KEADILAN PERKAWINAN POLIGAMI
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
Oleh: Tarqum Aziz, SHI
(Mantan Ketua Umum PC IRM Purwokerto/Anggota PDPM Banyumas)
A. Latar Belakang Masalah
Poligami merupakan permasalahan dalam perkawinan yang paling banyak diperdebatkan sekaligus kontroversial. Poligami ditolak dengan berbagai macam argumentasi baik yang bersifat normatif, psikologis bahkan selalu dikaitkan dengan ketidakadilan gender. Para penulis barat sering mengklaim bahwa poligami adalah bukti bahwa ajaran Islam dalam bidang perkawinan sangat diskriminatif terhadap perempuan. Menurut Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, poligami dikampanyekan karena dianggap memiliki sandaran normative yang tegas dan dipandang sebagai salah satu alternatif untuk menyelesaikan fenomena selingkuh dan prostitusi (Nuruddin dan Akmal: 2004: 156).
Poligami merupakan praktik pernikahan kepada lebih dari satu suami atau istri (sesuai dengan jenis kelamin orang bersangkutan) sekaligus pada suatu saat (berlawanan dengan monogami, di mana seseorang memiliki hanya satu suami atau istri pada suatu saat). Terdapat tiga bentuk poligami, yaitu poligini (seorang pria memiliki beberapa istri sekaligus), poliandri (seorang wanita memiliki beberapa suami sekaligus), dan pernikahan kelompok (bahasa Inggris: group marriage, yaitu kombinasi poligini dan poliandri). Ketiga bentuk poligami tersebut ditemukan dalam sejarah, namum poligini merupakan bentuk yang paling umum terjadi. Walaupun diperbolehkan dalam beberapa kebudayaan, poligami ditentang oleh sebagian kalangan. Terutama kaum feminis menentang poligini, karena mereka menganggap poligini sebagai bentuk penindasan kepada kaum wanita.
B. Makna keadilan dalam poligami
Poligami merupakan persoalan pelik yang dihadapi oleh kaum perempuan dalam Islam, bahkan para pengamat dari luar Islam menganggap dibolehkanya poligami membuktikan bahwa Islam mengabaikan konsep demokrasi dan HAM dalam relasi suami istri sebagai bentuk diskriminasi dan marginalisasi terhadap perempuan. Landasan normatif kebolehan poligami dalam Islam merujuk surat an-Nisa>’ ayat 3 yang berbunyi:
وَاِنْ خِفْتُمْ اَلاَّ تُفْسِطُوْا فِى الْيَتمى فَانْكِحُوْا مَاطَابَ لَكُمْ مِّنَ لنِّسَآءِ مَسْنىٰ وَثُلثَ وَرُبَعَ ۚ فَإِنْ خِفْتُمْ اَلاَّ تُقْدِ لُوْا فَوَا حِدَةٌ اَوْ مَامَلَكَتْ اَيْمَانُكُمْ ۗ ذٰلِكَ اَدْ نى اَلاَّ تَعُوْلُوْا
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil terhadap hak-hak perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya),maka kawinilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu tidak akan dapat berbuat adil, maka kawinilah seorang saja,atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.
Di Indonesia persoalan perkawinan termasuk didalamnya masalah poligami diatur secara formal dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan peraturan pelaksanaanya dalam PP Nomor 9 tahun 1975, UU NO. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama serta instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (Hasan Bisri, 1996: 117-123). Lahirnya Undang-Undang tersebut merupakan upaya memfositifkan hukum islam dalam hukum nasional dan menjadikan peradilan Agama sebagai institusi formal pelaksanaanya. Semua produk perundang-undangan tersebut pada hakikatnya merupakan upaya pembatasan poligami yang digali dari nilai-nilai agama islam sebagai instrumen menciptakan relasi suami isteri yang adil, seimbang dengan prinsip kesetaraan.
Para ulama fiqh sepakat bahwa kebolehan poligami dalam perkawinan didasarkan pada firman Allah Swt. surat an-Nisa>’ ayat 3 di atas. Ayat 3 surat an-Nisa>’ ini masih ada kaitannya dengan ayat sebelumnya yaitu ayat 2 surat an-Nisa>’. Ayat 2 mengingatkan kepada para wali yang mengelola harta anak yatim, bahwa mereka berdosa besar jika sampai memakan atau menukar harta anak yatim yang baik dengan yang jelek dengan jalan yang tidak sah. Sedangkan ayat 3 mengingatkan kepada para wali anak wanita yatim yang mau mengawini anak yatim tersebut, agar si wali itu beritikad baik dan adil dan fair, yakni si wali wajib memberikan mahar dan hak-hak lainnya kepada anak yatim wanita yang dikawininya. Ia tidak boleh mengawininya dengan maksud untuk memeras dan menguras harta anak yatim atau menghalang-halangi anak wanita yatim kawin dengan orang lain. Hal ini berdasarkan keterangan Aisyah ra waktu ditanya oleh Urwah bin al-Zubair ra mengenai maksud ayat 3 surat an-Nisa>’ tersebut (Zuhdi, 1997: 14). Jika wali anak wanita yatim tersebut khawatir atau takut tidak bisa berbuat adil terhadap anak yatim, maka ia (wali) tidak boleh mengawini anak wanita yatim yang berada di bawah perwaliannya itu, tetapi ia wajib kawin dengan wanita lain yang ia senangi, seorang isteri sampai dengan empat, dengan syarat ia mampu berbuat adil terhadap isteri-isterinya. Jika ia takut tidak bisa berbuat adil terhadap isteri-isterinya, maka ia hanya beristeri seorang, dan ini pun ia tidak boleh berbuat dholim terhadap isteri yang seorang itu. Apabila ia masih takut pula kalau berbuat zalim terhadap isterinya yang seorang itu, maka tidak boleh ia kawin dengannya, tetapi ia harus mencukupkan dirinya dengan budak wanitanya.
Poligami memiliki akar sejarah yang panjang dalam perjalanan peradaban manusia itu sendiri. Sebelum Islam datang ke Jazirah Arab, poligami merupakan sesuatu yang telah mentradisi bagi masyarakat Arab. Poligami masa itu dapat disebut poligami tak terbatas, bahkan lebih dari itu tidak ada gagasan keadilan di antara para istri. Suamilah menentukan sepenuhnya siapa yang ia sukai dan siapa yang ia pilih untuk dimiliki secara tidak terbatas. Isrti-istri harus menerima takdir mereka tanpa ada usaha memperoleh keadilan (Engineer, 2003: 111).
Pada umumnya, para fuqaha dalam membahas masalah poligami hanya menyoroti aspek hukum kebolehan poligami saja tanpa upaya untuk mengkritisi kembali hakikat dibalik hukum boleh tersebut baik secara historis, sosiologis maupun antropologis (Hasyim, 2001: 161). Oleh karena itu dalam perkembangannya, interpretasi ayat poligami sebagaimana tertuang dalam kitab-kitab fiqih klasik banyak digugat karena dianggap bias gender.
Ayat 3 surat an-Nisa>’ sebagaimana yang ditulis dimuka secara ekplisit seorang suami boleh beristri lebih dari seorang sampai batas maksimal empat orang dengan syarat mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya itu. Ayat ini melarang menghimpun dalam saat yang sama lebih dari empat orang istri bagi seorang pria. Ketika turun ayat ini, Rasulullah memerintahkan semua pria yang memiliki lebih dari empat istri, agar segera menceraikan istri-istrinya sehingga maksimal setiap orang hanya memperistrikan empat orang wanita (Quraish Shihab, 1999: 199).
Poligami bertujuan untuk memelihara hak-hak wanita dan memelihara kemuliaannya. Kebolehan poligami terdapat pesan-pesan strategis yang dapat diaktualisasikan untuk kebahagiaan manusia. Poligami memiliki nilai sosial ekonomis untuk mengangkat harkat dan martabat wanita. Muhammad Abduh berpendapat bahwa poligami merupakan tindakan yang tidak boleh dan haram. Poligami hanya dibolehkan jika keadaan benar-benar memaksa seperti tidak dapat mengandung. Kebolehan poligami juga mensyaratkan kemampuan suami untk berlaku adil. Ini merupakan sesuatu yang sangat berat, seandainya manusia tetap bersikeras untuk berlaku adil tetap saja ia tidak akan mampu membagi kasih sayangnya secara adil (Nasution, 1996: 100).
Muhammad Asad juga mengatakan bahwa kebolehan poligami hingga maksimal empat istri dibatasi dengan syarat, “jika kamu punya alasan takut, tidak mampu memperlakukan adil terhadap istri , maka kawinilah satu, karena untuk membuat perkawinan majemuk ini hanya sangat mungkin dalam kasus-kasus yang luar biasa dan dalam kondisi yang luar biasa (Engineer: 2003: 139). Poligami bisa menjadi sumber konflik dalam kehidupan keluarga, baik konflik antara suami dengan isteri-isteri dan anak-anak dari isteri-isterinya, maupun konflik antara isteri beserta anak-anaknya masing-masing. Oleh sebab itu, hukum asal perkawinan dalam Islam adalah monogami, sebab dengan monogami akan mudah menetralisir sifat atau watak cemburu, iri hati dan suka mengeluh dalam dalam keluarga monogamis. Berbeda dengan kehidupan keluarga yang poligami, orang akan mudah peka dan terangsang timbulnya perasaan cemburu, iri hati, dengki dan suka mengeluh dalam kadar tinggi, sehingga bisa mengganggu ketenangan keluarga dan dapat membahayakan keutuhan keluarga. Dengan demikian, poligami hanya diperbolehkan, bila dalam keadaan darurat, misalnya isterinya ternyata mandul (tidak dapat membuahkan keturunan), isteri terkena penyakit yang menyebabkan tidak bisa memenuhi kewajibannya sebagai seorang isteri.
Hukum perkawinan yang baik ialah yang bisa menjamin dan memelihara hakekat perkawinan, yaitu untuk menghadapi segala keadaan yang terjadi atau yang mungkin akan terjadi. Perkawinan adalah hubungan kemanusiaan antara lelaki dengan wanita untuk menyongsong kehidupan dengan segala problemanya. Kesepakatan sepasang suami isteri untuk saling setia dan tetap sebagai sebuah keluarga yang utuh memang merupakan dambaan dan suatu kesempurnaan ruhani. Kesempurnaan ruhani tidak dapat dipaksakan oleh kekuatan hukum. Keutamaan di sini tentu bukan dalam arti seorang lelaki mencukupkan untuk beristeri satu karena ketidakmampuannya beristeri dua atau tiga. Keutamaan dalam hal ini adalah jika seorang pria sebenarnya mampu beristeri lebih dari satu, tetapi ia tidak mau melakukannya. Atas kemauannya sendiri ia tidak berpoligami, berdasarkan kesadaran bahwa kebahagiaan spiritual terletak dari sikapnya yang menjauhkan diri dari polgami. Jika beristeri satu karena terpaksa, itu tidak bedanya dengan berpoligami.
Pada dasarnya, hukum perkawinan hanya dapat ditegakkan atas dasar kenyataan obyektif dan dalam ruang lingkup yang seluas-luasnya; mengakui keutamaan monogami dan tidak mutlak melarang poligami. Melarang sesuatu yang kurang sempurna akan membuat terperosok kedalam kesalahan, yaitu menganggap semua orang sempurna atau sanggup menempuh cara hidup yang sempurna. Itulah ketetapan hukum perkawinan dalam Islam, yang mengakui monogami lebih mendekati keadilan dan kebajikan, tetapi bersamaan dengan itu membolehkan poligami, karena merupakan hal yang perlu diperhitungkan dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian, tidak seorangpun dapat mengingkari terjadinya poligami yang sesuai hukum, dan tidak seorangpun dapat berdalih menggunakan hukum untuk bertindak di luar hukum.
Pada berbagai keadaan tertentu, poligami diperlukan untuk melestarikan kehidupan keluarga. Kemandulan seorang istri atau penyakit yang menahun atau wanita yang telah hilang daya tarik fisik atau mental yang akan menyeret terjadinya perceraian daripada poligami. Oleh karena itu, sudah sepatutnya seorang isteri yang demikian merelakan suaminya melakukan poligami, bila suaminya berkehendak sebagai bukti tanggung jawabnya (isteri) dalam rangka melestarikan kehidupan keluarga dan kemakmuran bumi. Hal ini selaras dengan perintah Allah yang menyuruh setiap manusia yang telah mampu untuk menikah sebagaimana disampaikan oleh Ibra>hi>m Muh}ammad Jamal (1986: 269) dalam karyanya Fiqh al-Mar'ah al-Muslimah yang berbunyi:
ولم يشأ الله سبحانه أن تظل العمورة على حالها تتكاثر أيما أرادت، ولكن نظم الغرائز. ووضع لها أصولا وقواعد حتى يحافظ على آدمية الإ نسان. ويربي في نفسه الفضيلة والطهر والعفاف
Allah swt tidak ingin dunia ini dunia ini statis atau berkembang biak menurut keinginan penghuninya, tetapi Allah mengatur naluri dan menetapkan pokok-pokok dan kaidah-kaidah, sehingga dapat memelihara martabat manusia. Manusia harus memelihara keuatamaan, kesucian, dan keluhuran budi pekertinya (Muh}ammad Jamal, 1999: 253).
Al-Qur’an sebenarnya begitu berat untuk menerima institusi poligami, tetapi hal itu tidak bisa diterima dalam situasi yang ada. Oleh karena itu, al-Qur’an membolehkan laki-laki kawin hingga empat orang istri, dengan syarat harus adil. Inti ayat diatas sebenarnya bukan pada kebolehan poligami, tetapi bagaimana berlaku adil terhadap anak yatim terlebih lagi ketika mengawini mereka. Hal ini senada dengan ungkapan Asghar Ali Engineer (1996: 156) yang menyatakan:
Thar permission to marry more than one wife should be seen stricly in the context of prevailing the circumstances and that even if a situasion compels a man to marry more than one wife, justice in treatment cannot be dispensed with The element of justice in the form of equal treatment is so essential that in its absense the Qur’anic verse requires men not to take more than one wife. Situations warranting polygamy should be treated as an exception rather than the rule and such situations, as the Qur’anic verse stresses, require a very delicate balance in doing justice to one’s first wife as well as to the orphans and widows who, in such exceptional situations, should not be left to fend for themselves. The Qur’anic tries to archieve this cautious balance.
Pembolehan mengawini lebih dari seorang isteri harus dilihat secara ketat dalam konteks keadaan-keadaan yang berlaku, bahkan jika ada situasi yang memaksa seorang laki-laki mengawini lebih dari seorang isteri, maka keadilan dalam perlakuan sangat ditekankan. Jika keadilan ini tidak dapat dilaksanakan, al-Qur’an menuntut laki-laki supaya tidak beristeri lebih dari seorang. Situasi-situasi yang membenarkan poligami harus diperlakukan sebagai pengecualian, bukan suatu kewajaran. Situasi-situasi semacam itu sebagaimana ditekankan al-Qur’an, menuntut adanya keseimbangan dalam memberikan perlakuan yang benar-benar adil terhadap isteri pertama dan juga terhadap anak-anak yatim dan janda yang dalam kondisi perkecualian itu, tidak boleh dibiarkan mengurus diri mereka sendiri. al-Qur’an, berusaha mencapai keseimbangan yang benar-benar adil (Engineer: 2000: 242-243).
Berkenaan dengan syarat adil, hal ini sering menjadi perdebatan yang panjang tidak saja dikalangan ahli hukum tetapi juga di masyarakat. Oleh sebab itu, dalam makalah ini, penulis mencoba mengkaji, yang pertama ; latar belakang sosiologis sebab turun (Asbabun Nuzul) ayat tentang poligami. Kedua, keabsahan hukum poligami, Ketiga, makna keadilan dalam perkawinan poligami. Keempat, apa yang menjadi illat hukum kebolehan poligami dalam perkawinan. Dengan demikian, menurut hukum Islam (fiqh), kebolehan hukum poligami telah menjadi kesepakatan ulama walaupun dengan persyaratan yang ketat, yaitu harus berlaku adil terhadap istri-istrinya.
Undang-Undang No.1 Tahun 1974, meskipun menganut asas monogamy, tetapi membuka kemungkinan bagi seorang suami untuk berpoligami dengan syarat harus mendapat izin dari Pengadilan Agama dengan disertai alasan-alasan: Pertama, istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri. Kedua, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. Ketiga, istri tidak dapat melahirkan keturunan. Keempat, ada izin dari istri pertama. Kelima, ada kepastian bahwa suami mampu menjalin keperluan-keperluan hidup pada istri dan anak-anaknya.
Kehidupan yang tenteram (sakinah) di balut dengan perasaan cinta kasih yang ditopang saling pengertian di antara suami isteri, karena baik suami atau isteri menyadari bahwa masing-masing sebagai “pakaian” bagi pasangannya. Itulah yang sesungguhnya merupakan tujuan utama disyar’atkannya perkawinan. Suasana kehidupan keluarga yang demikian, dapat diwujudkan dengan mudah apabila perkawinan dibangun di atas dasar yang kokoh, antara lain antara suami isteri ada dalam sekufu’ (kafa’ah). Pentingnya kafa’ah dalam perkawinan sangat selaras dengan tujuan perkawinan di atas ; suatu kehidupan suami isteri yang betul-betul sakinah dan bahagia. Suami isteri yang sakinah dan bahagia akan mampu mengembangkan hubungan yang intim dan penuh kemesraan, yang pada gilirannya akan melahirkan generasi pelanjut yang bertaqwa.
Surat an-Nisa>’ ayat 3 menegaskan bahwa syarat suami yang berpoligami wajib berlaku adil terhadap isteri-isterinya. Berkenaan dengan syarat berlaku adil, hal ini sering menjadi perdebatan yang panjang tidak saja dikalangan ahli hukum tetapi juga di masyarakat. Oleh sebab itu, apa yang dimaksud berlaku adil atau makna keadilan sebagai syarat poligami.
Seorang suami yang hendak berpoligami menurut ulama fiqh paling tidak memliki dua syarat: Pertama, kemampuan dana yang cukup untuk membiayai berbagai keperluan dengan bertambahnya istri. Kedua, harus memperlakukan semua istrinya dengan adil. Tiap istri harus diperlakukan sama dalam memenuhi hak perkawinan serta hak-hak lain (Rahman I Doi, 2002: 192)). Persyaratan demikian, nampak sangat longgar dan memberikan kesempatan yang cukup luas bagi suami yang ingin melakukan poligami. Syarat adil yang sejatinya mencakup fisik dan non fisik, oleh Syafi’i dan ulama-ulama Syafi’iyyah dan orang-orang yang setuju dengannya, diturunkan kadarnya menjadi keadilan fisik atau material saja. Bahkan lebih dari itu, para ulama fiqh ingin mencoba menggali hikmah-hikmah yang tujuannya adalah melakukan rasionalisasi terhadap praktek poligami.
Mayoritas ulama fiqh (ahli hukum Islam) menyadari bahwa keadilan kualitatif adalah sesuatu yang sangat mustahil bisa diwujudkan. Abdurrah}ma>n al-Jazairi> (1990: 239) menuliskan bahwa mempersamakan hak atas kebutuhan seksual dan kasih sayang di antara istri-istri yang dikawini bukanlah kewajiban bagi orang yang berpoligami karena sebagai manusia, orang tidak akan mampu berbuat adil dalam membagi kasih sayang dan kasih sayang itu sebenarnya sangat naluriah. Sesuatu yang wajar jika seorang suami hanya tertarik pada salah seorang istrinya melebihi yang lain dan hal yang semacam ini merupakan sesuatu yang di luar batas kontrol manusia.
Berbagai pendapat diatas, para ulama fiqh cenderung memahami keadilan secara kuantitatif yang bisa diukur dengan angka-angka. Muhamad Abduh berpandangan lain, keadilan yang disyaratkan al-Qur’an adalah keadilan yang bersifat kualitatif seperti kasih sayang, cinta, perhatian yang semuanya tidak bisa diukur dengan angka-angka. Ayat al-Qur’an mengatakan: “Jika kamu sekalian khawatir tidak bisa berlaku adil, maka kawinilah satu isrti saja”. Muhammad Namun apabila seorang laki-laki tidak mampu memberikan hak-hak istrinya, rusaklah struktur rumah tangga dan terjadilah kekacauan dalam kehidupan rumah tangga tersebut. Sejatinya, tiang utama dalam mengatur kehidupan rumah tangga adalah adanya kesatuan dan saling menyayangi antar anggota keluarga.
C. Kesimpulan
1. Latar belakang sosiologis sebab turun ayat tentang poligami, yaitu kebiasaan prilaku wali anak wanita yatim yang mengawini anak yatimnya dengan tidak adil dan manusiawi.
2. Hukum Perkawinan Islam membolehkan bagi seorang suami melakukan poligami dengan syarat yakin atau menduga kuat mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya, sebagaimana yang di isyaratkan oleh 3 kata kunci surat an-Nisa>’: maka jika kamu takut tidak akan mampu berlaku adil, maka kawinlah seorang istri saja. Kebolehan poligami ini bukan anjuran tetapi salah satu solusi yang diberikan dalam kondisi khusus kepada mereka (suami) yang sangat membutuhkan dan memenuhi syarat tertentu.
3. Makna keadilan sebagai syarat poligami bukan pada keadilan makna batin (seperti cinta dan kasih sayang) tetapi keadilan pada hal-hal yang bersifat material dan terukur, sebagaimana diisyaratkan oleh latar belakang sosiologis sebab turun ayat poligami (ayat 3 surat an-Nisa>’).
4. Illat hukum kebolehan poligami lebih didorong oleh motivasi sosial dan kemanusiaan sebagai sarana dakwah sebagaimana yang menjadi latar belakang sebab turun ayat poligami (ayat 3 surat an-Nisa>’) dan praktek poligami Rasulullah Saw. bukan pada motivasi seks dan kenikmatan biologis.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Jazairi>, Abdurrah}ma>n. 1990. Kitāb al-Fiqh 'Alā al-Maz\hab al-Arba'ah. Beirut: ar al-Fikr.
Engineer, Asghar Ali. 1996. The Rights of Women in Islam. Cet. ke-2. New York: St. Martin Press.
_________________ 2000. Hak-Hak Perempuan dalam Islam. Cet. ke-2. Alih Bahasa Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf. Yogyakarta: LSPPA.
_________________. 2003. Matinya Perempuan. Alih Bahasa Akhmad Affandi dan Muhammad Ihsan. Yogyakarta: IRCiSoD.
_________________. 2003. Pembebasan Perempuan. Alih Bahasa Agus Nuryatno. Yogyakarta: LKiS.
Hasan Bisri, Cik. 1996. Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Hasyim, Syafiq. 2001. Hal-hal yang tak Terpikirkan tentang Isu-isu Peperempuan dalam Islam. Bandung: Mizan.
I Doi, Abd. Rahman. 2002. Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari’ah). Alih Bahasa Zaimuddin dan Rusydi Sulaiman. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Muh}ammad al-Jamal, Ibra>hi>m. 1986. Fiqh al-Mar'ah al-Muslimah. Jeddad: Dar al-Riyad.
_____________________________. 1999. Fiqh Muslimah. Cet. ke-3. Alih Bahasa Zaid Husein al-Hamid. Jakarta: Pustaka Amani.
Nasution, Khoiruddin. 1996. Riba dan Poligami; Sebuah Studi atas Pemikiran Muhammad Abduh. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. 2004. Hukum Perdata di Indonesia. Jakarta: Pernada Media.
Quraish Shihab, M. 1999. Wawasan al-Qur’an. Bandung: Mizan.
Zuhdi, Masjfuk. 1997. Masail Fiqhiyyah. cet. ke-10. Jakarta: Gunung Agung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar