URGENSI GURU PAI DALAM PEMBELAJARAN SISWA
Oleh: Wenny Nurul ‘Aini*
A. Latar Belakang Masalah
Pembentukan karakter yang baik bagi generasi penerus harus dimulai ketika seseorang masih kecil. Pentingnya pengembangan karakter bangsa sebagai dasar untuk menciptakan generasi yang unggul dan memiliki bargaining position di masa depan.
Pendidikan adalah proses secara sadar dalam membentuk anak didik untuk mencapai perkembangannya menuju kedewasaan jasmani maupun rohani, dan proses ini merupakan usaha pendidik membimbing anak didik dalam arti khusus misalnya memberikan dorongan atau motivasi dan mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi siswa. Oleh karena itu, motivasi merupakan salah satu faktor penunjang dalam menentukan intensitas usaha untuk belajar dan juga dapat dipandang sebagai suatu usaha yang membawa anak didik ke arah pengalaman belajar sehingga dapat menimbulkan tenaga dan aktivitas siswa serta memusatkan perhatian siswa pada suatu waktu tertentu untuk mencapai suatu tujuan. Motivasi bukan saja menggerakkan tingkah laku tetapi juga dapat mengarahkan dan memperkuat tingkah laku.
Siswa yang mempunyai motivasi dalam pembelajarannya akan menunjukkan minat, semangat dan ketekunan yang tinggi dalam belajarnya, tanpa banyak bergantung kepada guru. Motivasi belajar adalah faktor psikis yang bersifat non intelektual. Peranannya yang khas yaitu dalam hal menumbuhkan gairah dalam belajar, merasa senang dan mempunyai semangat untuk belajar sehingga proses belajar mengajar dapat berhasil secara optimal (Sardiman, 1996: 123). Oleh karena itu, pengembangan pembelajaran pendidikan agama Islam di sekolah perlu diupayakan bagaimana agar dapat mempengaruhi dan menimbulkan motivasi melalui penataan metode pembelajaran yang dapat mendorong tumbuhnya motivasi yang dapat mendorong tumbuhnya motivasi belajar dalam diri siswa. Hal ini dikarenakan pada dasarnya motivasi berfungsi mendorong manusia untuk berbuat sebagai penggerak, menentukan arah perbuatan dan menyeleksi perbuatan (Nasution, 1986: 79-80).
Memperhatikan fungsi motivasi yang sangat besar faedahnya bagi siswa dalam proses pembelajaran, maka jelas fungsi guru agama sebagai motivator sangat dibutuhkan, terlebih jika dikaitkan dengan proses pembelajaran yang terjadi di sekolah umum, dimana waktu yang digunakan adalah sangat terbatas yaitu 3 X 45 menit dalam seminggu. Hal ini menjadi kendala dan problem dalam pelaksanaan kegiatan belajar mengajar pendidikan agama Islam. Problem lain yang terjadi bahwa siswa cenderung kurang berminat terhadap mata pelajaran pendidikan agama Islam, disamping proses pembelajaran yang kelihatan kurang maksimal diminati siswa, sehingga hasilnya tidak sesuai dengan tujuan yang dirumuskan.
Sesuai dengan tuntutan zaman untuk membina perkembangan jasmani dan rohaninya kearah kedewasaan, pendidikan agama diharapkan memiliki arah yang jelas dan dan mendapat perhatian khusus demi terlaksananya pendidikan agama yang berhasil dan berdaya guna. Oleh karena itu menurut Azizy (2003: vii), maka pendidikan agama harus diarahkan sebagai landasan untuk mendalami disiplin ilmu umum dan penanaman nilai-nilai yang bersumber dari agama yang diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua arah pendidikan tersebut dimaksudkan agar pendidikan agama bukan hanya mengajarkan do’a dan tata cara ibadah kepada Tuhan saja, tapi juga berperan aktif dalam memberi motivasi anak didik untuk lebih baik dan lebih maju serta mampu membangun kehidupan yang lebih santun dengan landasan etika sosial yang benar. Dengan demikian seharusnya pendidikan agama mampu menjadi pilar utama sebagai bagian dari pendidikan secara umum untuk membangun etika sosial bangsa kita.
Undang-undang Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pasal 39 ayat 2 pada bab XI tentang pendidik dan tenaga kependidikan dikemukakan bahwa:
Pendidik merupakan tenaga professional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran. Melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi (UU Sisdiknas, 2003: 21).
Pengertian pendidik menurut UU Sisdiknas dapat dipahami bahwa tugas seorang pendidik tidak hanya sekedar mengajar tapi juga memperhatikan hasil yang dicapai oleh siswa dan juga membimbing siswa untuk bisa mengembangkan kecerdasan kognitif, afektif, dan psikomotoriknya secara optimal.
Guru adalah unsur manusiawi dalam pendidikan. Guru adalah figur manusia sumber yang menempati posisi dan memegang peranan penting dalam pendidikan. Oleh karena itu, figur guru mesti terlibat dalam agenda pembicaraan, terutama yang menyangkut soal pendidikan formal di sekolah. Hal itu tidak dapat disangkal, karena lembaga pendidikan formal adalah dunia kehidupan guru.
Di sekolah, guru hadir untuk mengabdikan diri kepada umat manusia dalam hal ini anak didik. Negara menuntut generasinya yang memerlukan pembinaan dan bimbingan dari guru. Sementara itu, anak didik merupakan harapan dan milik yang berharga bagi orang tua, di tangan gurulah anak-anak tumbuh menemukan jalan hidupnya. Pendidikan yang diberikan untuk anak merupakan pondasi untuk masa depannya. Oleh karena itu, kehadiran guru sangat berarti sekali bagi anak didik.
Menjadi guru berdasarkan tuntutan pekerjaan adalah perbuatan yang mudah tetapi menjadi guru berdasarkan panggilan jiwa/tuntutan hati nurani adalah tidak mudah, karena kepadanya lebih banyak dituntut suatu pengabdian kepada anak didik dari pada tuntutan pekerjaan. Guru yang mendasarkan pengabdiannya karena panggilan jiwa merasakan jiwanya lebih dekat dengan anak didiknya. Kemuliaan guru tercermin pada pengabdiannya kepada anak didik dalam interaksi edukatif di sekolah dan di luar sekolah.
Melihat kenyataan yang ada dimasa sekarang banyak guru yang mendasarkan pengabdiannya karena tuntutan pekerjaan sehingga guru dalam mengajar anak didiknya hanya sekedar menunaikan kewajibannya karena telah menerima gaji, padahal anak didik bukanlah seorang pendengar yang hanya diceramahi anak langsung paham, anak didik adalah anak-anak yang memerlukan bimbingan, perhatian, kasih sayang, untuk mengembangkan kecerdasan kognitif, afektif, dan psikomotorik yang dimilikinya.
B. Peranan guru dalam pembelajaran siswa
Masalah pendidikan adalah masalah hidup dan kehidupan manusia, di mana ia akan selalu memerlukan pendidikan agar ia mampu mempertahankan hidup atau dapat mencapai kehidupannya agar lebih baik. Menurut Zuhairini (1995: 92), pendidikan dalam sejarah manusia, sebenarnya sudah dimulai sejak adanya makhluk yang bernama manusia. Hal ini berarti bahwa pendidikan itu berkembang dan berproses bersama-sama dengan proses perkembangan dan kehidupan manusia.
Usaha untuk menciptakan suatu sistem pendidikan yang dapat memindahkan nilai-nilai kebudayaan yang dikehendaki tersebut belum sepenuhnya dapat mencapai hasil yang maksimal serta memuaskan. Dengan kata lain, sistem pendidikan yang benar-benar mapan dapat diterima secara universal, bentuk nilai-nilai falsafi, serta serasi dengan fitrah manusia dan tatanan masyarakat masih belum ditemui (Zalaludin, 1994: 13). Hal itu terlihat dari kenyataan hasil yang telah dicapai oleh pendidikan model Barat yang lebih menonjolkan aspek rasional manusia. Pendidikan yang awalnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemashlahatan manusia, telah menghasilkan kemajuan dibidang ilmu pengetahuan. Namun pendidikan model ini belum sepenuhnya mampu menyentuh kebutuhan hakiki dari manusia secara sempurna yaitu kebutuhan nilai-nilai kemanusiaan, baik dari aspek jasmani dan rohani.
As-Syaibani (1979: 10). bahkan menyatakan bahwa penentuan sikap dan tanggapan tentang manusia sangat penting dan vital, tanpa sikap dan tanggapan yang jelas, pendidikan akan meraba-raba Apabila pemahaman tentang manusia tidak jelas, maka berakibat tidak baik pada proses pendidikan itu sendiri. Hal ini selaras dengan statemen yang menyatakan bahwa pendidikan adalah proses yang komprehensif sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Tarbiyatu wa al-Ta’lim yang berbunyi :
فَالتَّرْ بِيَةُ بِاْلمَعْنَ اْلعَامِ هِىَ كُلُّ مُؤَ ثِّرٍ فىِ تَكْوِيْنِ الشَخْصِ الجَسْمَانِىِّ وَاْلجَسْمَانىِ وَاْلخُلُقِىَّ مِنْ حَيْنَ وِلاَدَتِهِ إِلىَ مَوْتِهِ, وَتَشْمِلُ جَمِيْعُ الْعَوَامِلِ سَوَاءٌ أَكَانَتْ مَقْصُوْدَةٌ كَالتَرْ بِيَةِ وَاْلمَتْرِلِيَّةِ وَاْلمَدْرَسِيَّةِ, اَمْ غَيْرُمَقْصُوْدَةٌ كَالتَرْبِيَةِ الَّتِى تَجِيْئُ عَرْضًاوَمَنْ تَأ ثِيْرِ البِيْئَةِ الطَبِيْعِيَّةَ وَاْلاِجْتِمَاعِيَّةِ وَغَيْرِذَلِكَ
Pendidikan secara umum adalah setiap pengaruh dalam menjadikan seseorang secara badaniyah, akliyah (akhlak), semenjak lahir sampai pendidikan di rumah dan di sekolah, ataupun tidak seperti tujuan pendidikan yang datang karena pengaruh tabiat (sifat) serta pengaruh masyarakat dan lain sebagainya (Muhammad Qasim Bakr, t.t: 7).
Guru adalah merupakan salah satu komponen manusiawi dalam proses belajar mengajar yang ikut berperan dalam usaha pembentukan sumber daya manusia yang potensial di bidang pembangunan. Oleh karena itu, guru harus berperan aktif dalam menempatkan kedudukannya sebagai tenaga profesional, sesuai dengan tuntutan masyarakat yang semakin berkembang. Guru dalam pandangan masyarakat adalah orang yang melaksanakan pendidikan di tempat-tempat tertentu, tidak mesti di lembaga pendidikan formal, tetapi bisa juga di masjid, di surau/mushola, di rumah dan sebagainya.
Menurut Zuhairini, guru agama Islam merupakan pendidik yang mempunyai tanggung jawab dalam membentuk kepribadian Islam anak didik, serta bertanggung jawab terhadap Allah Swt (Zuhairini, 1983: 84). Oleh karena itu, ia mempunyai tugas untuk mengajarkan ilmu pengetahuan Islam, menanamkan keimanan dalam jiwa anak, mendidik anak agar taat menjalankan agama dan berbudi pekerti yang mulia.
Statemen tersebut sejalan dengan ungkapan Syaikh Az-Zarnujiy ( 1978: 16) dalam kitabnya yang berjudul Ta'limul Muta'alim:
وَاَمَّااخْتِيَارُاْلاُسْتَاذِ, فَيَنْبَغِى اَنْ يَخْتَارَ اْلاَعْلَمَ وَاْلاَوْرَعَ وَاْلاَسَنَّ, كَمَااخْتَارَاَبُوْحَنِيْفَةَ حِيْنَئِذٍحَمَّادَبْنَ اَبِى سُلَيْمَانَ بَعْدَ التَّأَمُّلِ وَالتَّفَكُّرِ.
Dalam memilih guru, hendaklah mengambil yang lebih 'alim, waro' dan juga lebih tua usianya. Sebagaimana Abu Hanifah setelah lebih dahulu memikir dan mempertimbangkan lebih lanjut, maka menentukan pilihannya kepada Tuan Hammad Bin Abu Sulaiman.
Berdasarkan ketentuan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa syarat seorang guru agama yang profesional adalah mencakup tentang syarat yang berhubungan dirinya sendiri, syarat-syarat yang berhubungan dengan pelajaran, syarat-syarat yang berhubungan ketika guru berada ditengah-tengah muridnya, sehat jasmani dan rohani, syarat paedagogis yang meliputi; kedewasaan, pengetahuan, ketrampilan, keahlian serta berijasah serta yang lebih 'alim, waro' dan lebih tua usianya.
Tugas berat seorang guru inilah yang menjadikannya niat karena Allah semata, mencintai siswa sebagaimana ia mencintai diri sendiri, memotivasi siswa untuk menuntut ilmu seluas mungkin, menyampaikan pelajaran dengan bahasa yang mudah dipahami oleh siswa, melakukan evaluasi terhadap kegiatan belajar mengajar yang dilakukannya, bersikap adil terhadap semua siswa, membantu memenuhi kemaslahatan murid baik dengan kedudukan ataupun hartanya dan memantau perkembangan murid, baik intelektual maupun akhlaknya (2004: 89-94). Hal ini sejalan dengan gagasan AR Sahad (1987: 14) yang menyatakan:
Teacher are responsible for guiding, moulding and improving the career of the community. They are like torch-light in darkness. As the earth derives tight and energy from the sun, similiarly the pupils receive knowledge and guidence from their teacher. The teacher are like the moon and the students are just like the star so the seekers of knowledge and the learned teacher accupy on exceptionally prominent place in society (Pendidik bertanggung jawab penuh untuk menuntun, mencetak (karir) dan meningkatkan karier (jenjang karier) dari suatu masyarakat. Pendidik diibaratkan sebagai suatu lampu yang menyala di tengah kegelapan, sedangkan murid adalah individu yang menerima ilmu pengetahuan dan bimbingan dari pendidik mereka. Dengan demikian dalam dunia pendidikan dan pencarian ilmu, pendidik menempati posisi yang tertinggi dalam kehidupan masyarakat).
Melihat kenyataan ini, maka seorang guru menurut Syaiful Bahri Djamarah (2000: 43-48) hendaknya dapat menjadi seorang korektor, inspirator, informator, organisator, motivator, inisiator, fasilitator, pembimbing, demonstrator, pengelola kelas, mediator, supervisor, dan evaluator. Jadi apapun yang diucapkan dan dilakukan oleh seorang guru akan mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap peran guru tersebut. Inilah yang barangkali menurut Usman (2002: 7) menyebabkan masyarakat menempatkan guru pada tempat yang lebih terhormat dilingkungannya karena keluasan ilmu pengetahuannya. Oleh karena itu, guru Pendidikan Agama Islam, dituntut rasa pengabdian dan tanggung jawab yang tinggi terhadap pertumbuhan dan perkembangan moral bangsa dan negara serta agama sesuai dengan hak-hak yang diperoleh guru agama, baik dalam lingkungan sekolah maupun masyarakat, akan memberikan kewenangan bagi guru pendidikan agama Islam sesuai dengan tugas dan tanggung jawabnya.
C. Kesimpulan
Pendidik atau guru agama ideal dalam pendidikan Islam adalah setiap orang dewasa yang karena kewajiban agamanya bertanggung jawab atas pendidikan dirinya dan orang lain. Sedangkan menyerahkan tanggung jawab dalam amanat pendidikan adalah agama, dan wewenang pendidik dilegitimasi oleh agama, sementara yang menerima tanggung jawab dan amanat adalah setiap orang dewasa untuk membimbing dan membina anak didik, baik secara individual maupun klasikal, baik di sekolah maupun diluar sekolah. Oleh karena itu, guru harus dapat menjadi pengajar, pendidik, pemimpin, model, dan konsultan bagi siswa.
Untuk mencapai kriteria tersebut, maka seorang guru semestinya dapat bersikap adil, percaya dan suka terhadap murid, sabar dan rela berkorban, berpengetahuan luas, menghormati guru lain dan ilmu yang bukan pegangannya, konsekuen, perkataan sesuai dengan perbuatan, tidak mengharapkan upah dan pujian, tetapi mengharapkan ridho Allah, memperhatikan fase perkembangan murid agar ilmu yang disampaikan sesuai, sederhana, dan terhadap murid yang bertingkah laku buruk, guru hendaknya menegur dengan cara yang baik.
Peran seorang guru sebagai pendidik amatlah penting sekali terutama bagi murid pada tingkat satuan pendidikan. Hal inilah yang menjadikan ia harus berperan sebagai caregiver (pembimbing), uswatun hasanah (contoh), mentor (penasehat), korektor, inspirator, informator, organisator, motivator, inisiator.
* Wenny Nurul ‘Aini, S. Pd. I adalah alumni Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) Jurusan Tarbiyah STAIN Purwokerto tahun 2004, sekarang mengabdi sebagai guru PAI SMP Islam Al-Irsyad Gandrungmangu, Cilacap.
DAFTAR PUSTAKA
As-Syaibani, At-Toumi. 1979. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Azizy, Qodri A. 2002. Pendidikan (Agama) untuk Membangun Etika Sosial. Semarang: Aneka Ilmu.
Az-Zarnujiy, Syaikh. t.t.'limul Muta'alim. Semarang: Toha Putra.
Djamarah, Syaiful Bahri. 2000. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif. Jakarta: Rineka Cipta.
Hussen, Syed. 1994. Menyongsong Keruntuhan Pendidikan Islam. Bandung: Gema Risalah.
Muhammad Qasim Bakr. t.t. al-Tarbiyatu wa al-Ta’lim. Surabaya: Maktabah al-Hidayah.
Nasution, S. 1986. Didaktik Asas-Asas Mengajar. Bandung: Jemmars.
Ramayulis. 2004. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
Sahad A.R. 1987. The Rights of Allah and Human Rights. India: Syah Offset Printer.
Sardiman. AM. 1996. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Usman, Moh. Uzer. 2002. Menjadi Guru Profesional. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Zalaluddin. 1994. Filsafat Pendidikan Islam, Konsep dan Perkembangan Pemikirannya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Zuhairini. 1983. Metodik Khusus Pendidikan Agama. Surabaya: Usaha Nasional.
_______. 1995. Filsafat Pendidikan Islam. Surabaya: Usaha Nasional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar