Kepada Guruku:
“Tulis, Tulis, dan Tulislah!”
“Menulislah,” saran saya kepada sejumlah rekan guru SD, SMP, dan SMA.
“Menulis? Memangnya, saya guru Bahasa Indonesia?” tukas seorang guru Matematika.
“Tidak perlu. Sudah ada buku-buku paket untuk bahan ajar,” kilah seorang guru Ilmu Pengetahuan Alam (IPA).
“Tidak sempat. Sibuk menyiapkan bahan pelajaran dan memeriksa PR sertaulangan anak-anak ,” dalih seorang guru Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS).
“Tidak punya ide untuk dituliskan,” alasan seorang guru Pendidikan Kewarganegaraan.
“Saya tidak bakat menulis,” kata seorang guru Pendidikan Jasmani dan Olahraga, singkat tegas.
“Saya sudah menulis power point bahan ajar,” kata seorang guru IPA Biologi. Tapi, menulis bahan ajar semacam itu hanya sekadar menyalin ulang isi buku ajar, bukan?
“Ah, nanti saja, kalau sudah mau naik pangkat,” jawab seorang guru Bahasa Indonesia. Kaitannya dengan pemberlakuan Permeneg PAN dan RB No. 16/2009 tentang Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya sejak 2013 (Permendiknas No. 35/2010) yang mewajibkan syarat publikasi karya ilmiah untuk kenaikan pangkat dari golongan ruang IIIb ke IIIc dan seterusnya.
Semua tanggapan di atas adalah kutipan dialog imajiner dengan para guru. Sekadar menunjukkan sejumlah alasan guru menghindari kewajiban menulis. Padahal, ia adalah pasangan kewajiban membaca. Keduanya adalah cara guru meningkatan kompetensi keilmuan dan keguruan secara mandiri.
Sebenarnya, mengapa guru wajib menulis? Apa pula kendalanya? Lalu, langkah apa bisa diambil guna meningkatkan budaya tulis di kalangan guru?
Empat Tipe Guru
Untuk menjawab pertanyaan, baiklah kita buat tipologi guru menurut intensitas baca dan tulisnya. Dengan membedakan antarai ntensitas “jarang” (rendah) dan “sering” (tinggi), diperoleh empat tipe guru.
Pertama, Guru Jabajatu, jarang baca dan jarang tulis. Guru Jabajatu hanyamengajar persis sesuai Silabus dan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Di depan kelas, dari tahun ke tahun, ia mengajarkan hanya materi standar dengan cara yang menjemukan. Tak ada ikhtiar membaca dan menulis untuk inovasi metode dan pengayaan materi ajar. Peningkatan kompetensi ajar hanya terjadi jika kebetulan ia ikut pelatihan.
Kedua, Guru Jabasetu, jarang baca tapi sering tulis. Sebenarnya, ini tipe yang mustahil, karena bahkan seorang penyair yang paling mumpuni tetap perlu membaca untuk mendukung proses kreatifnya. Kalau ada tipe guru seperti ini, maka baginya menulis tidaklah bermakna produksi ide, melainkan semata-mata “mencatat” apa saja yang menarik perhatiannya, tanpa harus terkait dengan bidang ilmunya. Di depan kelas, guru ini sama menjemukannya dengan Guru Jabajatu.Peningkatkan kompetensi ajarnya juga didapat terutama dari pelatihan formal.
Ketiga, Guru Sebajatu, sering baca tapi jarang tulis. Karena rajin membaca maka a perbendaharaan ilmunya kaya lagi mutakhir. Di depan kelas, Guru Sebajatu umumnya atraktif. Metodenya variatif dan materi ajarnya kaya illustrasi. Dilihat dari segi tabungan ilmu-pengetahuan,guru ini punya modal besar untuk menulis.Kendalanya hanya soal teknis (keterbatasan waktu/keterampilan) dan non-teknis ( kurang motivasi/minat) yang sebenarnya bisa diatasi. Peningkatan kompetensi guru ini bersumber terutama dari luar dirinya, yaitu berupa ragam tulisan orang lain.Tentu saja ia juga ikut ragam pelatihan.
Keempat, Guru Sebasetu, sering baca dan sering tulis. Inilah guru idaman setiap murid, sekolah, dan masyarakat. Peningkatan kompetensinya berasal dari interaksi dua aktivitas, yaitu membaca dan menulis sekaligus. Artinya, bersumber dari luar dirinya (baca tulisan orang) dan dari dalam dirinya (buat tulisan sendiri). Bagi Guru Sebasetu berlaku prinsip, “Semakin banyak membaca maka semakin banyak menulis.” Bisa dipastikan, dibanding lainnya, Guru Sebajatu adalah guru yang paling tinggi kompetensinya.
Ikhwal tinggi rendahnya kompetensi masing-masing tipe guru itu, sebenarnya dapat dijelaskan dengan mengutip ungkapan George Bernard Shaw (1856-1950), sastrawan besar Irlandia. Katanya, “Jika Anda dan saya masing-masing punya sebuah apel, lalu kita saling-tukar, maka masing-masing kita tetap punya sebuah apel. Tapi jika Anda dan saya masing-masing punya sebuah ide, lalu kita saling-tukar, maka masing-masing kita punya dua ide.” (Terjemahan bebas dari: “If you have an apple and I have an apple and we exchange these apples then you and I will still each have one apple. But if you have an idea and I have an idea and we exchange these ideas, then each of us will have two ideas.”)
Ringkasnya, bayangkanlah status penguasaan ide atau ilmu-pengetahuan pada masing-masing tipe guru itu. Guru-guru Jabajatu dan Jabasetu hanya punya satu ide “usang” karena tak pernah bertukar ide, melalui proses baca-tulis. Guru Sebajatu sebenarnya juga hanya punya satu ide, tapi semakin besar dan selalu baru, karena rajin membaca. Hanya Guru Sebasetu yang punya dua ide, dalam arti penguasaan ilmu-pengetahuan dan kompetensi yang lebih besar dan mutakhir, karena rajin bertukar ide dengan melalui proses baca dan tulis.
Guru Sebasetu menerima ide baru dari orang lain (lewat kegiatan baca) juga membagi ide yang lebih baru lagi kepada orang lain (lewat kegiatan tulis). Prinsip yang berlaku baginya adalah: “Berdiri di pundak penulis terdahulu, untuk dapat melihat lebih jauh ke depan.”
Sekarang bayangkan Anda mau mendaftarkan anak masuk sekolah. Ada dua pilihan sekolah: “Sekolah A” dengan mayoritas Guru Jabajatu dan Jabasetu, dan “Sekolah B” dengan mayoritas Guru Sebajatu dan Sebasetu. Kalau memilih “Sekolah B”, berarti Anda sangat paham arti penting guru membaca dan menulis.Sebaliknya, jika memilih “Sekolah A”, maka kadar cinta Anda pada anak perlu dipertanyakan.
Pilih Eksis atau Habis?
Pernah dengar motto Publish or Perish, yang ditujukan bagi kalangan akademisi,bukan? Terjemahan bebasnya, “Menulis atau Habis”. Atau, “Mau eksis, menulislah. Mau habis, jangan menulis.” Maksudnya, seorang akademisi hanya mungkin eksis jika menulis (publikasi), dan sebaliknya akan habis (punah) jika tidak menulis. Motto ini berlaku juga untuk guru, karena guru juga akademisi.
Kita bisa perkirakan bagaimana eksistensi tiap-tiap tipe guru tadi. Pastilah Guru Sebasetu yang paling eksis dalam arti, pertama, kompetensi ajar diukur dari tingkat penguasaan materi dan metode ajarnya paling tinggi.
Kedua, secara sosial paling mendapat pengakuan atau legitimasi sebagai guru dari murid, lingkungan sekolah, dan masyarakat luas, berkat publikasi karya-karya tulisnya.
Ketiga, secara hirarkis berada pada ruang jabatan/kepangkatan yang lebih tinggi, berkat capaian kumulatif angka kreditnya lebih besar, khususnya di bidang karya tulis.
Keempat, karena kompetensinya yang lebih tinggi maka kontribusinya terhadap mutu sekolah menjadi lebih besar. Imbalannya dalah jabatan struktural dan peluang-peluang pengembangan karir lainnya.
Guru Sebasetu tidak semata pengajar, tapi pendidik sejati dengan manfaat ganda.Bagi murid ia sumber peningkatan kecerdasan akademis, sosial, dan spiritual sekaligus. Bagi sekolah ia sumber peningkatan kredibilitas. Bagi masyarakat luas ia sumber inspirasi dan pencerahan, melalui publikasi tulisannya.
Sebaliknya, untuk mengambil ekstrimnya, Guru Jabajatu adalah yang paling tidak eksis. Lambat laun ia akan “habis” dilindas oleh tuntutan perkembangan pesat ilmu-pengetahuan dan kebutuhan proses belajar-mengajar modern. Sangat mungkin terjadi bahwa untuk bidang tertentu kemampuan akademik murid akan menyamai, atau bahkan melampaui, kemampuan akademik Guru Jabajatu. Misalnya, kemampuan Bahasa Inggris seorang murid peserta kursus luar-sekolah bisa menyamai atau bahkan melampaui kemampuan seorang guru Jabajatu Bahasa Inggris.
Semua Guru Bisa Menulis
Semua lulusan pendidikan tinggi pernah menulis sekurangnya satu karya. Semua guru sekolah adalah lulusan pendidikan tinggi. Maka semua guru sudah pernah menulis sekurangnya satu karya ilmiah. Berarti, semua guru sebenarnya berpotensi menulis.
Lantas bagaimana caranya agar potensi itu menjadi efektif? Baiklah kita camkan nasihat mendiang Romo YB Mangunwijaya, rohaniawan penulis novel best sellerBurung-burung Manyar. Seorang teman yang sempat ngenger padanya pernah bertanya, “Apa rahasianya Romo begitu produktif menulis?” Jawabnya, “Banyak membaca. Otak kita, seperti bendungan, harus dipenuhi dulu dengan pengetahuan.Setelah penuh, maka seperti air melimpah dari bendungan, ide-ide dari kepala akan mengalir dengan sendirinya dalam bentuk tulisan.” Sederhana, bukan?
Masalahnya, mungkin, guru sering dihadapkan pada dua kendala perintang niat menulis. Pertama, belum-belum sudah mentok pada pertanyaan “Saya mau menulis tentang apa?” Sebenarnya tidak perlu terlalu bingung. Tinggal mengaitkan, misalnya, konsep-konsep ilmu yang dikuasai dengan gejala mutakhir. Contohnya,guru Biologi menulis virus Ebola dan cara menghindarinya. Guru Fisika menulis radiasi telepon genggam dan cara menghindarinya. Guru Bahasa Indonesiamengeritik kebiasaan berbahasa seorang menteri.
Kedua, sudah dapat ide tapi lalu mentok pada pertanyaan “Bagaimana cara menuliskannya?” Lha, dulu bagaimana cara menulis tugas akhir kuliah. Tapi ini memang kendala umum. Kata guru saya dulu, untuk mengatasinya, tuliskan saja dulu seperti layaknya bicara lisan. Setelah itu sunting lagi, karena hasilnya pasti rada aneh. Lama kelamaan, dari proses tulis dan sunting berulang-ulang, tulisan akan semakin baik sampai akhirnya bisa bersorak, “Ini gaya tulisku!”
Lalu Publikasi Dimana?
Tulisan sudah selesai, muncul pertanyaan baru, “Dipublikasikan dimana?” Tentu tak bisa berharap terbit langsung di koran, majalah, dan jurnal kelas nasional. Butuh kerja keras dan waktu panjang untuk sampai ke sana. Lantas bagaimana menyiasatinya?
“Gampang sekali itu.” (Jokowi, 1984). Internet solusinya. Setiap guru bisa membuat akun blog pribadi. Terbitkan di situ semua tulisan. Lalu bilang pada murid, misalnya, “Untuk bahan ulangan minggu depan, baca bahannya di akun blog milik Bapak/Ibu , ya?” Misalkan guru mengajar di tiga kelas, dan per kelas 30 orang murid, maka ia sudah menangkap pembaca setia sebanyak 90 orang, bukan? Biarkan murid berkomentar bebas terhadap tulisan, sebagai bahan refleksi untuk perbaikan.Semakin sering guru mewajibkan murid membaca bahan di blog, semakin baik, karena akan semakin banyak “jam internet” murid dialokasikan untuk “internet positif”.
Untuk menjaring pembaca yang lebih luas, sangat disarankan guru membuat pula akun blog gotong-royong , misalnya Kompasiana. Dengan menulis di Kompasiana, berarti guru turut mencerahkan masyarakat. Tambahan, jika tulisannya tertayang diHeadline, guru bisa bilang pada muridnya, “Baca tulisan Bapak di HeadlineKompasiana, sekarang juga!” Murid pasti akan kagum pada gurunya, lalu terinspirasi juga menulis.
Selanjutnya, tanpa kenal jemu, coba pilih tulisan-tulisan “terbaik” dari arsip blog.Tulis ulanglah, sekalian perkaya data, pertajam analisisnya, dan perbaiki struktur, gaya, serta pilihan katanya. Kemudian kirimkan ke koran, majalah, atau jurnal. Tentu tulisan harus disesuaikan dengan kriteria media yang dituju. Syukur-syukur, setelah mengalami penolakan sembilan belas kali, tulisan keduapuluh sukses diterbitkan.Setelah itu, yakinlah, menulis akan menjadi “kebutuhan dasar”.
Fasilitasi dari Swasta
Intensi dorongan guru menulis bukan untuk membentuk guru jadi penulis. Tapi lebih pada upaya membentuk perimbangan baca-tulis dalam intensitas tinggi. Dengan begitu, proses peningkatan kompetensi ajar guru secara mandiri menjadi paripurna.
Pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan Dasar dan Menengah, sebenarnya wajib memfasilitasi guru untuk pengembangan diri di bidang tulis-menulis. Tetapi, mungkin terlalu banyak urusan lain yang lebih mendesak dalam kondisi pundi-pundi negara yang bikin “sesak di dada”. Karena itu, berharap fasilitasi dari pemerintah mungkin ibarat berharap sisik belut saja.
Saatnya, saya pikir, untuk berharap pada pihak swasta. Tentu dalam kerangkagotongroyong dengan pemerintah untuk membangun pendidikan, antara lainpengembangan kompetensi guru, khususnya dibidang tulis-menulis.
Dari banyak pihak swasta, maka dua institusi ini pantas dijadikan tumpuan harapan, yaitu Tanoto Foundation dan Kompasiana. Tanoto Foundation punya komitmen memajukan pendidikan melalui Program Pelita Pendidikan di Riau, Jambi, dan Sumatera Utara. Antara lain terdapat komponen peningkatan kapasitas dan kompetensi guru melalui pembangunan perpustakaan dan pelatihan guru mandiri.Sedangkan Kompasiana dikenal sebagai blog gotongroyong yang sudah memfasiliatasi banyak guru untuk berani menulis dan mempublikasinya ke khalayak.
Tanoto Foundation dan Kompasiana dapat mengembangkan kerjasama untuk fasilitasi guru menulis. Sekurangnya ada dua langkah fasilitasi yang bisa dilakukan.
Pertama, kerjasama workshop guru menulis. Saya kira, banyak Kompasioner berkualifikasi penulis “hebat” yang bersedia menjadi voluntir sebagai fasilitator.Tanoto Foundation dan Kompasiana cukup menyiapkan makanan, minuman, ongkos transport, dan tempat tidur saja. Workshop menulis bisa dimulai dengan guru binaan Tanoto Foundation.
Kedua, kerjasama membuat jurnal ilmiah online terakreditasi yang khusus memuat tulisan-tulisan ilmiah para guru se-Indonesia. Namanya, misalnya, “Jurnal Guru Mengajar Indonesia”, wow, keren, bukan? Pasti banyak pula Kompasioner yang berkualifikasi dan berkompetensi tinggi bersedia menjadi editornya. Alangkah beruntungnya kita, andai jurnal online itu menjadi kenyataan. semua. Guru semakin produktif menulis. Kita, khususnya para pelajar, beroleh semakin banyak pencerahan dari mereka.
Tapi, ada atau tidak fasilitasi semacam itu, kepada para guruku tetap kusampaikan dorongan, “Menjadilah Guru Sebasetu!”. Ingatlah selalu ajakan Pak Jokowi, “Kerja kerja kerja!” Dimaknai khusus untuk para guruku, “Tulis, tulis, dan tulislah!”
Sumber: http://edukasi.kompasiana.com/2014/11/19/kepada-guruku-tulis-tulis-dan-tulislah-692234.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar