STRATEGI DAKWAH KULTURAL MUHAMMADIYAH
Islam adalah agama dakwah yaitu agama yang mengajak dan memerintahkan umatnya untuk selalu menyebarkan dan menyiarkan ajaran Islam kepada seluruh umat manusia. Oleh karena itu, dakwah, baik sebagai konsep maupun sebagai aktivitas, telah memasuki seluruh wilayah dan ruang lingkup kehidupan manusia. Seluruh aspek kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dari sudut pandang dakwah.
Dakwah, baik sebagai gagasan maupun sebagai kegiatan, sangat terkait dengan ajaran amar ma’ruf nahi munkar (menyuruh untuk mengerjakan kebaikan dan kebajikan dan melarang atau mencegah untuk melakukan keburukan atau kemungkaran). Kebaikan dan keburukan selalu ada dalam kehidupan kita dan tampil sebagai suatu keadaan atau kekuatan yang berlawanan.
Dakwah merupakan salah satu tugas dan kewajiban yang harus dilakukan oleh umat Islam, sebagaimana perintah Allah dalam surat Ali Imran ayat 104 yang berbunyi:
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyuruh kepada kebajikan dan mengajak kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.
Ayat ini mengandung makna agar setiap muslim berusaha menyatukan diri dalam gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar untuk membebaskan diri dari kebodohan, kesengsaraan dan kemelaratan. Atas dasar seruan ayat tersebut, K.H. Ahmad Dahlan tergerak hatinya untuk mendirikan sebuah persyarikatan Muhammadiyah dengan tugas khidmat melaksanakan misi dakwah amar makruf nahi munkar di tengah-tengah masyarakat luas.
Muhammadiyah adalah organisasi yang lahir sebagai alternatif berbagai persoalan yang dihadapi umat Islam Indonesia sekitar akhir abad 19 dan awal abad 20. Muhammadiyah merupakan konsekwensi logis munculnya pertanyaan-pertanyaan sederhana seorang muslim kepada diri dan masyarakatnya tentang bagaimana memahami dan mengamalkan kebenaran Islam yang telah diimani sehingga pesan global Islam yaitu rahmatan lil alamin atau kesejahteraan bagi seluruh kehidupan dapat mewujud dalam kehidupan objektif umat manusia.
Sejak kehadirannya di tengah-tengah panggung sejarah, Muhammadiyah telah memberikan kontribusi yang nyata bagi kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia. Peran dan partisipasi Muhammadiyah disebut dengan amal usaha Muhammadiyah memang merupakan hal yang fundamental bagi gerakan tersebut apalagi jika ditinjau dari latar belakang kehadirannya. Partisipasi itu dijalankan dengan berbagai cara dan bentuk, sejak gerakan itu lahir dan berlangsung hingga kini, memang diakui oleh banyak pihak.
Dakwah Rasulullah Muhammad menggunakan strategi; pendekatan personal, pendekatan pendidikan, pendekatan penawaran, pendekatan missi, pendekatan korespondensi, dan pendekatan diskusi. Strategi dakwah Rasulullah tersebut ternyata telah menunjukkan keberhasilan, salah satu indikasinya adalah dalam masa tugas kerasulan yang kurang dari dua puluh tiga tahun, orang yang masuk Islam tidak kurang dari 114.000 orang. Sekurang-kurangnya ada dua faktor yang sangat menentukan dalam dakwah beliau; pertama, adanya konsistensi Nabi dengan kode etika dakwah, yang antara lain; tidak memisahkan antara ucapan dan perbuatan, tidak mencerca sesembahan lawan, tidak melakukan kompromi dalam hal agama, dan tidak meminta imbalan. Kedua, adanya keteladanan yang beliau berikan pada para sahabat (Ali Mustafa Yaqub, 2000: 94-95). Demikian juga dalam strategi dakwah, ada dua macam strategi; bi-alqaul (bi-al-ihsan) dan bi-al-af’al, (termasuk bi al-khitabah atau bi-al-a’mal).
Penjabaran dari kedua kegiatan itu melahirkan empat ragam kegiatan dakwah, yakni; pertama, tabligh dan ta’lim; kedua, irsyad; ketiga, tathwir, dan keempat tadbir. Tabligh dan ta’lim dilakukan dalam pencerdasan dan pencerahan masyarakat melalui kegiatan pokok; sosialisasi, internalisasi, dan eksternalisasi nilai ajaran Islam, dengan menggunakan sarana mimbar, media massa cetak dan audia visual. Irsyad, dilakukan dalam rangka pemecahan masalah psikologis, melalui kegiatan pokok; bimbingan penyuluhan pribadi dan bimbingan penyuluhan keluarga, baik secara prefentif maupun kuratif. Tadbir (manajemen pembangunan masyarakat), dilakukan dalam rangka perekayasaan dan pemberdayaan masyarakat dalam kehidupan yang lebih baik, peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan pranata sosial keagamaan, serta menumbuhkan serta mengembangkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Tathwir (pengembangan masyarakat), dilakukan dalam rangka meningkatkan sosial budaya masyarakat, yang dilakukan dengan kegiatan pokok; pentransformasian dan pelembagaan nilai-nilai ajaran Islam dalam realitas kehidupan umat, yang menyangkut kemanusiaan, seni budaya, dan kehidupan bermasyarakat. Dengan kata lain, tathwir berkaitan dengan kegiatan dakwah melalui strategi sosial budaya, atau dakwah kultural (Asep Muhyiddin, 2002: 34-35).
Atas dasar ini dapat difahami, kalau apa yang semula merupakan gagasan dan pokok-pokok pikiran pribadi K.H. Ahmad Dahlan itu kemudian diintegrasikan menjadi gagasan dan pokok-pokok pikiran Muhammadiyah. Tidak dapat disangkal, Muhammadiyah sebagai ormas ke-Islaman, telah banyak memberi sumbangan nyata kepada umat. Tugas dakwah yang dilakukan Muhammadiyah, mulai dari lembaga pendidikan, rumah sakit, panti asuhan, dan lain-lain, yang dapat dirasakan betul manfaatnya oleh masyarakat. Terutama dalam bidang pendidikan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, Muhammadiyah mempunyai andil yang cukup besar. Komitmen Muhammadiyah kepada kaum lemah, anak yatim dan fakir miskin juga tidak pernah luntur, ini bisa dilihat dengan adanya rumah sakit dan panti asuhan yang dikelola oleh Muhammadiyah.
Peran Muhammadiyah yang didirikan K.H Ahmad Dahlan dalam dakwah Islam menggunakan strategi yang berpusat pada pembaharuan (tajdid) serta menjaga kemurnian Islam (purifikasi). Dalam rangka kegiatan pembaharuan dan pemurnian itu, selain dengan pemasyarakatan tajdid (dengan menggerakkan telaah ulang atas sistim mazhab dan taklid buta), Muhammadiyah juga mengadakan gerakan pemberantasan TBC (takhyul, bid’ah, dan churafat). Untuk itu, dakwah Muhammadiyah banyak diarahkan untuk memberantas segala hal yang berbau TBC (Weinata Sairin, 2005: 48-50).
Ada dua prinsip dasar yang menjadi acuan dakwah yang dikembangkan pendiri Muhammadiyah, K.H Ahmad Dahlan; pertama, adalah pembebasan, yakni membebaskan manusia dari belenggu kebodohan, dan yang kedua, adalah penghargaan atas harkat dan martabat kemanusiaan. Dalam upaya untuk membebaskan masyarakat dari kolonialisme asing yang membodohkan, K.H Ahmad Dahlan melakukan lompatan kultural dengan mengadopsi aspek-aspek positif dari budaya asing, seperti mendirikan lembaga pendidikan, panti asuhan, dan balai pengobatan. Sementara itu, untuk membebaskan manusia dari belenggu budaya dan kepercayaan, K.H Ahmad Dahlan mengembangkan pendidikan yang berbasis pada pengembangan akal dan rasionalitas. Sebagai implikasi dari lompatan dakwah yang berbasis pengembangan akal dan rasionalitas itulah K.H Ahmad Dahlan sering dipersepsikan anti budaya lokal (Abdurrahim Ghazali, 2003: 9-11). Dengan dikenalkan dakwah kultural di lingkungan Muhammadiyah mengindikasikan adanya aktualisasi penyikapan atas segala budaya lokal di lingkungan persyarikatan Muhammadiyah. Organisasi ini semakin menyadari tentang pentingnya budaya local sebagai media dakwah, walaupun mungkin sekarang masih dalam proses memilih, dan memilah dengan ’hati-hati’ berbagai macam budaya lokal agar tidak bertabrakan dengan doktrin-doktrin yang sudah mapan di Muhammadiyah.
A. Strategi Dakwah Kultural Muhammadiyah
Dakwah kultural adalah; upaya menanamkan nilai-nilai Islam dalam seluruh dimensi kehidupan dengan memperhatikan potensi dan kecenderungan manusia sebagai makhluk budaya secara luas, dalam rangka mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Ciri-ciri dakwah cultural adalah dinamis, kreatif dan inovatif (Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2004: 26).
Muhammadiyah yang didirikan KH Ahmad Dahlan, strategi dakwahnya berpusat pada pembaharuan (tajdid) serta menjaga kemurnian Islam (purifikasi). Dalam rangka kegiatan pembaharuan dan pemurnian itu, selain dengan pemasyarakatan tajdid (dengan menggerakkan telaah ulang atas sistim mazhab dan taklid buta), Muhammadiyah juga mengadakan gerakan pemberantasan TBC (takhyul, bid’ah, dan churafat). Untuk itu, dakwah Muhammadiyah banyak diarahkan untuk memberantas segala hal yang berbau TBC.
Dengan datangnya ‘pembaharuan’ dan ‘purifikasi’ yang dibawa Muhammadiyah sudah barang tentu berbenturan dengan faham keagamaan yang sudah lama berkembang di masyarakat yang notabene dalam ‘beberapa amaliah’ sudah mendapatkan pembenaran dari ulama tradisionil. Oleh karena itu, dalam sidang Tanwir Muhammadiyah di Denpasar, Bali, tahun 2002, memberikan PR besar bagi warga Muhamamdiyah untuk menerobos wacana baru, yaitu “dakwah kultural”. Wacana ini memang sangat kontraversial di kalangan Muhammadiyah. Namun melalui pengkajian secara intensif oleh beberapa tokoh di kalangan Muhamamdiyah, akhirnya dicapai kata sepakat untuk mengagendakan dakwah kultural ke depan. Pada sidang tanwir Muhammadiyah di Makassar, tahun 2003, telah direkomendasikan dakwah kultural sebagai pendekatan sekaligus metode dalam berdakwah di Muhammadiyah (Mu’arif, 2005: 164-165).
Tegasnya gerakan dakwah kultural ini cenderung mempertanyakan kebenaran statement yang mengatakan bahwa gerakan dakwah dipandang belum sungguh-sungguh memperjuangkan Islam, ketika belum secara terus-menerus memperjuangkan negara berdasarkan syariat Islam. Dakwah kultural mempertanyakan validitas tesis tersebut, apakah benar dakwah umat yang berada di luar kekuasaaan, adalah dakwah yang tidak lengkap, dan sempurna.
Sebagai ormas Islam, Muhammadiyah sangat kental dengan predikat ‘pemurnian’, sehingga kesannya angker, sebab banyak dari warga pedesaan khususnya, merasa segala aktifitas berkesenian dilarang. Muhammadiyah dianggap anti kesenian. Padahal tidak semua kesenian bertentangan dengan ajaran Islam. Menurut Ahmadun Y Herfanda (budayawan dan wartawan), melihat fenomena kebudayaan sekarang ini, Muhammadiyah sebaiknya memiliki strategi yang jitu untuk mengakomodir berbagai budaya yang berkembang dalam masyarakat, sekaligus menyaring seni dan budaya yang sesuai dengan kepribadian dalam Muhammadiyah (Suara Muhammadiyah, 2006: 6-9). Hal itu juga sesuai dengan gagasan ‘dakwah kultural’. Kalau selama ini dakwah Muhamamdiyah terkonsentrasi pada kalangan abangan dan masyarakat perkotaan semata, maka dengan adanya perubahan dan gerak zaman yang begitu cepat, perlu adanya rumusan yang jelas menyangkut segmen pedesaan untuk menjadi sasaran dakwah Muhammadiyah ke depan (Din Syamsuddin, 2005: v).
Untuk mengatasi problematika umat tersebut, maka aktivitas dakwah Muhammadiyah harus difokuskan pada beberapa hal. Pertama, pengentasan kemiskinan. Kedua, persiapan suplai elit muslim ke berbagai jalur kepemimpinan bangsa sesuai dengan skillnya masing-masing. Ketiga, mapping sosial umat sebagai langkah pengembangan dakwah. Keempat, pengintegrasian wawasan etika, estetika, logika, dan budaya dalam berbagai planning dakwah, Kelima, pendirian pusat-pusat studi dan informasi umat secara profesional yang berorientasi pada dinamisasi iptek. Keenam, menjadikan masjid sebagai pusat aktivitas ekonomi, kesehatan, dan syia’ar Islam. Ketujuh, menjadikan Islam sebagai pelopor yang profetis, humanis, dan transformatif (Usman Jasad, 2004: 38-39). Dengan bahasa lain, dakwah Islam tidak boleh dijadikan obyek dan alat legitimasi bagi pembangunan yang semata-mata bersifat ekonomis-pragmatis (Muhammad Azhar, 2003: 12-13). Langkah-langkah tersebutlah yang akan membawa Islam menjadi sebuah gerakan dakwah yang progresif dan inklusif.
Efektifitas dakwah mempunyai dua strategi yang saling mempengaruhi keberhasilannya. Pertama, peningkatan kualitas keberagamaan dengan berbagai cakupannya seperti di atas, dan kedua, mampu mendorong perubahan sosial. Ini berarti memerlukan pendekatan partisipatif di samping pendekatan kebutuhan. Dakwah bukan lagi menggunakan pendekatan yang hanya direncanakan sepihak oleh pelaku dakwah dan bukan pula hanya pendekatan tradisional, mengutamakan besarnya massa.
Suasana seperti itulah yang membuat dai dan mad’u terlibat diskusi secara dialogis tentang dakwah Islam itu sendiri. Dengan demikian pola pikir antar keduanya dapat disatukan dan dimodifikasikan untuk menjadi pola pikir dan aksi secara konsisten. Pandangan seperti ini sejalan dengan statemen Benedict dalam Theories of Man and Culture (Elvin Hatch, 1973: 29), di mana ia menyatakan:
All thought a culture is the chance accumulation of so many disparate elements for tuitously assembled from all direction by diffusion, the constituent elements a remodified to form a more or less consistent pattern of thought and action. “Semua pikiran adalah suatu kultur akumulasi yang memberi kesempatan sangat banyak bagi unsur-unsur yang berlainan untuk dirakit dari semua arah difusi, unsur-unsur yang konstituen dapat dimodifikasi kembali untuk membentuk suatu contoh pola aksi dan pikiran konsisten yang lebih besar”.
Pada dasarnya semua manusia yang sudah baligh, laki-laki maupun perempuan diperintahkan oleh Allah untuk saling menopang demi terlaksana dan tegaknya amar ma’ruf dan nahi munkar. Penegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar akan menjadi parameter kualitas khaira ummah. Menurut Ibnu Katsir Umat yang terbaik adalah umat yang terbaik bagi manusia dari sisi kemanfaatan mereka (Aunur Rahim Faqih, 2006: 52). Dengan kata lain, kebaikan umat itu hanya ada pada implementasi dakwah yang berwujud amar ma’ruf dan nahi munkar secara konsisten dan berkesinambungan.
Imam Abdullah an-Nasafi (2001: 194) dalam kitabnya Tafsir an-Nasafi menjelaskan mengenai amar ma’ruf dan nahi munkar sebagai berikut:
اَلْمَعْرُوْفُ مَااسْتَحْسَنَ الشَّرْعُ وَالْعَقْلُ وَالْمُنْكَرُ مَااسْتَقْجَهُ الشَّرْعُ وَالْعَقْلُ، أَوِالْمَعْرُوْفُ مَاوَافَقَ الْكِتَابَ وَالسُّنَةَ. وَالْمُنْكَرُمَاخَالَفَهُمَا، أَوِالْمَعْرُوْفُ الطَّاعَةُ وَالْمُنْكَرُالْمَعَاصِيْ
“Al-Ma’ruf adalah apa yang dinyatakan baik oleh syara’ dan akal, sedangkan al-munkar adalah apa yang dinyatakan buruk oleh syara’ dan akal. Bisa juga, al-ma’ruf ialah sesuatu yang bersesuain dengan al-kitab dan as-sunnah, sedangkan al-munkar adalah yang berseberangan dengan keduanya. Atau bisa juga al-ma’ruf adalah ketaatan kepada Allah, sementara al-munkar adalah kemaksiatan kepada-Nya”.
Menurut Zakiyudin Baidawy (www. Islamlib.com), tokoh muda Muhammadiyah, berbeda dari dua model dakwah Muhammadiyah sebelumnya yang anti- TBC, dakwah kultural Muhammadiyah adalah dakwah pro-TBC. Yakni: 1) dakwah yang memanfaatkan dan membangkitkan kemampuan imajinatif (takhayyul) individu dan masyarakat agar kehidupan semakin estetik (indah), holistik, simbolik (dalam arti beradab), dan cerdas; 2) dakwah yang mendorong, memotivasi, dan mengkondisikan individu dan masyarakat untuk mencipta (kreatif) dan menemukan (inovatif) berbagai hal baru (bid’ah) baik dalam ide (pemikiran, wacana, teori dalam Muhammadiyah, dan masyarakat), aktivitas (praksis, gerakan Muhammadiyah), dan bentuk kebudayaan (amal-amal usaha Muhammadiyah); 3) serta dakwah yang mengeksplorasi seluruh kemampuan untuk meredefinisi “mitos” (baca: cita-cita sosial, meminjam istilah Mohammed Arkoun), mereproduksi, bahkan memproduksi mitos baru (khurafat) untuk mambangun citra keberagamaan, keberislaman, dan keber-muhammadiyah-an dalam rangka menuju masyarakat utama.
Untuk itu, dakwah kultural tidak hanya difokuskan pada penyikapan atas budaya lokal, tapi perlu diarahkan pada dakwah pengembangan masyarakat dengan harus memperhatikan beberapa prinsip dasar, yaitu; pertama, orientasi pada kesejahteraan lahir dan batin masyarakat luas. Dakwah tidak hanya sekedar merumuskan keinginan sebagian masyarakat saja, tapi direncanakan sebagai usaha membenahi kehidupan sosial bersama masyarakat, agar penindasan, ketidakadilan, dan kesewenang-wenangan tidak lagi hidup di tengah-tengah mereka. Skala makro yang menjadi sasaran dakwah bukan berarti meninggalkan skala mikro kepentingan individu anggota masyarakat. Kedua, dakwah pengembangan masyarakat pada dasarnya adalah upaya melakukan rekayasa sosial untuk mendapatkan perubahan tatanan kehidupan sosial yang lebih baik.
Untuk itu, landasan berpikir pada dai dalam melihat problem yang dihadapi masyarakat adalah sebuah permasalahan sosial, yang mestinya pemecahannya dilaksanakan dalam skala kehidupan sosial (Abdul Halim, 2005: 15-16). Dengan dikenalkan dakwah kultural di lingkungan Muhammadiyah mengindikasikan adanya ’aktualisasi’ penyikapan atas budaya lokal di lingkungan Muhammadiyah.Organisasi ini semakin menyadari tentang pentingnya budaya lokal sebagai media dakwah, walaupun mungkin sekarang masih dalam proses memilih, dan memilah dengan ’hati-hati’ berbagai macam budaya lokal agar tidak bertabrakan dengan doktrin-doktrin yang sudah mapan di Muhammadiyah.
B. Penutup
Munculnya kesenjangan sosial dan keterbelakangan umat Islam dalam penguasaan ekonomi dan tekhnologi membutuhkan gerakan dakwah yang bersifat aplikatif bukan teoritis. Dakwah sebagai agen penyebaran dan pembangunan umat dituntut harus dapat merespon, menjawab atau memberikan solusi atas munculnya persoalan umat.
Dakwah sebagai konsep dan gerakan yang menekankan prinsip bi al-hikmah wa al-mau'idzatul al-khasanah dapat memasuki wilayah spektrum kegiatan manusia yang sangat luas sehingga fungsi penyelenggaraan dakwah harus mampu mentransformasikan ide-ide atau konsep agama ke dalam dataran praksis. Dakwah yang menekankan adanya perubahan dan perbaikan kehidupan masyarakat inilah yang selama ini dikenal dengan dakwah bil hal.
Era informasi sekarang ini merupakan tantangan sekaligus peluang bagi syi’ar Islam yang harus mampu untuk melakukan dakwah melalui tulisan di media cetak, melalui rubrik, kolom opini yang umumnya terdapat dalam surat kabar harian tabloid mingguan, majalah atau buletin internal masjid. Penyampaian pesan dakwah keagamaan adalah kewajiban setiap manusia untuk menuju ke arah kebenaran yang dalam penyampaian kebenaran tersebut sangat beragam metode dan caranya, baik melalui lisan, tauladan yang baik dan dengan melalui tulisan di media massa, baik cetak maupun elektronik.
Muhammadiyah sebagai organisasi Islam modern dituntut untuk dapat melaksanakan dakwah, baik lisan maupun tulisan ataupun perbuatan, secara individu, kelompok atau berbentuk organisasi atau lembaga. Secara umum adalah setiap muslimin atau muslimat yang mukallaf (dewasa) dimana bagi mereka kewajiban dakwah adalah sesuatu yang melekat tidak terpisahkan dari misinya sebagai penganut Islam, sesuai dengan perintah: “sampaikan walaupun satu ayat”. Sedangkan secara khusus orang yang menjadi dai yaitu orang-orang yang mengambil spesialisasi khusus (mutakhasis) dalam bidang agama Islam yang dikenal dengan panggilan ulama.
Proses dakwah sangat memerlukan pendekatan atau strategi sebagai salah satu unsur yang akan mensosialisasikan ajaran-ajaran agama. Tanpa strategi bagaimanapun baiknya ajaran agama pasti tidak mungkin bisa tersebar. Begitu pentingnya unsur strategi dalam dakwah, maka diperlukan orang-orang yang bisa mengemban tugas mulia itu. Oleh karena itu untuk mendukung proses dakwah agar dapat berjalan dengan baik, maka Muhammadiyah membekali para dainya dengan kemampuan-kemampuan atau kompetensi-kompetensi yang menunjang demi suksesnya kegiatan dakwah yang dilakukannya. Memang hal ini tidak mudah, memerlukan da'i-da'i berkualitas, sebagai personifikasi sikap dan perilaku dalam kehidupan Islami, yang mampu mengaktualisasikan dirinya di tengah-tengah pluralitas masyarakat. Allah telah mengisyaratkan dalam surat Ali Imran ayat 110. Bahwa para da'i harus menjadi khaira ummah yang punya kemampuan menampilkan dirinya di tengah dan untuk masyarakat (ukhrijat li al-naas). Ini berarti pelaku dakwah, termasuk Muhammadiyah harus memiliki kemampuan menjawab sekaligus menerapkan jawaban atas pertanyaan apa, siapa di mana dan kapan ia berada. Kemampuan ini bisa menumbuhkan kesadaran akan potensi dirinya, posisinya, situasi dan kondisi yang sedang dan akan dihadapinya. Hal inilah yang mendorong Muhammadiyah menerapkan strategi dakwahnya dengan dakwah kultural.
Inti dakwah kultural yang dikembangkan Muhammadiyah adalah menekankan keragaman substansional, dakwah nilai-nilai Islam yang substansial berupa; kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, kerjasama, dan semangat melawan penindasan kemanusiaan. Dalam konteks keindonesiaan dakwah pemberdayaan umat seperti ini lebih diperlukan mengingat sebagian besar masyarakat Islam Indonesia lemah di berbagai bidang. Untuk itu forum pertemuan kedua organisasi itu perlu sering dilakukan, baik dalam bentuk diskusi, seminar maupun lainnya dengan topik pembicaraaan tentang upaya memberdayakan umat secara bersama-sama.
* Tarqum Aziz S.H.I. adalah ketua PC IRM Purwokerto (1998-2000)/Anggota PCPM Gandrungmangu Cilacap, tinggal di Kamulyan Rt 09/II Bantarsari Cilacap bersama isteri dan dua putrinya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah ibn Ahmad ibn Mahmud An-Nasafi. 2001. Tafsir an-Nasafi Madarik at-Tanzil wa Haqa’iq at-Ta’wil. Juz I. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Abdul Halim. 2005. “Paradigma Dakwah Pengembangan Masyarakat”, dalam Moh. Ali Aziz, Dkk (ed.), Dakwah Pemberdayaan Masyarakat Paradigma Aksi dan Metodologis, (Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
Abdul Rosyad Shaleh. 1987. Manajemen Dakwah Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Abdurrahim Ghazali. 2003. “Dari Dogmatis ke Kultural Refleksi Kritis Dakwah Muhammadiyah”. dalam Muslim Abdurrahman (ed.). Muhammadiyah Sebagai Tenda Kultural. Jakarta: Ma’arif Institute dan Ideo Press.
Ali Mustafa Yaqub. 2000. Sejarah dan Metode Dakwah Nabi., Jakarta: Pustaka Firdaus.
Asep Muhyiddin. 2002. Metode Pengembangan Dakwah. Bandung: Pustaka Setia.
Aunur Rahim Faqih. 2006. Esensi, Urgensi & Problem Dakwah. Yogyakarta: LPPAI UII.
Din Syamsuddin. 2005. “Menjadikan Dakwah Sebagai Strategi Transformasi Sosial”. (Kata Pengantar) dalam Imam Muchlas. Landasan dakwah Kultural. Yogyakarta: Pustaka Suara Muhammadiyah.
Elvin Hatch. 1973. Theories of Man and Culture. New York: Columbia University Press.
Faisal Ismail. 2001. “Dakwah di Tengah Persoalan Budaya dan Politik”. Kata Pengantar. Hamdan Daulay. Dakwah dalam Percaturan Politik. Yogyakarta: LESFI.
Hamdan Hambali. 2008. Ideologi dan Strtaegi Muhammadiyah. Yogyakarta: Pustaka Suara Muhammadiyah.
Mu’arif. 2005. “Dakwah Kultural: Mencermati Kearifan Dakwah Muhammadiyah” dalam Imron Nasri (ed.). Pluralisme dan Liberalisme Pergolakan Pemikiran Anak Muda Muhammadiyah. Yogyakarta: Citra Karsa Mandiri.
Muhammad Azhar, “Beberapa Catatan tentang Problematika Dakwah”, Suara Aisyiyah, No. 02, Th. Ke-80, Februari 2003.
Mustafa Kemal Pasha. 2005. Muhammadiyah Sebagai Gerakan Dakwah Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Pimpinan Pusat Muhammadiyah. 2004. Dakwah Kultural Muhammadiyah., Yogyakarta: Pustaka Suara Muhammadiyah.
Suara Muhammadiyah”, No. 3 th. Ke 91, 1-15 Februari 2006.
Usman Jasad, “Problematika Dakwah dan Alternatif Pemecahannya”, Muhammadiyah, No. 09. Th. Ke-89, 1-15 Mei 2004.
Weinata Sairin. 2005. Gerakan Pembaharuan Muhammadiyah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Zakiyudin Baydhawy. “Kritik atas Paham Keagamaan Muhammadiyah Dakwah Klutural vs Imperialisme Islam Murni”, www. Islamlib.com, 17-10-2010.