma seseorang, melainkan dengan kerja sama dan mencari titik temu jika terjadi perbedaan di antara para pemimpin. Dengan karakter kepemimpinan tersebut, maka proses regenerasi dapat berlangsung relatif tanpa hambatan. Masyarakat pun akan lebih mengenal amal usaha Muhammadiyah, seperti sekolah, rumah sakit, panti asuhan dan sebagainya, daripada nama pemimpinnya.
KH Hasyim Asy’ari yang Gemar Pencak Silat
KH Hasyim Asy’ari dikenal sebagai pribadi yang suka bela diri, terutama pencak silat. Beliau meluangkan setiap waktu secara rutin untuk memperdalam ilmu pencak silat. Hal ini dilatarbeakangi oleh kondisi sosial waktu itu yang menuntutnya menguasai ilmu bela diri. Tidak hanya KH Hasyim Asy’ari, bahkan santri pesantren Tebuireng pun juga belajar pencak silat.
Pada awalnya Dusun Tebuireng merupakan sarang maksiat dan kejahatan, di mana terjadi banyak kriminalitas, perampokan, pencurian, bahkan pembunuhan. Bersama sang istri, Nyai Khadijah, beliau merintis dakwah Islamiyah sekaligus memulai hidup baru dengan bertempat tinggal di darah Tebuireng. Sengaja beliau memilih daerah tersebut, karena orang-orang di sekitar tersebut amat jauh dari agama. Kyai Hasyim berpikiran bahwa dakwah harus menyentuh masyarakat yang masih jauh dari pesan Islam.
Kyai Hasyim dalam merintis perjuangannya menghadapi banyak hambatan, tantangan dan ancaman. Awalnya jumlah santri hanya dua orang, dan beberapa bulan kemudian baru bertambah menjadi 28 orang. Tidak jarang para santri jarang tidur, untuk berjaga-jaga pada waktu malam, karena tempat tinggal beliau sering diserbu para berandalan. Saat itu sering terjadi “perang kecil” antara santri dan penduduk yang tak suka kepada mereka. Karena itu, dengan bantuan lima orang kyai dari Cirebon, Kyai Hasyim dan para santri diajari bagaimana cara memukul, menendang, membanting dan melumpuhkan lawan yang menggunakan senjata tajam. Mereka juga diajari bertarung dengan tangan kosong.
Sejak berlatih bela diri itulah Kyai Hasyim dan para santri menjadi lebih berani, bahkan jika harus meronda sendirian di malam hari untuk menjaga lingkungan pesantren. Para pengacau di sekitar pesantren pun mulai sadar bahwa pesantren Tebuireng tak bisa lagi mereka perlakukan seenaknya. Sejak itu pulalah pesantren di Tebuireng mulai aman, karena mereka tak lagi berani mengganggu Kyai Hasyim dan para santri.
Akhirnya, satu per satu perampok itu angkat kaki. Lokasi pelacuran dan judi pun digusur. Dan pesantren Tebuireng mulai kebanjiran santri hingga mencapai 200 orang. Dengan keberhasilan perkembangan pesantren tersebut, Kyai Hasyim kemudian dikenal sebagai ulama yang sangat disegani, hingga kemudian mendirikan Nahdlatul Ulama pada tahun 1926.
Pada tahun 1945, Kyai Hasyim dan para ulama NU di Jawa Timur mengeluarkan resolusi jihad, yang mewajibkan bagi umat Islam, terutama NU, untuk mengangkat senjata melawan penjajahan Belanda dan sekutunya yang ingin berkuasa kembali di Indonesia. Kewajiban ini merupakan perang suci (jihad), yang berlaku bagi setiap muslim yang tinggal radius 94 kilometer. Sedangkan mereka yang berada di luar radius tersebut harus membantu dalam bentuk material bagi mereka yang berjuang.
http://media.kompasiana.com/buku/2014/02/02/kh-ahmad-dahlan-hobi-main-bola-kh-hasyim-asyari-suka-pencak-silat-632279.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar